Pesantren merupakan suatu lapisan lingkungan budaya dan tradisi yang terbenihkan dan mengakar di Jombang sejak dua abad silam. Pesantren-pesantren besar di Jombang telah eksis sejak abad ke-19 dan abad ke-20 dan terus dinamis hingga sekarang. Eksistensi pesantren di Jombang dipandang sebagai “Makkah”-nya pesantren di negeri ini sejak sebelum dan sesudah masa Kemerdekaan.
Para pemuka pesantren-pesantren di Jombang ini adalah pribadi-pribadi yang berwawasan kosmopolitan. Mereka pernah mukim lama di jazirah Arabia. Mereka belajar dan bergaul secara sosial dan intelektual dengan beragam manusia dari banyak bangsa di wilayah bergurun pasir itu.
Pengalaman mereka, para kiai pemuka pesantren itu, mencurahi mereka keluasan dan cakrawala pribadi yang mengglobal, kosmopolitan.
Pengalaman kosmopolitan pergaulan sosial dan intelektual para kiai pesantren di Jombang pada abad ke-19 dan abad ke-20 membuat kehadiran dan kiprah mereka di Jombang — sebuah kota kecil di ujung timur pulau Jawa — melahirkan suatu sintesa sosial dan intelektual yang signifikan.
Mereka menjadi figur terkemuka di lapisan sosial dan intelektual di Jombang dan dikenal pamor ketokohannya di luar wilayah Jombang. Di Jombang, ada tiga kuburan pahlawan nasional dari pesantren di Jombang — Kiai Hasyim, Kiai Wahab, dan Kiai Wahid. Jumlah ini bisa bertambah, Kiai Bisri Syansuri dan Gus Dur menunggu antrian.
Pada masa sebelum kemerdekaan, Kiai Abdul Wahab Hasbullah dari pesantren di Tambakberas, kemudian hari bernama Pondok Pesantren Bahrul Ulum, mendirikan organisasi berbasis masyarakat santri tradisional di Jawa setelah meletusnya Perang Dunia I. Sebelum Perang Dunia I, Kiai Wahab belajar di Makkah dan Ketua Serikat Islam (SI) Cabang Makkah. SI mencorong di masa kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, yang berpusat di Surabaya pada masa kolonial Hindia Belanda.
Sebelum organisasi Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 1926, pada masa kolonial Hindia Belanda, Kiai Wahab melalui organisasi-organisasi masyarakat menggerakkan kalangan santri tradisional di ranah intelektual (Tashwirul Afkar), ekonomi (Nahdlatut Tujjar), kebangsaan (Nahdlatul Wathan) maupun kepemudaan (Syubbanul Wathan).
Pada masa kemerdekaan, Kiai Wahab mendirikan Partai NU setelah organisasi NU keluar dari Masyumi. Kiai ini dikenal sebagai pendukung setia kebijakan politik Soekarno yang dijuluki “Kiai Nasakom”.
Kiai Wahab adalah pemimpin generasi keempat pesantren di Tambakberas, di penjuru utara kota Jombang. Kiai ini terampil dalam organisasi dan politik, serta punya wibawa untuk menggalang dukungan, termasuk dari kalangan “abangan”.
Pesantren di Tambakberas dirintis sekitar 1830an, seusai Perang Jawa, oleh Kiai Abdul Salam yang berjuluk Kiai Shaihah. Pesantren di Tambakberas kemudian dipimpin oleh menantu Kiai Shaihah, bernama Kiai Said. Kiai Hasbulllah yang melanjutkan kepemimpinan pesantren di Tambakberas sesudah Kiai Said adalah ayahnya Kiai Wahab.
Kiai Wahab menjodohkan adik perempuannya dengan pemuda dari Pati, Jawa Tengah yang kemudian dikenal sebagai tokoh NU, Kiai Bisri Syansuri. Kiai Bishri menonjol dan ketat dalam ilmu fikih. Kiai Bisri mendirikan pesantren di Denanyar pada tiga tahun setelah meletus Perang Dunia I.
Pesantren di penjuru barat kota Jombang ini bertahan dan berkembang sampai sekarang. Kiai Bishri bertemu Kiai Wahab tatkala belajar di Makkah. (Baca: Kiai Wahab Merayu Kiai dan Santri)
Sepeninggal Kiai Wahab pada 1971, tokoh sentral dan utama di NU adalah Kiai Bisri. Kiai Bisri adalah tokoh di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kiai ini menjadi kontroversial setelah mendukung program Keluarga Berencana (KB), sebuah kebijakan rezim Orde Baru untuk pengendalian jumlah pendududuk.
Kiai Mustain Romly adalah menantu Kiai Wahab. Kiai Mustain memimpin pesantren di Rejoso, Peterongan, di penjuru timur kota Jombang. Kiai Mustain adalah putra Kiai Romly Tamim, seorang pemuka tarekat yang masyhur dengan wirid Istighatsahnya. Kiai Romly Tamim punya pengalaman intelektual dan sosial di Makkah.
Kiai Mustain dikenal sebagai tokoh penting partai rezim Orde Baru, Golkar, di Jawa Timur. Gonjang-ganjing terjadi karena partai politik kalangan NU dan santri pada masa itu adalah PPP. Kiai Mustain dituduh murtad. Kiai Mustain berargumentasi bahwa partai politik bukanlah agama.
