Pernah mendengar kisah –lebih tepatnya humor, lebih tepatnya lagi kritik– Gus Dur tentang Soeharto naik haji? Kalau belum, simaklah baik-baik. Kalau sudah, boleh tinggalkan tulisan ini.
Masyarakat Indonesia, umat Islam pastinya, gembira presidennya naik haji. Maklum sebelumnya Soeharto lebih dipersepsikan presiden kedua ini lebih cenderung abangan daripada seorang muslim yang taat, meski pada tahun 1978 (setelah Pemilu 1977), dia juga pernah berangkat umroh.
Saking gembiranya, masyarakat berbondong-bondong memilih Golkar pada Pemilu 1992. Golkar menang besar, konon, karena beredar foto Soeharto dan keluarganya yang sedang mengenakan pakaian Ihram. Tahun 1990an, politik Orde Baru memang “hijrah”, mendekat kepada kalangan Islam, terutama Islam kota.
(Humor cerdas ala Gus Dur bisa klik di sini)
Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, Gus Dur justru mengkritik Soeharto naik haji. Seperti biasa, mengkritik dengan humor cerdas. Yang jadi sasaran kritik buka Soeharto langsung, melainkan murid setianya: Harmoko. Ini metode “mlipir”.
Gus Dur menceritakan saat lempar Jumroh, lemparan batu Menteri Penerangan Harmoko malah kembali ke mukanya. Harmoko pindah posisi. Dia melempar kembali, tapi lagi-lagi batu mengenai kepalanya sendiri. Berkali-kali seperti itu.
Akhirnya, Harmoko mendekati bosnya, Presiden Soeharto, mau minta petunjuk. Tapi sebelum mendekat, ada suara halus membisiki Harmoko, “Sesama setan tidak boleh saling melempar.”