Sedang Membaca
Mungkinkah Ada Juru Bicara PBNU?
Ahmad Irwiyan Haq
Penulis Kolom

S1 Teknik Kimia ITB, S2 Manajemen Industri ITS, Nyantri di Pekalongan. Domisili di Sidoarjo.

Mungkinkah Ada Juru Bicara PBNU?

Abdurrahman Wahid 2 169

Kiai Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sepertinya merupakan satu-satunya Ketum PBNU dalam sejarah Nahdlatul Ulama yang memiliki karir sebagai juru bicara presiden. Pengalaman unik ini ia jalani ketika menjadi jubir Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999-2001.

Sebagai catatan, selain Gus Yahya, Gus Dur memiliki dua jubir lainnya saat itu. Boleh dibilang, ternyata jeli sekali Gus Dur dalam memilih para jubir kepresidenannya. Mereka seolah mewakili generasi masing-masing. Saat itu, (alm.) Wimar Witoelar berusia sekitar 54 tahun, Adhi Massardi berusia 44 tahun, sedangkan Gus Yahya berusia 34 tahun!

Dalam keberjalanan karir selanjutnya hingga belakangan menjadi Ketum PBNU hasil muktamar ke-34 ini, ia dikenal lekat dengan sosok Gus Dur. Pengalaman yang paling menonjol di khalayak sehingga ia memiliki imej yang mentereng itu, yang tidak dimiliki kader NU lain, mungkin adalah potongan karir sebagai jubir Gus Dur tadi. Menjelang Muktamar kemarin, bahkan sempat ada launching serta bedah buku yang bertajuk ‘Menghidupkan Gus Dur’. Buku ini bercerita tentang kenangannya bersama dengan Gus Dur, terutama saat ia mendampinginya semasa menjadi presiden.

Saya jadi berfikir, apakah dengan pengalamannya tersebut membuat ia mempertimbangkan bahwa keberadaan juru bicara itu menjadi perlu bagi PBNU yang memiliki 34 kepengurusan wilayah ini?

*

Sebagaimana pernah diutarakan Gus Nadirsyah Hosen dalam sebuah kesempatan, saat ini tantangan PBNU menjelang 100 tahun atau menyongsong abad kedua adalah bagaimana kepemimpinan PBNU menggabungkan dua keahlian dalam tubuh organisasi, kemampuan ilmu agama dan juga kemampuan menata organisasi secara profesional.

Baca juga:  Empat Alasan Mengapa Politik Uang (harus di)Haram(kan)

Masih dituturkan berikutnya, semasa Gus Dur menjadi Ketum PBNU, ada yang mengharapkan bahwa Gus Dur tidak terpilih kembali pada periode kedua. Gus Dur di satu sisi hebat dalam pemikiran tapi menata ulang organisasi tidak secemerlang itu. Menurut sumber tersebut, Gus Dur sebaiknya cukup jadi pendobrak saja satu periode, kemudian (posisi Ketum PBNU) ‘dikasihkan’ ke dr. Fahmi Saefuddin yang dipercaya lebih bisa menata organisasi dengan baik. Tapi kita tahu, Gus Dur malah terpilih sampai 3 periode. Problem jama’ah dan jam’iyah akhirnya belum selesai di NU.

Semangat ‘Menghidupkan Gus Dur’ yang diusung oleh Gus Yahya perlu diimbangi oleh kebutuhan yang diutarakan Gus Nadir di atas. Beberapa tanggapan atas kepengurusan PBNU era Gus Yahya, khususnya jajaran tanfidziyah, sepertinya menuju ke arah sana. Sebagian pengamat bilang bahwa Gus Yahya berhasil mengakomodir berbagai latar belakang sebagai bagian dari perbaikan tata kelola organisasi tersebut.

Salah satu tantangan di era Gus Yahya adalah menghadapi era media wabilkhusus sosial media yang ada jutaan nahdliyin aktif di dalamnya. Dengan struktur jamiyyah yang lebih berwarna, dan jamaah yang begitu banyaknya, tidak hanya banyak tapi juga belum tentu seragam, adanya sosok juru bicara menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.