Pesantren di Rejoso yang berdiri sejak 1885 di rintis oleh Kiai Tamim Irsyad, kakeknya Kiai Mustain, itu kemudian dikenal sebagai Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso. Pada masa awal Orde Baru berkuasa, Kiai Mustain mendirikan universitas, lima kilometer di luar pesantren yang dipimpinnya. Pada masa sesudahnya, Pondok Pesantren Tebuireng dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum juga mendirikan universitas di sekitar pesantren.
Kiai Muhammad Hasyim Asyari merupakan pemimpin resmi pertama NU. Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, di penjuru selatan kota Jombang, ini merupakan sosok ulama hadis yang sangat dihormati. Kiai Wahab dan Kiai Romly merupakan murid-muridnya. Ayah dan kakek Kiai Hasyim bersambung kerabat dengan Kiai Utsman, menantu pendiri pesantren di Tambakberas.
Madrasah dan sekolah merupakan gagasan modern yang diterapkan di Pondok Pesantren Tebuireng pada masa kepemimpinan Kiai Abdul Wahid Hasyim. Kiai Wahid adalah politisi nasional dan salah satu tokoh pendiri NKRI. Kiai Wahid wafat saat masih menjabat menteri agama pada masa rezim Soekarno. (Baca: Kiai Wahid Maha Guru PMII)
Empat pondok pesantren yang berada di empat penjuru kota Jombang itu, selain menyelenggarakan pendidikan pesantren, sudah sejak lama mendirikan dan mengelola sekolah dan madrasah dari tingkat dasar, menengah dan atas.
Tiga di antara pesantren itu juga mendirikan dan mengelola universitas. Semua lini pendidikan formal tersebut merupakan sumber penopang pengembangan infrastruktur pesantren melalui keluarga maupun lembaga/yayasan pondok pesantren. Lini lain pengembangan infrastruktur pesantren adalah lobi bantuan-bantuan dari pemerintah melalui keluarga pesantren yang menjadi tokoh politik.
Pondok pesantren di Jombang kemudian melakukan kreasi-kreasi internal misalnya pengelolaan asrama santri yang lebih modern dengan layanan binatu dan konsumsi bagi santri. (Baca: Tujuh Karya Monumental KH. M. Hasyim Asy’ari)
Di lingkungan pesantren tampak koperasi, toko atau minimarket yang didirikan oleh pesantren atau keluarga pesantren. Ini semua merupakan lini usaha pesantren atau keluarga pesantren. Dulu para kiai bertopangkan ekonominya dari pertanian dan perkebunan.
Semua itu merupakan upaya pesantren-pesantren di Jombang menjalani dinamika sejarah seiring perubahan zaman untuk tetap bisa eksis dan berkembang. Semua itu merupakan “siasat budaya”, cara-cara yang ditempuh untuk bisa berdaya, berkembang dan terbebas dari kemandekan dan kepunahan. Pergulatan budaya itu sampai saat ini masih terus menggeliat dalam politik dan intelektual serta ranah lainnya.
Puncak capaian politik keluarga pesantren di Jombang adalah Gus Dur, pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan presiden pertama pada masa reformasi di negeri ini. Para tokoh nasional partai politik saat ini tak sedikit yang merupakan kerabat pesantren di Jombang misalnya di PKB dan PPP.
Di ranah intelektual mutakhir, pesantren di Jombang masih menampakkan kiprahnya melalui keluarga pesantren yang belajar di Barat maupun Timur Tengah, menjadi akademisi di universitas-universitas ternama di Jawa dan menulis di media massa. Keluarga pesantren di Jombang juga ada yang menerbitkan buku berbahasa Indonesia maupun bahasa Arab.
Regenerasi kepemimpinan pesantren di Jombang tak selalu fanatik kepada sistem trah keluarga utama sebagai yang berhak memimpin pesantren. Kiai Said yang meneruskan kepemimpinan Kiai Shaihah di Tambakberas dan Kiai Cholil Juremi yang melanjutkan kepemimpinan pesantren di Rejoso sepeninggal Kiai Tamim, misalnya. Ini merupakan salah satu “siasat” pesantren menghadapi kondisi khusus agar eksistensi dan dinamika pesantren terjaga. Regenerasi alternatif ini ditempuh meski kontroversial bagi tradisi.
Dua abad perjalanan pesantren di Jombang telah menampakkan suatu gambaran dan dinamika yang menggembirakan dan masih menjanjikan. Arus global yang menerpa seluruh dunia, juga Jombang, mendesakkan perubahan-perubahan yang tak terelak yang menggencar melalui teknologi komunikasi dan informasi, transportasi dan kian terbukanya kebijakan ekonomi.
Saya kira, pengalaman kosmopolitan para pemuka pesantren di Jombang di masa lalu masih belum luntur dari generasi penerus pesantren di Jombang sesudah mereka sehingga “pusaka kitab kuning” bisa bersanding dan bergaul dengan wawasan kitab-kitab lain. (Baca: Ulama, Karya, dan Bahasa)
Selain empat pesantren itu, di Jombang juga ada pesantren-pesantren lain yang menampakkan pertumbuhan dan perkembangan yang patut diapresiasi. Pamor empat pesantren besar di Jombang itu memang masih hegemonik, namun sesungguhnya pesantren-pesantren lainnya, pesantren di Paculgowang dan pesantren di Seblak sebagai sedikit contoh, merupakan pilar-pilar penting bagi kekukuhan kehidupan pesantren di Jombang.