Baru baru ini, Kemenag merilis nama nama mubaligh yang dianggap kompeten dan memenuhi kriteria, baik dari latar belakang pendidikan dan sepak terjangnya yang memang tidak perlu diragukan lagi. Dari urutan nama tersebut, ada nama nama dai besar yang sudah akrab di telinga masyarakat. Ada Prof Quraish Syihab, Gus Mus, Prof. Nasarudin Umar, Cak Nun, Dr Adian Huseini dan masih banyak yang lainnya.
Langkah Kemenag tersebut disinyalir merupakan bentuk ikhtiar selain juga atas banyaknya permintaan masyarakat ditengah maraknya penceramah yang dianggap kerap memprovokasi, dan mengumbar ujaran kebencian di mimbar-mimbar masjid dan majelis pengajian. Kemenag, lebih jauh lagi, juga mengklarifikasi bahwa nama nama tersebut diperoleh dari berbagai ormas, yang akan terus di update seiring dengan perkembangan dan permintaan.
Rekomendasi mubaligh dari Kemenag kemudian memunculkan banyak pandangan. Polemik mengemuka lantaran ada beberapa nama pendakwah, khususnya yang populer di tengah masyarakat, tak tercantumkan dalam rekomendasi kemenag.
Dalam menanggapi hal ini, menurut saya pribadi, tidak perlu terlalu keluar energi berlebih. Menjadi lebih baik dan signifikan jika kemenag seharusnya terlebih dahulu memberikan alternatif mubaligh lain, yang dianggap memenuhi persyaratan utama akan moderasi Islam Indonesia, kepada masyarakat dengan membuat platform khusus, baik di media sosial dan TV berbayar.
Hal ini tentu saja untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses dan mengikuti ceramah keagamaan tersebut. Mengingat, para dai-dai populer yang acapkali memberikan penafsiran yang cenderung keras dalam pemahaman agama Islam sangatlah aktif baik di media sosial dan media mainstream. Bahkan, salah satu kawan saya mengatakan bahwa ia kerap mendengar ceramah para dai dai populer tersebut melalui TV berbayar.
Media Sosial Sebagai Penghubung
Maraknya para dai populer, salah satunya karena media sosial. Youtube, Instagram dan Facebook menjadi media paling mudah dan cukup efektif mengangkat nama nama para mubaligh baru, sebut saja UAS, Hanan Ataki, Khalid Basalamah, Syafiq Basalamah, Adi Hidayat dll. Tingginya animo masyarakat terhadap agama, akhir akhir ini, harus menjadi perhatian baik Kemenag dan juga organisasi-organisasi keagamaan untuk memunculkan mubaligh alternatif yang kompeten dan membawa pesan Wasathiyah Islam.
Selama ini pemerintah belum menunjukkan perhatian khusus akan hal ini, sehingga ruang ruang kosong tersebut banyak diisi oleh penceramah baru yang cenderung intoleran. Bersyukur, memasuki bulan Ramadan, banyak sekali kyai-kyai, dan pakar studi Islam kenamaan yang membuaa majelis serta pengajian khusus dan mempublikasikannya melewati video streaming. Kajian-nya juga beragam, dari kitab-kitab Tasawuf, Fikih, Tafsir dll, serta dikemas dalam suasana santai namun cukup padat dengan substansi.
Contoh kecil, kawan saya yang juga seorang Ibu. Ia tak lagi punya waktu untuk mengikuti pengajian baik di masjid-masjid kampung, dan di majelis ta’lim karena harus bekerja dan mengurus rumah tangga. Karena keinginan untuk belajar agama yang sangat tinggi, ia pun kerap menggunakan media sosial dan youtube untuk belajar agama. Selain itu, ia kerap mengaji lewat saluran TV berbayar yang dewasa ini cukup banyak menyajikan acara keagamaan dan pengajian dengan menghadirkan ustaz-ustaz baru.
Tak ayal, nama-nama penceramah populer itulah yang kerap kali muncul dan menjadi satu-satu-nya acuan teman saya dalam memahami dan menjawab persoalan-persoalan agama. Buku, menjadi rujukan langka, seiring adanya referensi mudah dan efisien yang ditawarkan oleh para penceramah tersebut. Hasilnya, acapkali dalam menanggapi isu-isu keagamaan, ia tak punya rujukan lain sebagai alternatif, sehingga apa yang didengar dari para penceramah tersebut adalah satu-satunya jawaban, dan dianggap paling benar.
Melihat fenomena ini, sudah barang tentu menjadi kewajiban Kemenag dan intansi keagamaan terkait, untuk membuat platform khusus dan menayangkan mubalig-mubalig alternatif, sehingga publik dapat dengan mudah mengakses dan dapat memberikan pandangan lain dalam menyikapi beberapa isu keagamaan. Tentu saja, tidak hanya dilakukan hanya di bulan Ramadan. Karena biasanya setelah Ramadhan, beberapa pengajian yang di-inisiasi kiai-kiai pondok pesantren tidak lagi di-streaming-kan. Padahal, permintaan masyarakat umum akan hal ini sangatlah tinggi.
Dengan ini, diharapkan, masyarakat juga akan familiar dengan betapa kayanya khazanah ke-Islaman yang tidak hanya terdiri dari satu atau dua tafsiran agama saja. Juga, agar publik semakin akrab dengan para mubaligh yang membawa pesan kedamaian, serta ruh moderasi Islam.
Jika hanya membebankan pada masyarakat dan organisasi keagamaan, masyarakat awam yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan akan hal tersebut, sangat mudah terpengaruh oleh para penceramah yang kerapkali mempersempit wacana keagamaan dengan satu tafsiran saja. Hal ini tentu saja berbahaya, mengingat ragam budaya masyarakat kita yang multikultural. Tafsir tunggal atas agama inilah yang acapkali menjadi bibit radikalisme. Terlebih jika para penceramah tersebut menggunakan bahasa-bahasa kebencian, dan provokasi. Jika terus-menerus dibiarkan, ada kemungkinan hal-hal inilah yang pada akhirnya dapat mengancam nilai-nilai keberagamaan dalam masyarakat luas.
Wallahu a’lam