Cendekiawan Mesir, Abbas Mahmud al-Aqqad (1957), mempunyai adagium yang begitu dibangga-banggakannya dan sering dia lontarkan, “Islam mensyariatkan pembebasan budak, dan tidak menyariatkan perbudakan”. Hal ihwal ini memang sebuah kebenaran yang tidak diragukan lagi oleh siapa pun. Hanya saja, ia merupakan kebenaran yang ‘cacat’ (haqiqah naqishah).
Islam memang tidak mensyariatkan perbudakan, tetapi ia tetap membolehkannya, dan tidak secara tegas mengharamkannya. Nabi Muhammad Saw sendiri, contohnya, memiliki budak laki-laki dan juga perempuan. Begitu pula para Khulafaur Rasyidin dan sepuluh Sahabat Nabi yang dijamin masuk Surga, serta para Sahabat Nabi lainnya, kemudian para Imam dan kaum Muslim awam.
Praktik ini terus bergulir demikian hingga dimakzulkannya sistem perbudakan ini oleh undang-undang konvensional, atau malah yang bersifat profan dan sekular, yaitu julukan yang disematkan oleh kalangan pendakwah terhadap undang-undang konvensional (hukum positif), meskipun undang-undang itu nyatanya telah mewujudkan kehormatan, kebebasan, dan kebaikan bagi umat manusia.
Tidak benar pula sinyalemen yang menyatakan bahwa Islam hanya mengenal model perbudakan tawanan yang ditangkap dalam peperangan antarsuku, yang selanjutnya bermetamorfosa menjadi ghazwah (pertempuran yang dipimpin oleh Muhammad sendiri) atau saraya (peperangan tanpa disertai Muhammad), selanjutnya ekspansi militer ke kawasan liyan (futuhat). Faktanya, Islam telah mengenal model perbudakan, juga budak-belian untuk membayar hutang.
Syariat Islam mengenal sistem budak-belian. Sebab model perbudakan ini merupakan konsekuensi logis dari model perbudakan tawanan perang. Seseorang yang memiliki budak atau jariyah kadang kala terdesak oleh kondisi –baik dialami oleh si majikan, maupun si budak –hingga ia terpaksa harus menjual budak yang dimilikinya untuk menutupi kebutuhannya, seperti sakit mendadak, tertimpa musibah, atau mengalami kebangkrutan.
Di sisi lain, karena uzurnya usia budak lelaki, memudarnya kecantikan budak perempuan, atau adanya gangguan pada suaranya (jika si jariyah adalah seorang biduan), dan lain sebagainya. Selama ada yang menjual, pastilah ada yang membeli. Sebab, aktivitas ini saling mendukung, laiknya kedua sisi mata uang. Begitu pula mekanisme pembolehan perbudakan atas tawanan perang telah melahirkan, misalnya: hibah, warisan, wasiat, dan perkongsian.
Dari sinilah, bisa kita mafhumi mengapa Ensiklopedia Fikih Islam menjadi penuh sesak dengan bab-bab yang panjang, sebagai upaya penyusunnya untuk menjelaskan tema perbudakan secara detail tanpa meninggalkan permasalahan sedikit pun tentangnya, bahkan mereka juga mewicarakan sesuatu yang hanya sekadar hipotesis semata.
Adapun pernyataan bahwa Islam mengenal model perbudakan pembayaran atau pelunasan hutang, sejarah telah mencatat—seperti yang didedahkan dengan cerkas oleh Khalil Abdul Karim (2003: 87-90)—bahwa sebelum turunnya ayat-ayat riba, sebetulnya Muhammad pernah memvonis perbudakan seseorang bernama Surraq yang tidak mampu melunasi hutang-hutangnya kepada kreditor.
Sunah Nabi, dengan demikian, pernah melegalkan model perbudakan pelunasan hutang. Hanya saja ketentuan ini selanjutnya di-naskh oleh ayat-ayat Alquran yang masyhur dengan istilah ‘ayat-ayat riba’.
Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak pernah mengenal model perbudakan ini secara mutlak sama sekali tidak benar. Yang benar adalah Islam pernah mengenalnya, tetapi dalam perkembangannya, ia kemudian menghapusnya.
Meskipun kita harus mengalah dalam perdebatan, bahwa syariat Islam hanya mengenal model perbudakan tawanan yang diperoleh dari medan peperangan, tetap saja pembolehan model perbudakan ini merupakan warisan tradisi tribal Arab sebelum sebelum dakwah Muhammad, yang memberikan otoritas penuh bagi suku pemenang untuk memperbudak anggota-anggota suku yang dikalahkan.
