Sabtu malam lalu Ngaji Ihya Ulil Abshar Abdalla kopi darat (Kopdar) di Purwokerto Jawa Tengah, persisnya di Joglo Gatra Mandiri.
Joglo Mandiri tidak lain merupakan tempat tinggal Kiai Abbas Mu’in. Kiai Abbas adalah aktivis NU sepuh seangkatan Gus Dur yang akrab dengan gerakan petani.
Pengajian ini disebut Kopdar. Sebab, biasanya –sejak bulan puasa lalu– pengajian disampaikan secara daring melalui akun Facebook pribadi Ulil Abshar Abdalla, tiap malam. Setelah bulan Ramadan, karena banyak permintaan, pengajian dilanjutkan tiap Kamis malam. Kopdar di Purwokerto ini yang kedua setelah di Jakarta dua bulanan lalu.
Saya sudah lumayan lama mengikuti pengajian daring ini, seperti Ihya ini, mulai dari streaming radio NU sekitar empat atau lima tahun lalu, hingga sekarang, dengan perangkat Facebook, Youtube, Instagram, ataupun aplikasi seperti Nutizen. Saya mula-mula mengkhawatirkan pengajian jarak jauh ini akan mengurangi ‘rasa’ pengajian pada umumnya. Rasa apa?
Rasa takdim pada guru, nuansa pertemuan, ada bersama, saling sapa dan silaturahim.
Awalnya saya berpikir, pengajian gaya begitu adalah pengajian rasa individualis, seperti kita makan di restoran, berdekatan tapi tidak saling menyapa. Orang-orang fokus dengan ‘santapan’ masing-masing.
Tapi kasus pengajian ngaji Ihya ini mengurangi kekhawatiran saya. Sebab, muncul kebersamaan di sana. Orang saling menyapa, kasih saran untuk hasil siaran terbaik, bahkan ada orang-orang yang mengirimi makanan, tripot, hingga ada pula yang bertanya kepada saya: Mas Ulil, kira-kira butuh disumbang kuota tidak?
Kebersamaan ini tidak lain karena kecanggihan Facebook yang menyediakan ruang komentar. Orang secara atraktif terlibat dalam pengajian, saling sapa, kirim salam, turut membenarkan jika ada bacaan yang keliru, memberi referensi lain, hingga rajin memberi catatan atau ulasan untuk disebar. Tidak sekedar itu, ada juga yang negatif, yang tidak suka pun dapat mengekspresikannya dengan bebas, kecuali diblok. Sering kali memang agak mengganggu komentar-komentar tersebut, karena ada yang tidak relevan. Tapi jika tidak berkenan, tinggal kita geser kolom komentar, agar tidak muncul di layar ponsel.
Dan kopdar ini adalah sambungan dari kebersamaan yang ada di kolom komentar facebook. Mungkin awalnya iseng para Facebooker usul Kopdar, tapi terwujud juga, bahkan dilaksanakan di luar kota.
Dalam Kopdar di Purwokerto itu, saya menyaksikan Mas Ulil Abshar duduk di tengah, diapit dua lelaki sepuh. Sisi kiri ada sastrawan Ahmad Tohari sisi kanan ada Kiai Abbas Mu’in, sang tuan rumah. Panitia menyediakan bantal untuk menaruh Ihya, agar tangan penceramah tidak capek memeganginya.
Saya kira, Kopdar ini ini semacam bentuk pengajian umum yang lebih rileks, santai, tertawa, bahkan diawali menyanyikan lagu Indonesia Raya stansa tiga.
Bahkan lagi, seperti yang disampaikan Mba Ienas Tsuroiya dalam sambutannya, ada yang komen, “ayok dong cepat mulai.” Ini semacam protes khas model warganet yang blak-blakan dan ekspresif, tapi tidak menyinggung. Pokoknya asik, sang penceramah, tidak berdiri sendiri di podium, tidak berjarak dari Jemaah
Dan yang lebih penting lagi, panitia Kopdar tidak perlu sewa tenda, pangung, atau perangkat pengeras suara, tidak butuh pula puluhan panitia. Dari sisi pembiayaan hemat sekali. Dari sisi teknis, Kopdar juga tidak merepotkan. Kopdar hanya butuh ponsel, klip on, kuota, dan sinyal, agar dapat disiarkan secara langsung. Panitia Kopdar Athoillah Muhammad dalam sambutannya mengatakan bahwa acara bisa digelar karena partisipasi dan swadaya masyarakat. ada yang patung tenaga, makanan, dll. Asik bukan?
Namun dari sisi kwalitas, pengajian gaya kopdar ini tidak kalah dengan pengajian umum, bahkan bukan tidak mungkin lebih berbobot dari pengajian-pengajian biasanya, karena modelnya membaca kitab. Model pengajian membaca kitab seperti, di Jawa, biasa disebut ngaji Kuping, jika pesertanya tidak ikut pegang kitab. Disebut ngaji Bandongan jika pesertanya ikut melihat kitab yang dibaca penceramahnya.
Karena membaca kitab ataa buku, isi pengajian lebih sistematis, mendalam, dan tidak mudah tergoda untuk terlalu jauh melenceng dari bacaan.
Satu poin lagi, dengan pengajian membaca kitab secara langsung, kita akan mengerti kwalitas penceramahnya. Mampu atau tidak dia menguasai literatur bahasa Arab, sumber primer ilmu-ilmu keislaman?
Tapi di sisi lain, berceramah dengan baca kitab –sebetulnya ini metode ulama dahulu dalam mengisi pengajian– seperti Kopdar ini, dapat membantu cara berkomunikasi bagi orang yang tidak lihai ceramah, stand up, di depan massa lebih dari satu jam tanpa membaca. Tidak semua kiai, intelektual, mampu berorasi secara memikat, membius jemaah, seperti Kiai Said Aqil, misalnya.