Sabyan Gambus dengan lagu-lagunya masih terus dinikmati oleh masyarakat Muslim Indonesia. Lirik-lirik berbahasa Arab dengan campuran bahasa Indonesia yang dibubuhi doa tidak hanya menggema di tempat elit seperti mal dan perkantoran, tetapi juga mulai masuk ke pelosok desa seperti di acara pernikahan dan tasyakuran.
Beberapa lagu Sabyan Gambus juga mengandung selawat seperti “Ya Habibal Qolbi”, “Ahmad Ya Habibi” dan “Ya ‘Asyiqal Mushtofa” yang telah sangat akrab di telinga masyarakat Muslim namun dikemas secara menarik oleh grup musik ini.
Dalam tradisi masyarakat Muslim di Indonesia, selawat dan puji-pujian kepada Nabi dipercaya sebagai ritus ibadah yang berdimensi transendental dan bernilai pahala. Bentuk shalawat dan kalimat pujian yang bermacam-macam dengan ritual yang berbeda-beda juga telah mengakar kuat di negara dengan pemeluk islam terbesar ini.
Tulisan ini hendak memosisikan dan mempertanyakan Sabyan Gambus dengan selawat yang memadukan musik dan modernitas di antara belantika tradisi selawat yang ada di negara ini.
Untuk memudahkan kategorisasi tradisi selawat yang berkembang di negeri ini, penulis akan membaginya menjadi tiga kategori. Walaupun terlalu menyederhanakan dan tidak bisa meliputi seluruh tradisi selawat di Indonesia, setidaknya ini bisa menjadi semacam highlight akan beragamnya dan kayanya tradisi puji-pujian terhadap nabi di negeri ini. Kemungkinan besar, tiga kategori ini banyak ditemukan di Jawa Timur.
Pertama, kebiasaan rutin masyarakat pedesaan untuk membaca selawat dalam kitab Maulid Barzanji di Selasa malam atau Kamis malam. Kitab ini dikarang oleh seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Barzanji. Kitab yang memuat doa-doa, puji-pujian, dan cerita riwayat Nabi Muhammad ini telah dibaca puluhan tahun setiap pekannya di berbagai pelosok desa. Larik-larik baris nazam di dalam kitab ini biasanya diucapkan secara bergantian dengan memakai berbagai macam lagu.
Adapula beberapa masyarakat di beberapa daerah yang memakai versi lebih panjang dengan membaca kitab “Simtut Dhurar” yang dikarang oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Tradisi ini terus diturunkan dan dilestarikan dari satu generasi ke generasi untuk melanggengkan selawat sebagai ritus ibadah dan dikerjakan secara berjama’ah. Pioneer dari tradisi ini adalah mayoritas para santri yang telah lulus dari pondok pesantren kemudian turun ke kancah masyarakat. Mereka mengajak masyarakat untuk konsisten menjaga dan melestarikan tradisi ini dari zaman ke zaman.
Kedua, kemunculan majelis selawat yang mengajak masyarakat secara luas untuk berkumpul di suatu tempat demi mendengarkan pengajian dan membaca selawat secara bersama-sama. Majelis seperti Ahbabul Mushtofa yang diasuh Habib Syech bin Abdul Qadir As-Segaf (Solo-Jawa Tengah), Majlis Ar-Ridwan yang diasuh oleh Habib Jamal (Malang), Nurul Mushtofa yang diasuh Habib Hasan Assegaf (Jakarta), Majelis Rasulullah yang diasuh oleh Habib Mundzir Al-Musawa (Jakarta) dan lain-lain menjadi semacam komunitas shalawat yang anggotanya bisa mencapai jutaan orang.
Majelis yang dimotori oleh para habaib ini menjadi oase bagi masyarakat untuk mengobati dahaga spiritualitas karena beban-beban duniawi. Dengan diiringi tabuhan rebana, para habib juga menyelipkan kalimat dakwah kontekstual yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam lantunan-lantunan selawat itu.
Ketiga, beberapa selawat dengan segala bentuk varian dan fungsinya juga dapat didengarkan di masjid-masjid sebelum ditunaikannya salat berjamaah. Selawat seperti Selawat Nariyah, Munjiyat, Syifa’, Fatih, Nurul Anwar, Badr, dan lain-lainnya mengalun dengan merdu dari speaker di masjid-masjid sekitar kita. Selawat ini juga menjadi trademark dalam pengajian-pengajian rutin yang diadakan oleh lembaga keislaman, lembaga pendidikan, komunitas pengajian dan lain sebagainya.
Belum lagi, beberapa orang membaca beberapa bentuk selawat di atas dalam jumlah tertentu sebagai laku spiritualitas, baik dilakukan secara sembunyi atau terang-terangan, untuk meningkatkan kadar keimanan mereka.
Fenomena kemunculan Sabyan Gambus seakan mereduksi dan terkesan menutupi bahwa negeri ini kaya akan tradisi yang berhubungan dengan selawat dan pujian kepada Rasulullah SAW dan telah berjalan puluhan tahun. Sabyan Gambus dengan selawatnya hanya mengisi ceruk yang sangat kecil dalam belantika tradisi selawat yang telah mengakar kuat di negeri ini.
Grup musik ini lebih diterima oleh kalangan menengah Muslim di perkotaan yang jarang terlibat di dalam tradisi selawat yang disebutkan di atas, terutama masyarakat Muslim baru yang kadang terperosok ke dalam simbol-simbol keislaman. Bagi masyarakat Muslim yang telah akrab dengan tradisi selawat di atas, mendengarkan Sabyan Gambus adalah salah satu bentuk konsumsi budaya populer yang terkadang minus dimensi batiniyah.
Apakah kemunculan Sabyan Gambus akan menggeser tradisi selawat yang telah mengakar kuat di Indonesia? Penulis kira “tidak” dengan prosentase yang mendekati kemustahilan.