Lima riwayat
Adalah sesuatu yang penting bahwa nama-nama seperti Sunan Bonang, Syeikh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri Prapen, dikenal di berbagai daerah di Nusantara. Saya ingin menggenapkan dengan menceritakan lima riwayat tentang Sunan Kalijaga di pulau Lombok, yang tentu terkait pula dengan keberadaan sunan-sunan lain.
Pertama, di ujung Timur pulau Lombok, di desa Suwela, tidak berapa jauh dari Labuan Aji, pelabuhan yang menghubungkan pulau Lombok dengan pulau Sumbawa, terdapat makam raja-raja Selaparang. Di areal pesareyan ini terdapat petilasan Patih Gadjah Mada yang yakini sebagai tempat bertemunya antara sang patih Majapahit dengan Sunan Kalijaga.
Para peziarah dari luar pulau Lombok sering terlihat memanjatkan doa di sekitar petilasan ini. Seorang peziarah dari Jogja mengatakan kepada saya bahwa pertemuan dua tokoh yang tidak sezaman itu adalah tonggak penting dari penabalan Islam Nusantara.
Kedua, di sekitar makam Selaparang terdapat desa-desa yang terkait dengan mereka yang dimakamkan, seperti Pohgading dan Bagek Papan. Kedua desa ini meyakini bahwa leluhur mereka datang dari Jawa. Tidak persis, Jawa mana.
Berdasarkan catatan keluarga dan riwayat yang mereka rawat, pada abad-15 Masehi, tiba seorang bernama Djaya Prana yang mendarat di Labuan Tereng (dekat pelabuhan Lembar hari ini), kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Timur sampai di Sumur Batu, di Bagek Papan, Lombok Timur.
Selang beberapa tahun, Djaya Prana disusul oleh adiknya yang bermana Wijaya Krama ke Lombok. Tokoh Djaya Prana ini dalam versi Jogajakrta dan Solo adalah kakak dari Sunan Kalijaga. Kedatangan Sunan Kalijaga ke Lombok untuk menemui kakaknya yang menetap di Lombok.
Tokoh Djaya Prana ini kemudian di makamkan di Pesareyan Sultan-Sultan Mataram Islam, Kotagedhe, Yogyakarta. Dalan versi serat Centhini, Djaya Prana atau Andaya Prana adalah nama lain dari Sunan Kalijaga.
Hal serupa disebutkan juga oleh Husien Djadjadiningrat, bahwa ketika berada di Cirebon, Sunan Kalijaga memakai nama Djaya Prana. Jadi dalam tafsiran sejumlah sumber, Djaya Prana dan Sunan Kalijaga adalah satu orang dengan dua nama.
Ketiga, terkait dengan penyempurnaan ilmu batin Sunan Kalijaga yang diterimanya dari Syeikh Siti Jenar. Dalam beberapa serat disebutkan kalau Sunan Kalijaga adalah menantu sekaligus murid kesayangan Syeikh Siti Jenar. Dalam mata rantai atau sanad tarekat Akmaliyah, terdapat sanad yang berujung di Syiekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, baru kemudian bersambung ke ke Sultan Pajang sampai Sultan Agung.
Syeikh Siti Jenar mengajarkan Martabat Tiga, tapi karena dinilai sangat ekstrim, maka oleh Sunan Kalijaga ditata-ulang menjadi Martabat Tujuh. Penjelasan tentang kronik Martabat Tiga dan Martabat Tujuh membutuhkan ruang tersendiri. Ketika Syeikh Siti Jenar meninggal, Sunan Kalijaga memerlukan dirinya datang ke pulau Lombok untuk menyempurnakan ilmu tarekatnya kepada Pangeran Sangupati, seorang murid Syeikh Siti Jenar yang lebih senior.
Terjadilah pertemuan keduanya di desa Bayan, di bawah Kaki Gunung Rinjani. Bayan sendiri adalah tempat para ulama penganut tarekat Watu Telu (bukan Islam Watu Telu seperti dibincangkan selama ini).
Bukti pertemuan ini adalah adanya makam Pangeran Sangupati yang bersebelahan dengan Makam seorang yang disebut Sahid di sebelah Barat Masjid Pusaka Bayan. Nama “Bayan” sendiri adalah kode dari jaringan nama tempat (toponimi) yang didiami oleh para penganut ajaran Martabat Tiga Syeikh Siti Jenar, di Jawa atau di mana pun.