Di Klaten, Jawa Tengah, terdapat satu kecamatan paling ujung selatan berbatasan langsung dengan Gunung Kidul-Jogja, yaitu Bayat. Bayat sendiri secara kebumian dipercaya merupakan tanah paling tua, yang merupakan lapisan tersier.
Dikabarkan Bayat menjadi pusat perlawanan melawan Amangkurat I dan Belanda. Perlawanan ini dihubungkan dengan Perang Trunojoyo. Dalam bukunya de Graaf yang berjudul “Masalah Kajoran” dan buku-buku de Graaf selalu menyebutkan bahwa Bayatlah hakikat dari Perang Trunojoyo.
Panembahan Kajoran (atau yang oleh Amangkurat II disebut Rama) merupakan mertua dari Trunojoyo. Panembahan Kajoran bersama Panembahan Giri menjadi Sesepuh Trunojoyo, dibantu Kraeng Galengsong untuk melawan Amangkurat I yang dibantu Belanda.
Tidak sampai di sana, Bayat masih melibatkan dalam membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Konon, pasca inilah Trah-trah Bayat tercerai-berai ke berbagai wilayah dan Bayat menjadi “kota mati” dari kegiatan keislaman.
Sepak terjang perjalanan Bayat tidak bisa dilepaskan dari peranan seorang wali (sebutan yang digunakan untuk orang yang saleh, dekat dengan Tuhan, dan biasa memiliki keistimewaan tertentu). Di sini terdapat Makam seorang wali yang dipercaya merupakan Adipati Semarang, yaitu Sunan Pandanaran. Sunan Pandanaran sendiri juga dipercaya sebagai sukma dari Raja Brawijaya dari Majapahit. Pasca wafatnya Syekh Siti Jenar, maka posisi wali digantikan oleh Sunan Pandanaran.
Entah mengapa, banyak mantan murid Syekh Siti Jenar yang menjadi murid dari Sunan Pandanaran. Murid-murid Sunan Pandanaran sendiri turut serta menyebarkan Islam di Jawa bagian Selatan, seperti Ki Ageng Majastho Sukoharjo, Syekh Domba, Syekh Kewel dan sebagainya.
Sunan Pandanaran selain menyebarkan Islam juga mengajari masyarakat bertani. Keahliannya di bidang pertanian dibuktikan dengan dikenalkannya varietas padi “Rojo Lele”. Tak lupa, ahli di bidang seni, khususnya mengajari masyarakat membuat gerabah dan batik. Kedua kerajinan ini masih bisa dilihat sampai hari ini.
Peninggalan lain dari Sunan Pandanaran adalah adanya Masjid Golo yang berlokasi tidak jauh dari lokasi makam. Nama Gala tertulis pada prasasti pendek yang terdapat di atas pintu penampil masjid sebelah timur dengan tulisan huruf Arab masjid ga la.
Ga la adalah sengkalan dalam aksara Jawa yang artinya 17. Oleh masyarakat sekitar sengkalan tersebut dimaknai sebagai perintah menjalankan salat wajib 5 waktu di masjid Gala yang jumlahnya 17 rakaat (Kartini, 2013: 439). Sunan Pandanaran mengajari tentang Islam tidak dengan dalil yang menyusahkan, karena Sunan Pandanaran tahu bahwa orang Jawa saat itu masih awam dengan kompleksitas ajaran Islam, baik yang ada dalam Alquran, hadis, fikih, dll.
Namun, beliau berdakwah dengan “roso” dan simbol. Beliau memahami betul, wong Jowo begitu kuat dalam menggunakan “roso” dan simbol, sehingga hanya dengan simbol-simbol dan memainkan “roso” saja sudah bisa mencerna Islam dengan baik.
Dari sekian banyak peninggalan fisik Sunan Pandanaran terdapat peninggalan yang berupa non fisik, yakni berupa “wejangan”. Wejangan akan musyawarah dan gotong-royong menjadi ajaran Sunan Pandanaran yang terabdikan dalam sebuah nama yaitu Bayat. Bayat berasal dari kata Tembayat atau Petembayatan yang ini dikaitkan dengan Syahadat Tembayat.
Sunan Pandanaran mengajarkan kepada santri-santrinya untuk selalu gotong-royong dan bermusyawarah. Dengan metode inilah tidak heran mantan-mantan santri Syekh Siti Jenar menjadi santrinya. Para mantan santri Syekh Siti Jenar tidak serta-merta dicap sesat lalu dibunuh melainkan dirangkul dan diperbaiki pemahamannya.