Sebagaimana kita teroka dalam sejarah Islam, tatkala pasukan kavaleri Bani Tamim menawan Hudzah bin Ali, kepala atau bahkan raja Bani Hanifah, tetap saja kedudukannya, tidak kemudian mencegahnya untuk menyatakan ketundukan pada tradisi atau kebiasaan yang telah mengakar kuat di kalangan mereka. Tidak ada yang menyelamatkannya dari perbudakan selain bahwa ia membayar tebusan bagi dirinya dengan jumlah tebusan yang cukup besar, mencapai tiga kali lipat tebusan orang biasa dari kalangan rakyat jelata.
Dus, melihat fakta ini, terbukti bahwa orang-orang yang menyerang Islam, baik dari beberapa sarjana orientalis, ataupun selain kalangan mereka yang terdiri dari para pecundang dan kalangan yang dengki terhadap Islam, telah menafikan satu hal, Islam muncul di tengah lingkungan yang di dalamnya telah membumi tradisi perbudakan, sehingga Islam pun, mau tidak mau terpengaruh dengan pelbagai tradisi bangsa Arab yang mendahuluinya.
Islam berdiri di kedua punggung tradisi itu. Islam mewarisi tradisi perbudakan ini dari mereka, sebagaimana warisan-warisan tradisi yang lainnya. Dengan kata lain, meminjam istilah Imam al-Jauzi, Islam telah menyetujui tradisi-tradisi Arab. Nah, kalau demikian, adakah Islam otentik jika kenyataannya ia berasal dari tradisi lokal Arab pra-Islam?
@Joeni Arianto Kurniawan,
Pernyataan anda bahwa islam tidak melarang perbudakan, bisa dibilang absurd juga. Islam melarang mengambil budak dari manapun, kecuali tawanan perang, yg ujung2nya adalah hasil perang melawan tirani yg menganiaya kaum muslim. Seperti hukum modern jaman sekarang, para tawanan2 kriminal itu didik dengan kondisi yang wajar dalam masa penahanannya.
“… fakta bahwa Islam yang masih mentolelir perbudakan adalah bukti adanya persoalan serius di dalam ajaran Islam”
Justru, perbudakan terjadi dimana2 disaat itu, di dunia disemua agama, diperbolehkan dan budak diperlakukan jauh lebih buruk. Sangat2 buruk.
Islam justru menghumanisasi(perlakuan manusiawi) hasil dehumanisasi (budak) di zaman itu, dan memberi banyak jalan untuk membebaskan budak, banyak memblok jalan perbudakan, dan memblok hal2 yg bisa menciptakan perbudakan, seperti contohnya hutang riba. Meskipun tidak secara tegas, perlahan, tetap saja ujungnya ya menghapus perbudakan.
@penulis,
Bukan Islam yg ‘mengenal’ perbudakan saat itu, umat islam saat itu, yg mengenal perbudakan, karena ayat2 anti perbudakan belum teraplikasikan pada mereka. Jadi jangan bikin impresi seolah2 ini bikinan manusia dengan mengatakan ‘dalam perkembangannya, ia kemudian menghapusnya’. Jika anda benar2 muslim yg beriman, mestinya kalimatnya tidak seperti itu.
“adakah Islam otentik jika kenyataannya ia berasal dari tradisi lokal Arab pra-Islam”
tradisi yg mana? semua yg ada di Al-Qur’an berasal dari tradisi lokal Arab? penghapusan tradisi hutang riba gimana, justru dihapus.
Saya jadi tahu sekarang, IAIN dususupi anti islam.
Alasan si penulis menyikapi fakta bahwa Islam tidak melarang perbudakan dikarenakan Islam tumbuh dalam lingkungan sosial masyarakat tribal Arab yang sudah kental dengan tradisi perbudakannya adalah absurd.
Jika memang ini adalah alasannya, maka bukankah minum khamr (minuman beralkohol) juga merupakan tradisi kala itu? Lalu mengapa kalau soal khamr Islam telah melarang dengan tegas, namun dalam hal perbudakan tidak? Apakah khamr lebih berbahaya daripada perbudakan?
Di sisi lain, perbudakan adalah suatu praktek dehumanisasi yang paling mendasar. Bukan karena adanya praktek penyiksaan atas budak, melainkan karena dalam perbudakan, seorang manusia hanya dianggap sebagai sebuah obyek tak ubahnya sebuah barang, yang tidak memiliki kehendaknya sendiri dan bisa dimiliki dan diperjual-belikan oleh sesama manusia lain namun yang dianggap memiliki strata lebih tinggi.
Oleh karena itu, bukankah dengan demikian adanya fakta bahwa Islam yang masih mentolelir perbudakan adalah bukti adanya persoalan serius di dalam ajaran Islam?