Contoh kasus yang membutuhkan peran jubir baru saja terjadi tidak lama setelah pengumuman struktur kepengurusan PBNU yang baru. Ada kabar bahwa salah satu tokoh ulama kharismatik kurang berkenan berada di peran tertentu. Dengan adanya kabar seperti ini, tentu media membutuhkan tabayyun ke PBNU. Kemudian, ada wartawan yang menghubungi Gus Ipul selaku Sekjen yang baru.

Baca juga:  Ceramah, Guyonan, dan Rasisme: Bagaimana Kita Harus Bersikap?

Saya membayangkan, jika wartawan A menghubungi Gus Ipul, kemudian wartawan B menghubungi Nusron Wahid, wartawan C menghubungi Mardani Maming, wartawan D menghubungi Savic Ali, dan seterusnya, maka boleh jadi outputnya memungkinkan tidak seirama sehingga beritanya berpotensi tidak sama. Belum lagi jika isunya adalah hal lain yang berhubungan dengan eksternal atau isu yang lebih krusial. Tentu dibutuhkan suara organisasi ketimbang opini personal bukan? Tentu pula kita tidak ingin seperti (maaf) MUI yang ketika wartawan menyitir pendapat dari salah satu tokohnya, seakan dianggap publik itu adalah suara MUI sebagai organisasi karena judul beritanya seolah-olah demikian.

Tahun 2022 ini boleh jadi ideal dibanding beberapa tahun sebelumnya maupun setelahnya. Tahun 2017-2018, situasi tidak kondusif oleh sebab adanya Pilkada DKI. Eksesnya kemana-mana dan lama sekali hilangnya. Tahun 2019 kembali dibuat lelah oleh suasana Pilpres. Kemudian 2020 kita diterpa COVID19 yang begitu tidak siap. Tahun berikutnya, efek pandemi masih sangat terasa dengan pemulihan ekonomi yang masih tertatih.

Tahun 2023 kemungkinan besar sudah mulai panas kembali karena genderang pilpres akan dimulai. Tahun 2024 sudah pasti akan lebih seru karena suhu politik mencapai puncaknya.

Kita semua berharap, berita di media terkait organisasi tidak mudah dibuat simpang siur oleh pihak-pihak tertentu. Di sisi lain, rasanya tidak memungkinkan apa-apa ditabayyunkan langsung ke Gus Yahya sebagai Ketum. Pasti repot sekali.

Baca juga:  Jiwa Menurut Penafsiran Imam Ghazali

Kita juga tidak ingin sebagaimana pernah terjadi, statemen pimpinan organisasi dipotong dan kemudian dipelintir di media lalu digoreng oleh pihak tertentu. Jika (naudzubillah) terjadi, maka perlu segera diluruskan duduk perkaranya, konteksnya, dan asbabul wurudnya bagaimana. Bisa jadi yang berpotensi salah tangkap adalah di kalangan nahdliyin sendiri yang konon jamaahnya mencapai seratus juta anggota, banyak sekali.

Tahun 2022 ini, pandemi mulai mereda. Era kepengurusan organisasi baru terbentuk. Meskipun bukan tahun yang ‘normal’, tapi sepertinya merupakan tahun yang cukup ideal dibanding tahun-tahun di atas. Semoga kita sebagai jamaah dapat belajar banyak atas apa yang sudah kita lalui dan bisa menggunakan tahun ini sebaik-baiknya.

Lantas, apakah juru bicara jamiyyah menjadi perlu?

Cukup berasalan jika jawabannya perlu. Kita bisa lihat keberadaan dr. Reisa Subroto Asmoro di Satgas nasional COVID19, Johan Budi di KPK, atau bahkan Ismail Yusanto di HTI. Keberadaannya menjadi pintu tunggal bagi media sedangkan pengurus harian organisasi fokus di luar itu.

Jika iya, apakah ia merupakan muhafadlatu ala qadimishalih (dari sisi menjaga kondusivitas) sekaligus jadidil ashlah (dari sisi tata kelola organisasi)?

Jika iya, mungkinkah Gus Yahya layak masuk rekor MURI sebagai satu-satunya ketum PBNU yang pernah menjadi jubir presiden dan juga satu-satunya ketum PBNU yang eranya memiliki jubir?

Tetapi, apakah mungkin?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top