
Kita tentu tahu tentang peristiwa “Bedhahing Pleret” yang konon menumbangkan kerajaan Mataram yang despotik. Kala itu raja Mataram adalah Amangkurat Agung yang konon pernah membantai 6000-an ulama yang tak sejalan dengan berbagai kebijakannya.
Di samping Trunajaya, peristiwa itu juga dipelopori seorang ulama yang dikenal sebagai Sunan Kajoran atau Panembahan Rama, mertua dari sang pangeran Madura, Trunajaya. Nasabnya konon masih bersambung pada Sunan Tembayat, Klaten, yang memang pernah berkonflik dengan Mataram pada masa Sultan Agung.
Dari berbagai konflik, lazimnya terdapat berbagai kepentingan yang melatarinya. Misalnya, antara Bayat-Kajoran—yang dipelopori oleh Trunajaya, putra mahkota Amangkurat atau Raden Mas Rahmad, dan Panembahan Rama—dengan Mataram, kepentingan Trunajaya adalah balas dendam atas kematiannya ayahnya, sebagaimana Raden Mas Rahmad yang ingin secepatnya menuntaskan kematian dan menggantikan kedudukan sang ayah. Adapun kepentingan Panembahan Rama, konon, adalah penegakan syariat Islam yang dinilai telah dilecehkan oleh pemerintahan Amangkurat Agung.
Soal syariat Islam ataupun anti-syariat Islam, yang selama ini begitu menghiasi sejarah peradaban Islam di Nusantara, akan tampak menggelikan ketika kita menyeksamai konflik antara Bayat-Kajoran dan Mataram pada masa Amangkurat Agung itu, dan barangkali juga Mataram hingga hari ini.
Tentu, pada titik ini, kita bisa bertanya lebih mendalam tentang apa yang sebenarnya dirujuk oleh istilah “syariat” itu, sampai kita seolah-olah dapat menghukumi sesuatu, bahwa yang syar’i adalah yang baik ataupun yang benar, sedangkan yang tak syar’i adalah yang buruk ataupun yang salah?
Ketika menilik syariat sebagai semacam tata kelola pemerintahan, pada dasarnya, kerajaan Mataram jelas-jelas bersifat syar’i, karena memang nama kerajaannya adalah Mataram Islam dimana gelar “Panatagama” yang disematkan pada setiap rajanya adalah merujuk pada kekuasaan yang konon untuk mengatur pula urusan agama para kawulanya.
Maka, pernah beberapa tahun yang lalu segolongan kalangan agamawan yang ditengarai radikal menganyam tafsir bahwa “khilafah” sebenarnya bukanlah hal asing di Nusantara ini. Kerajaan Mataram Islam, bagi mereka, adalah salah satu presedennya. Belum lagi potongan sejarah Mataram yang membuktikan bahwa konon kerajaan Mataram cukup terpengaruh oleh sistem khilafah yang dipraktikkan kerajaan Turki Usmani.
Kemudian, kita dapat bertanya lebih jauh lagi. Pada kasus kerajaan Mataram Islam, bahkan pun ketika di bawah kepemimpinan Amangkurat Agung yang ditengarai paling despotik, benarkah syariat Islam benar-benar dilecehkan? Bukankah hukum qisas, kebiri, ataupun hukum gantung (pada kasus hukuman yang diberikan pada anak perempuan Pangeran Puger) yang terjadi pada era Amangkurat Agung hingga Amangkurat III (pada kasus hukuman yang dikenakan pada Tumenggung Mertawangsa) untuk menghukum kasus perselingkuhan adalah jelas-jelas bersifat syar’i?
Barangkali, Panembahan Kajoran ataupun kita mengartikan syariat sebagai perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang memang, dengan kembali menjumput Amangkurat Agung sebagai teladan, sama sekali tak syar’i: orgi, seks bebas, dan kehidupan hedonistik lainnya. Dan ini berarti bahwa syariat di sini adalah tak jauh dari soal penerapan Rukun Islam.
Dengan demikian, dengan berkaca pada sejarah, soal syar’i (syariat-oriented) ataupun non-syar’i, bahkan anti-syariat sekalipun, tak cukup memadai untuk digunakan sebagai dasar penilaian pada seseorang ataupun sepotong zaman. Sebab, telah terbukti bahwa selama ini kategorisasi itu telah berlaku secara semena-mena.
Bisa jadi, ketika dalam hal ini “syariat” adalah soal tata kelola pemerintahan, Amangkurat Agung adalah seorang raja yang cukup syariat-oriented. Dan Panembahan Rama atau Sunan Kajoran adalah seorang yang “liberal” di hari ini.
Dan ketika “syariat” di sini adalah soal tegaknya Rukun Islam, bisa jadi Amangkurat Agung adalah seorang raja yang “liberal” hingga darah, otot, dan dagingnya. Sementara, Panembahan Rama adalah seorang yang syariat-oriented atau bahkan ortodoks.