Pemberitaan berhubungan dengan kasus joki yang melibatkan dosen maupun mahasiswa sungguh membuat miris. Citra diri dan integritas sangatlah begitu dipertanyakan. Apalagi keterhubungannya dengan perguruan tinggi sebagai ruang transformasi yang senantiasa diharapkan bekerja pada keadaban ilmiah dan peradaban kehidupan. Seiring bergesernya cara pandang yang terjadi, kemudian membuat perguruan tinggi menyaratkan perlunya dimaknai ulang.
Kita malah ingin mengingat ungkapan yang disampaikan oleh Bung Karno dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional kedua pada 22 Oktober 1962 di Universitas Gajah Mada. Pada bagian penutupan pidatonya yang berjudul “Abdikan Ilmu Pengetahuan” tersebut, ia berucap kepada para peserta yang hadir: “Ilmu adalah tiada banjak gunanja djikalau sekedar ilmu pengetahuan ins Blaue hinein, tetapi hendaknja satu ilmu pengetahuan jang diabdikan.” Ungkapan Bung Karno patut menjadi permenungan pada abad XXI.
Ia nampak ingin memberi penegasan akan makna keberpihakan atas tunggang langgang yang terjadi dalam ilmu dan pengetahuan. Setidaknya, sejak awal kemerdekaan, kita tahu bahwa imajinasi akan ilmu dan pengetahuan adalah terbentuknya kesadaran ilmiah, membentuk warga negara yang sadar ilmu, serta mengatasi kesenjangan dalam pelbagai bidang. Ilmu dan pengetahuan adalah visi kebangsaan.
Perubahan yang terjadi dampak kemenduaan dunia digital yang kemudian menarik ditelisik. Kita menyaksikan betapa mahalnya prinsip untuk meneguhkan keberpihakan. Kaitannya tentang itu justru mengingatkan buku garapan Peter Fleming, yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (2021). Fleming, akademisi di Universitas Teknologi Sydney itu betapa meluapkan kemarahannya lewat buku itu.
Kritik penting bagaimana perguruan tinggi menjelma menjadi raksasa bisnis ia tekankan. Tegasnya: “Produksi gelar dalam skala besar menjadi sektor utama di sejumlah negara, mencetak lulusan, publikasi jurnal, dan ‘hasil’, semuanya diawasi dengan analitik akuntansi yang menyerupai pabrik.” Seturut itu, Harian Kompas (12/02/2023) memunculkan artikel “Perguruan Tinggi Masih Mendewakan Gelar”. Begitu murahnya gelar tanpa dedikasi dan tanggung jawab yang dimiliki.
Awal Mula
Memang tak dapat ditampik, bahwa kenyataan pendidikan itu berkait kelindan dengan industri, politik, ekonomi, hingga militer. Hanya saja, yang menjadi persoalannya adalah bagaimana logika pasar yang dibangun seolah mengisahkan pendidikan tinggi itu sebuah bangunan yang rapuh dan mudah terombang-ambing. Persoalan ini sejatinya membawa pada uraian penting bagaimana lanskap teknologi digital menjadikan kelompok warga akademik menjadi gagap dan gugup.
Maka tidak mengherankan ketika Karlina Supelli pada 25 November 2020 membawakan topik “Kembali Ke Khitah: Perguruan Tinggi dan Masyarakat Akademik” dalam Studium Generale KU-4078 Institut Teknologi Bandung menekankan itu. Ia membuat sebuah analogi menarik tentang semakin sepinya warga akademik terhadap kemauan bernalar dan berpikir. “Dalam situasi ini, ini adalah jalan yang semakin sedikit ditempuh orang. Terutama karena pengaruh media sosial,” ungkapnya.
Salah satu astronom perempuan pertama Indonesia itu memberi penekanan terhadap media sosial. Ia menandaskan permasalahan ruang publik yang kemudian terjadi atas dua akibat, yakni polarisasi dan fragmentasi. Itu tentu bukan tuduhan, namun telah banyak fakta yang bermunculan. Menyitir apa yang pernah diungkapkan matematikawan, Iwan Pranoto, alih-alih teknologi digital itu diciptakan nalar, namun tetap kelimpungan dengan tindakan tak bernalar (unreason).
Keterhubungan Teks
Yang tak kalah penting dari situasi itu saya rasa adalah keterhubungan warga akademik terhadap teks. Bila budaya ilmiah telah dicederai dengan tindakan banal dan kesannya menggampangkan, ada sebuah tanya: apakah ada jaminan warga akademik setia dalam teks? Dengan arti bahwa dalam proses menumbuhkan inovasi maupun kebaruan dalam ilmu dan pengetahuan itu dilandasi dengan tradisi melakukan kajian dan telaah terhadap teks.
Keraguan ini nampak pernah diungkapkan oleh Fauzi Sukri (2017): Namun, sungguh sayang, manusia masih membaca dengan kecepatan purba primitif, meski telah menjadi profesor ilmuwan.” Kalimat menekankan permasalahan kebudayaan membaca, sekalipun itu di kalangan intelektual kampus. Kini, tibalah dengan disrupsi yang dimunculkan dari kemenduaan teknologi digital makin menghancurkan budaya baca.
Lebih mengherankan lagi, tata kelola perguruan tinggi dengan budaya yang berkembang di dalam sistem adalah teknokratis, menyiratkan pada kepentingan administratif. Meski itu juga jamak bergelimang, sebagaimana analisis Agus Suwignyo (2015): “Namun, jika diamati, banyak profesor dan dosen sebenarnya menikmati tugas-tugas administratif itu bagaikan kecanduan.” Tentu, itu tak bisa dijadikan alasan hingga kemudian perguruan tinggi melupakan beban tugas kemanusiaan universal, sebagaimana amanah konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Agaknya, kita patut merenung, untuk menggambarkan situasi yang sebenarnya tak diinginkan lewat sebuah puisi garapan WS. Rendra. Dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi (Pustaka Jaya, 1993), kita menemukan sebuah puisi berjudul “Sajak Anak Muda” (1977). Kita membaca: /Kita adalah angkatan gagap/ /Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar/ /Daya hidup telah diganti oleh nafsu/ /Pencerahan telah diganti oleh pembatasan/ /Kita adalah angkatan yang berbahaya/. Begitu.[]