Sedang Membaca
KH. Sholeh Darat: Tanda Guru Dianggap Durhaka Sebab Mengajar Murid
M. Bagus Irawan
Penulis Kolom

Editor buku "Menolak Wahabi (Sahifa, 2015) dan "Kritik Salafai Wahabi" (Sahifa, 2017)

KH. Sholeh Darat: Tanda Guru Dianggap Durhaka Sebab Mengajar Murid

Dsc 5907

Pernahkah Anda mendengar seorang guru disebut durhaka lantaran mengajar murid? Ungkapan itu pernah ditulis oleh Kiai Sholeh Darat dalam kitabnya bertajuk Minhajul Atqiya’ Syarah Hidayatul Adzkiya’ karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Kenapa guru bisa dianggap durhaka? ketika ia tidak mampu menangkap niat si murid yang sejujurnya di balik maksud menuntut ilmu. Syekh Zainuddin al-Malibari menyebutkan tanda-tanda benar atau salahnya niat, karena perilaku zhahir itu menunjukkan batin, bocornya wadah menunjukkan ada air di dalamnya, amal adalah petunjuk dari niat.

Pertama, Menuruti syahwat dan hawa nafsunya. Kedua, Rakus dalam mencari kekayaan dunia, tidak dengan jalan yang diperbolehkan oleh syara’, pokoknya dapat uang. Ketiga, Sibuk mempelajari ilmu yang berhukum fardhu kifayah ketimbang mempelajari ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, lalu dengan mempelajarinya seseorang menjadi sombong dan memandang remeh orang lain. Keempat, meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ada udzur syar’i lantaran kesibukannya belajar ilmu fardhu kifayah.

Kelima, meninggalkan shalat sunnah rawatib, qabliyyah dan ba’diyyah yang muakkad, karena menganggapnya bukan kewajiban dan lebih mementingkan belajar ilmu-ilmu dunia. Kelima hal ini sudah umum terjadi pada santri saat ini, maka seorang guru wajib mencegah agar tidak terjadi atau tidak mau mengajar mereka, karena pada akhirnya, mereka akan menjadi para begal agama, perusak akhirat. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Ketika guru melihat muridnya menuruti keinginan syahwat, menuruti dan melakukan semua kemauan hawa nafsunya, tanpa berusahan melawan keinginan nafsunya. Juga amat rakus terhadap harta duniawi yang hina, dengan tanpa memedulikan jalan yang halal, yaitu dengan melakukan tipu daya. Juga rakus dalam memburu dunia, maksudnya sangat bersemangat mencari dunia dengan jalan yang tidak diperbolehkan menurut syara’, yang penting mendapatkan dunia, tanpa melihat halal dan haramnya, meski dengan cara menipu.

Baca juga:  Dada Para Pendadu: Tentang Klaim Kesucian dan Keluhuran

Atau saat guru melihat murid yang belajar kepadanya lebih mendahulukan untuk mempelajari dan mengamalkan ilmu yang berhukum fardhu kifayah sebelum mempelajari dan mengamalkan ilmu yang berhukum fardhu ‘ain. Mereka sibuk belajar ilmu Nahwu dan Shorof, ilmu kedokteran dan ilmu hisab, padahal mereka belum mengerti ilmu yang berhukum fardhu ‘ain, seperti ilmu tentang 50 akidah, ilmu tentang wudhu’, mandi, shalat, zakat, puasa, juga ilmu muhlikat dan munjiyat, karenanya bagi seorang guru wajib mencegahnya, karena mencegah kemaksiatan itu wajib. Padahal kesemuanya itu belum dipahami dan diamalkan.

Seperti umumnya pelajar di masa sekarang, umurnya habis untuk mempelajari ilmu Nahwu dan Shorof dan ilmu-ilmu umum lainnya dengan anggapan bahwa ilmu tersebut wajib dipelajari dan besar pahalanya. Namun di sisi lain, mereka tidak mengetahui ilmu muhlikat dan munjiyat, bahkan kebanyakan orang awam tidak pernah mendengar dan sama sekali tidak mengetahui kedua ilmu ini, mereka hanya hafal tarkib dan shighot.

