Sedang Membaca
Kala Kiai NU Masuk PDI Perjuangan
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Kala Kiai NU Masuk PDI Perjuangan

Fb Img 1610247517888

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang hari ini berulang tahun ke-48, pada dasarnya adalah keberlanjutan dari PDI yang berdiri pada 10 Januari 1973. Partai ini sendiri merupakan hasil fusi yang dipaksakan oleh rezim. Di antara partai yang bersatu itu adalah PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Murba.

Partai-partai tersebut, pasca Pemilu 1971, dikelompokkan dalam satu fraksi, “Pembangunan Demokrasi”. Sedangkan sejumlah partai berhaluan Islam dikelompok tersendiri dalam fraksi “Pembangunan Persatuan”. Dari fraksi ini, di kemudian hari, menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dari pengelompokkan tersebut, PDI mengalami stigma dari para lawan politiknya. Mereka dicap sebagai partai anti-Islam. Hal ini dihembuskan oleh lawan politiknya masa itu, Golkar dan PPP.

Dengan stigma demikian yang berlangsung cukup kuat dan lama, membuat nyaris tak ada kiai yang masuk PDI. Jangankan ke PDI, jika ada kiai yang menyebrang ke Golkar yang berupaya mencitrakan peduli Islam saja, siap-siap untuk dikucilkan oleh jamaahnya.

Situasi yang demikian, tentu saja, akan membuat heboh jika ada seorang kiai yang mengeluarkan statmen untuk masuk PDI. Seperti halnya yang dilontarkan oleh KH. Alawy Muhammad, pengasuh Pesantren Attaroqi, Sumenep, Madura. Seorang dedengkot dari PPP yang memiliki reputasi keras dalam menghadapi represi rezim.

Baca juga:  NU, UMKM, dan Momentum Merger Bank Syariah

Pasca Muktamar III PPP yang berlangsung di Jakarta pada 29 Agustus – 1 September 1994, muncul kekecewaan dari kader-kader NU yang berproses di PPP. Sebagai pemilik suara terbanyak, tersingkirnya NU dari pucuk pimpinan partai berlambang bintang kala itu, membuat orang kecewa. Saat itu, justru kader-kader dari Muslimin Indonesia (MI) yang notabane-nya minoritas malah memimpin. (Hal ini bukan semata karena kehebatan MI, tapi karena adanya tekanan dari rezim pemerintah yang berkuasa).

Salah satu kader NU yang kecewa itu adalah Kiai Alawy. Sesaat usai mengisi acara peringatan Maulid Nabi di IKIP Surabaya pada 4 September 1994, ia dikonfirmasi wartawan perihal hasil muktamar PPP. Dengan santai ia menyatakan bakal keluar dari PPP yang kerap mengidentikkan dengan sebutan rumah besar umat Islam itu.

“Apabila di rumah gerah, kita harus keluar,” demikian kiai kelahiran 1923 itu mengumpamakan.

Sontak saja, pernyataan tersebut, langsung menjadi santapan berbagai media. Surabaya Pos edisi 5 September 1994 bahkan dengan tegas memasang hadline “Bismillah, Saya Akan Masuk PDI”. Begitu pula media lainnya.

Panji Masyarakat, tabloid yang dekat dengan kultur MI, menurunkan liputan khusus perihal ini. Salah satunya dengan melakukan wawancara langsung dengan Kiai Alawy.

“Apakah benar Anda akan masuk PDI?” tanya Rudianto Anwar, wartawan Panji Masyarakat.

Baca juga:  Lebaran ala Majalah "Wanita"

“Benar!”

“Apakah sudah Anda pertimbangkan masak-masak?”

“Ulama-ulama, semua salut sama pendapat saya.”

“Bagaimana Anda tiba-tiba sampai bisa berubah pendirian?”

“Saya ikut Kitab Sulam.”

“Bagaimana singkatnya?”

“Butuh waktu satu bulan untuk menyingkatnya saja,” pungkas Kiai Alawy mengakhiri wawancara.

Melihat fenomena tersebut, Megawati Soekarnoputri, salah satu petinggi PDI, tak mau terpancing. Ia tahu betul jika hal tersebut hanyalah bentuk kekecewaan sesaat.

“Target dasar yang harus dipenuhi (jika kiai NU bergabung dengan PDI) adalah semangat juang. Jadi tidak ada tawar-menawar kursi dengan NU,” ungkap Megawati mengomentari dinamika politik NU seusai deklarasi kembali ke khittah 1926 dan kekecewaan pada Muktamar III PPP sebagaimana yang dimuat dalam Majalah Sinar No. 51, 19 September 1994.

Akan tetapi, statmen cukup jaim dari Megawati tersebut, tak lain adalah bagian dari gimick politik. Pada dasarnya, ia tetap membuka ruang bagi kader-kader NU yang ingin berproses di PDI. Apalagi ia kala itu juga sedang membangun komunikasi baik dengan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menjadi Ketua Umum PBNU kala itu.

Seperti halnya kisah Gus Ipul alias Saifullah Yusuf, yang dipasrahkan Gus Dur untuk jadi “anak angkat politik” Megawati di PDI. Hingga saat ini pun, tak sedikit kader-kader NU yang menjadi bagian dari partai berlambang banteng moncong putih itu. Sebut saja Falah Amru (Fraksi PDIP/ Wakil Bendahara PBNU), Gus Nabil (Fraksi PDIP/ Ketua Umum Pagar Nusa) hingga Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi).

Baca juga:  Sebuah Kritik: Hermeneutika Alquran

Waba’du, selamat Harlah ke-48 PDI Perjuangan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top