Dulu, pelajaran bahasa Indonesia itu menjemukan dan menggirangkan. Silih berganti. Buku-buku pelajaran bahasa Indonesia masa 1950-an dan 1960-an membuat murid ketagihan. Di buku-buku, mereka belajar sambil melihat gambar-gambar apik, “sambungan” dari peran ilustrasi di pengajaran masa kolonial. Pada masa Orde Baru, buku-buku berubah mengacu kurikulum. Gambar-gambar pun berubah meski kita masih memiliki ingatan edisi buku pelajaran bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka masa 1970-an.
Orang terpikat belajar bahasa Indonesia melanjutkan membaca buku-buku susunan Gorys Keraf, JS Badudu, Harimurti Kridalaksana, Anton M Moeliono, dan lain-lain. Buku penting itu berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1981) garapan Gorys Keraf. Belajarlah orang mengenai metafora. Penjelasan: “Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buat hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.” Belajar bahasa Indonesia, belajar metafora. Sulit tapi melipatgandakan penasaran.
Orang sudah khatam buku-buku pelajaran bahasa mungkin tak terlalu kaget saat membaca dua halaman debat memuat esai bermutu: “Qur’an dan Metafora” oleh Quraish Shihab dan “Sikap dalam Interpretasi” oleh Nurcholis Madjid. Kita menemukan dua esai itu dimuat di majalah Jakarta-Jakarta, 22-28 April 1988. Mereka menulis bukan di majalah cap agama. Quraish Shihab mengawali esai: “Pengertian kata metafora antara lain dikemukakan dalam kamus linguistik, metafora (metaphor) adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.” Sederhana dan gamblang, mengantar pembaca menuju masalah besar.
Quraish Shihab menulis: “Pemahaman Al Qur’an tidak terlepas dari pemahaman kosakata/ungkapan yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya; dan apabila terbukti mereka menggunakan metafora dalam percakapan mereka maka tentunya dalam Al Qur’an hal yang demikian pasti ditemukan, karena ia diturunkan dengan bahasa arap, agar dapat mereka pahami (Baca QS 43, Fuslihat 3).” Orang sudah membaca buku-buku bahasa Indonesia perlu belajar pula belajar bahasa Arab demi pelajaran metafora. Di esai sebelah, Nurcholis Madjid menerangkan: “Interpretasi metaforis atau ta’wil ialah pemahaman atau pemberian pengertian fakta-fakta tekstual dalam sumber-sumber suci (Al Qur’an dan Al Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperhatikan bukanlah makna lahiriah kata-kata pada teks sumber suci itu, tetapi ‘makna dalam (batin, inward meaning)’ yang dikandungnya.”
Kita berpikir serius gara-gara dua esai. Dua orang itu ahli agama. Eh, pembaca cuma belajar bahasa Indonesia, belum pernah belajar bahasa Arab di madrasah atau pondok pesantren. Metafora itu masalah besar dan menggoda di kerja pemaknaan tapi mengharuskan orang memiliki bekal-bekal.
Keinginan mengetahui dan memikirkan metafora kadang terganggu oleh para penceramah di pengajian-pengajian. Mereka berdakwah miskin metafora atau “menolak” metafora dalam mengundang kepahaman umat mengenai pelbagai hal dalam agama. Duh, masalah itu membuat kita malas-malasan ikut pengajian malah sering memicu benci, marah, curiga, dan sengketa. Apa gara-gara pengabsenan dan pemiskinan metafora? Kita belum berlagak mengetahui metafora dalam kitab suci. Oh, perjalanan ke situ masih jauh dan bekal masih kurang. Kita mendingan membaca novel berjudul Il Postino. Di situ, kita belajar metafora melalui Pablo Neruda dan gubahan sastra digemari para pembaca di dunia. Ingat, metafora itu dipelajari melalui novel dan puisi belum tentu lekas tergunakan saat membaca kitab suci. Begitu.