Dilihat dari tanda-tanda haliyahnya itu, sangat jelas sekali tujuan belajarnya untuk kepuasan simbolik belaka bukan untuk mendekatkan diri pada Allah. Belajar untuk mendapat pengakuan dan skill membaca kitab kuning misalnya. Maka ketika guru sudah melihat perilaku murid sebagaimana disebutkan sebelumnya, telah jelas, tanpa butuh diteliti lagi, dengan melihat perilakunya, sudah sangat jelas bahwa dia belajar ilmu untuk tujuan selain Allah, sama sekali tidak untuk menggapai ridha Allah, tidak mendalam dan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Baca juga:  Konsep Islam Nusantara yang Disalahpahami

Guru yang Durhaka

Kiai Sholeh Darat menyatakan seorang guru dianggap durhaka sebab mengajar murid yang niat belajarnya untuk tujuan selain Allah dan pahala akhirat. Di mana niat itu tempatnya di hati, maka Syekh Zainuddin al-Malibari menunjukkan tanda-tanda orang yang belajar dengan tujuan selain Allah atau tidak, adapun tanda-tandanya sebagai berikut;

Apabila guru melihat murid yang selalu menuruti syahwat dan hawa nafsunya, rakus terhadap dunia, seperti rakusnya anjing pada bangkai, dengan tanpa melalui jalan yang diperbolehkan menurut syara’, yang terpenting baginya bisa mendapatkan dunia, tanpa melihat halal haramnya, meski harus dengan cara menipu, menyesatkan dan berbohong, menyibukkan diri mempelajari ilmu yang berhukum fardhu kifayah sebelum ilmu yang berhukum fardhu ‘ain, Maka benar-benar telah jelas bahwa tujuan murid tersebut adalah selain Allah Swt., maka haram bagi guru mengajarinya ilmu, sebab dari tanda-tandanya sudah jelas tujuan belajar murid tersebut bukan karena Allah Swt.

Untuk itulah guru diharuskan meluruskan niat si murid terlebih dahulu sebelum mengajarinya ilmu-ilmu tersebut. Bila guru tersebut tidak berupaya membimbing dan meluruskan niat si murid, justru bersukacita ketika muridnya bertambah banyak tanpa melihat maksud di balik kedatangan muridnya untuk belajar, maka si guru dikatakan telah durhaka.

Baca juga:  Jilbab dan "Serangan Balik" Sekularisme

Diceritakan dalam sebuah hadits, bahwasanya ada seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, ajarkanlah padaku ilmu yang aneh, ilmu yang langka.”

Rasul menjawab, “Apakah kamu sudah mengerti ra’sul ilmi.”

Lelaki itu berkata, “Apa itu ra’sul ilmi ya Rasul?”

Rasul bertanya lagi, “Apakah kamu sudah mengetahui Tuhan?”

“Sudah, saya sudah tahu ya Rasul.” jawab lelaki itu.

Rasul bertanya lagi, “Apa yang telah kamu lakukan dalam hak-hak Allah?”

“Masya Allah.” jawab lelaki itu.

Rasul bertanya lagi, “Apa kamu sudah tahu tentang kematian?”

“Sudah, saya sudah tahu ya Rasul.” jawab lelaki itu.

“Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menghadapi kematian?” Rasul kembali bertanya.

“Masya Allah.” Jawab lelaki itu.

Rasul kemudian bersabda, “Pergilah, berdiamlah di sana, lalu kembalilah ke sini, maka akan aku ajari ilmu yang langka.”

Rasul mengehendaki ilmu tidak hanya diketahui, tapi harus diamalkan dan dimujahadahi. Hadits ini menunjukkan bahwa menyibukkan diri dengan riyadhatun nafsi dan mujahadatun nafsi agar bersih dari akhlak tercela itu berhukum fardhu ‘ain, karenanya tidak boleh menyibukkan diri dengan mempelajari madzhab-madzhab fiqih dan perbedaan pendapatnya, juga ilmu ushul fiqih, jika belum selesai mempelajari ilmu yang berhukum fardhu ‘ain.

Orang yang menyalahi aturan ini maka benar-benar akan mendapatkan murka Allah Swt., meskipun mempelajari ilmu yang berhukum fardhu kifayah itu termasuk ilmu agama dan terhitung ibadah, akan tetapi tetap harus mendahulukan ilmu yang berhukum fardhu ‘ain. Wallahu A’lam

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top