Dhadha muntap lir kinetap
Duka yaya sinipi
Jaja bang mawinga wengis
Kumedhot padoning lathi
Netra kocak mangondar-andir
Kerot-kerot kanang waja
Idepnya mangalacakra
Wadananira mbranang
Lir kembang wora-wari
Sinosog merang sagedheng
Bel mubal dahana
–Ada-Ada Greget Saut 6.
Dalam khazanah budaya Jawa biasanya orang yang tengah dikuasai oleh amarah akan disebut sebagai “kalap.” Karakter getapan atau temperamental lazimnya dinisbahkan pada Prabu Baladewa yang konon ketika marah tak ada tandingannya dalam hal ke-kalap-an. Maka, terdapatlah peribahasa yang menyatakan bahwa orang yang tak lagi dapat marah seperti halnya Prabu Baladewa yang tengah kehilangan tongkat penyangganya atau “Baladewa ilang gapite.”
Peribahasa itu pun, ketika menyeksamai karakter-karakter dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pagelaran wayang, tak selamanya benar. Ternyata, pada perang Bharatayudha, dimana Prabu Baladewa tak diperbolehkan ikut, Wrekudara atau Bima Sena lebih kalap daripada kakak Sri Krisna itu. Dalam peristiwa Jambakan, Bima Sena sampai harus mematahkan tulang-belulang Dursasana dan meremukkan batok kepalanya sehingga darahnya dapat digunakan untuk keramas Dewi Drupadi.
Ke-kalap-an Baladewa yang hanya sampai memenggal kepala Setyaka karena menipunya agar tak dapat ikut perang Bharatayudha, ternyata tak sebanding dengan Wrekudara ataupun Boma Narakasura dalam lakon Samba Juwing. Di sini ternyata Baladewa, lewat peribahasa itu, hanyalah sekedar kambing-hitam atas karakter-karakter yang jauh lebih kejam daripada dirinya.
Namun, dalam hal ini, bukanlah nasib Baladewa yang mesti banyak mengalami penipuan untuk tak dapat menjadi pemenang dan mendapatkan penghormatan dalam setiap perang yang sudah pasti ia menangkan yang menarik perhatian saya di sini. Istilah “kalap” ternyata juga memiliki makna yang sama sekali lain. Justru, kalap dalam hal ini berkaitan dengan sesuatu yang ilahiah, yang sama sekali tak ada kaitannya dengan amarah. Secara sufistik, ia justru adalah sebentuk fana’ fi al-syaikh dalam rangka fana’ fi Allah dimana seolah diri secara sukarela dikebiri.
Prinsip “There is nothing outside the text” yang pernah menjadi wirid utama para penggila dekonstruksi sepertinya perlu mencermati Serat Centhini untuk sejenak menghapus (sous rature) prinsip itu dan melihat apa yang sebenarnya tersisa. Serat Centhini merupakan ensiklopedia budaya Jawa abad ke-18. Karya sastra ini ditulis oleh tiga serangkai pujangga Surakarta: R.Ng. Ranggasutrasna, R.Ng. Yasadipura II, dan Sastradipura yang lebih dikenal sebagai Kyai Muhammad Ilhar.
Konon, segala aspek kebudayaan Jawa di abad itu cukup lengkap terekam dalam Serat Centhini yang diprakarsai oleh sang putra mahkota keraton Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Bahkan deskripsi tentang aktivitas seksual yang “gila-gilaan,” yang tergambar dalam Serat Centhini Jilid V, konon ditulis sendiri oleh sang calon raja.
Elizabeth D. Inandiak, dalam tradisi “penulisan ulang” yang merupakan kekhasan poststrukturalisme Perancis, memang cukup apik ketika mengungkapkan jati diri Nyi Cethi Centhini yang sama sekali sekedar seorang figuran dalam kisah kasih Amongraga dan Tambangraras itu. Bagaimana mungkin karya sastra monumental itu lebih tenar dengan judul Serat Centhini mengingat Centhini sendiri hanyalah nama seorang abdi yang lebih banyak diam daripada berhikmah laiknya orang bijak (Centhini: Kekasih yang Tersembunyi, 2002)?
Dalam Serat Centhini sendiri, Centhini hanya muncul pada saat adegan ruang privat antara Amongraga dan Tambangraras, yang setelah syekh sufi itu berhasil menyanggamainya, setelah beberapa malam mewejangnya, Centhini menyiapkan ubarampe untuk menyucikan diri.
Dalam tradisi tasawuf, Nyi Cethi Centhi merupakan seorang yang tengah melakoni tapa pendhem atau khumul. Barangkali, karena ingin mengetengahkan laku khumul secara tersirat (outside the text) inilah tiga serangkai pujangga Surakarta juga menamakan karya sastra ini sebagai Serat Centhini di samping Suluk Tambangraras.
Sebagaimana sang imam uwaisiyah, Uwais al-Qarni, yang tak dikenal di Bumi namun tenar di langit, barangkali Centhini memang tak dikenal atau tak penting bagi para tokoh Serat Centhini sendiri seperti Kulawirya, Jamal-Jamil, Cebolang, Niken Rancangkapti, dst. Namun, sang abdi itu ternyata cukup karib dan menjadi buah bibir para pembacanya. Dan di sinilah buah dari laku khumul yang biru sebagai konsekuensi ke-kalap-an pada seorang syaikh yang suci ala Nyi Cethi Centhini yang dalam penafsiran Inandiak tampak cukup terpengaruh oleh konsep kenosis Jesus.
Berbeda dengan Nyi Cethi Centhini yang memilih laku khumul laiknya rumus Jesus yang lebih dikenal sebagai kenosis itu, ke-kalap-an Prabu Baladewa yang tak memilih jalan pengebirian ego justru mengantarkannya pada sedikit karakter yang berakhir mulia seperti halnya Abiyasa: dapat beranjak ke surga bersama raganya dan dijemput oleh para dewa dengan kereta kencana.