Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Bagaimana Orang NU Makan Enak?

Dua telur wajib didadar, agar anggota keluarga merasakan semua. Jika sekeluarga ada tujuh anggota, dua telur akan dicampur parutan kelapa, bawangnya diperbanyak agar rasa terjaga. Baru digoreng. Sedikit gosong boleh juga, agar lebih gurih.

Rasanya mewah sekali jika makan telur begitu dua kali seminggu. Telur rebus akan mereka makan jika ada kenduren. Dalam berkat, telur hanya ada separoh. Kecuali yang hajatan orang kaya, jika kaya banget, telurnya telur asin utuh. Siapa yang kebagian telur kenduren?

Anggota keluarga paling muda, alias bontot. Yang tua mengalah. Sebagai anak bontot, saya merasakan pengalaman ini. Merasa dimanja dan dinomorsatukan.

Makan ikan Bandeng? Mereka –kami mungkih, kita mungkin– makan ikan Bandeng jika kenduren diselenggarakan oleh orang kaya.

Dalam berkat, atau disebut juga besek, bandeng ukuran sedang dipotong jadi tiga. Wal hasil, satu besek hanya ada bagian kepala saja, atau tengah saja, atau ekor saja. Warga atau jemaah NU atau kaum santri yang miskin di mana pun berada, mungkin tidak pernah melihat satu ekor utuh ikan bandeng tergeletak di atas piring.

Tidak terbayang warga NU yang miskin atau santri-santri di pesantren beli ikan Bandeng di pasar lalu dibakar atau disop. Nyaris mustahil ada. Kecuali ada kenduren, Bandeng tidak akan pernah tampak menemani santap makan. Di kampung kami dulu, jika ada orang makan Bandeng, akan “dipuji”, “Wuih, kayak keluarga Pak Camat makan Bandeng!”

Baca juga:  Posisi NU dan Muhammadiyah di Era Priayisasi Islam

Jenis buah-buahan ini: pir, apel, anggur, kiwi, stroberi, duren, dan jenis buah yang tidak umum tumbuh di halaman-halaman rumah, hampir dipastikan tak akan terlihat di dalam rumah jemaah NU. Apalagi menimbun buah-buahan, tak akan terjadi itu. Mereka tidak punya lemari es!

Tapi soal buah-buahan, warga NU sedikit lebih beruntung, karena mangga, pisang, sawo, jambu, pepaya, belimbing, kelengkeng, bisa ditanam di halaman rumah. Dan jika tidak punya halaman, tetangga akan membagikannya saat musimnya tiba. Rasa dan vitamin “buah halaman” ini tak kalah dengan buah yang kusebut di bagian awal paragraf ini. Semangka memang bukan “buah halaman”, tapi dia bisa dibeli dengan cara irisan, yang artinya, bisa menghemat uang.

Yang paling berat hari ini adalah bab minum. Ya, minum. Bab sederhana, tapi darurat.

Orang tidak makan nasi atau jenis karbo lainnya, selama seminggu kemungkinan masih bisa bertahan hidup. Tapi tidak minum, tidak memasok tubuh dengan cairan, selama seminggu, tidak ada yang dapat menjamin bola matanya masih bererak-gerak.

Orang NU di kampung-kampung tidak neko-neko soal minum. Mereka tidak kenal kopi Gayo Arabica, jus apel yang begitu lembut, atau minuman dengan warna-warna yang menyegarkan. Teh panas tanpa gula pun nikmat dalam cuaca apapun.

Baca juga:  Perceraian, Takhbib, dan Media Sosial

Pada bulan puasa seperti sekarang ini, orang NU yang miskin baru akan minum teh manis tiap hari. Tapi masalahnya hari ini adalah, air minum putih harus beli.

Berikutnya kita tengok bagaimana kaum santri atau orang NU kebanyakan merebahkan tubuh untuk istirahat total. Dua tahun lalu, saat saya memutar film dokumenter “Jalan Dakwah Pesantren” di kampus VU Amsterdam, ada yang bertanya, “kenapa pesantren tidurnya begitu?”

Mereka menyaksikan satu adegan ratusan santri secara bersamaan tidur di sebuah aula Pesantren Tegalrejo, yang jika waktu salat tiba, maka buat salat. Aula itu, di saat waktu ngaji mulai, ya buat ngaji. Di aula itu pula Presiden Joko Widodo berjumpa ribuan santri.

Menjawab ekonomi adalah problemnya. Dahulu pesantren adalah tempat rakyat kebanyakan (miskin) belajar. Jika ada alasan-alasan selain kemiskinan, itu penjelasan kesekian. Orang miskin ngrowot (laku prihatin dalam makan) itu sudah “tarekatnya”, seharusnya. Tidak ada jalan yang baik kecuali ngrowot. Tapi orang kaya ngrowot adalah pilihannya. Kemiskinan sebagian masih berlangsung, sebagian sudah beruntung.

Tapi orang NU harus bersyukur, kita punya jeda untuk melupakan kemiskinan: kenduren. Keberuntungan berikutnya adalah, orang NU punya cara melupakan kemiskinan, yakni punya selera humor yang keren. Dan jangan lupa, yang miskin bukan hanya NU.

Baca juga:  Kitab Tafsir Terbitan Muhammadiyah di Kantor NU

Sekian. Semoga Pak Jokowi baca ini. Tapi sebetulnya tidak baca pun tidak mengapa. Karena saya yakin, beliau sudah sering mendengar kisah-kisah seperti yang saya sampaikan di atas. Lebih-lebih, mulai Oktober nanti, wakil beliau adalah kiai NU, yang mengerti dan merasakan susahnya jadi orang NU.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (3)

Komentari

Scroll To Top