Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Ulang Tahun FPI, Ulang Tahun Habib Rizieq

Persepsi publik terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS), yang entah positif atau negatif, sesungguhnya bisa diamati dari sebelum namanya melambung tersohor, menjadi buah bibir seantero negeri, dipuji bak melantunkan zikir oleh pengagumnya, dan dicaci sumpah serapah oleh para pengkritiknya.

HRS, sebagaimana manusia pada umumnya, yang jika ditinjau dari psikologi perkembangan, ada yang mengalami evolusi perubahan hidup, dari jahat menjadi tobat, misalnya. Tapi HRS, pola karakternya tidak demikian. Terlihat linear.

Artinya, HRS yang kita kenal dan dipersepsikan publik, mencerminkan pengalaman-pengalaman masa kecilnya. Ian Dauglas Wilson pernah menulis reportase tentang keterkaitan FPI dengan dunia preman di Jakarta, berjudul As Long as It’s Halal: Islamic Preman in Jakarta (2007). Di artikel itu, terdapat informasi menarik ketika memotret HRS masa muda. Bahwa HRS, dianggap oleh para tetangga sebagai pembuat onar yang gemar berkelahi.

Kemudian, setelah lulus SMA, ia kuliah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) hanya setahun, lalu dikirim oleh keluarganya ke King Saud University di Arab Saudi dalam rangka “meluruskannya.” Di sana dia mendapat gelar di bidang hukum Islam. HRS pulang kampung dalam keadaan telah berubah dan bersama dengan sejumlah orang dari komunitas habib di Jakarta mendirikan FPI.

Sejarah FPI

FPI tampil ke hadapan publik pertama kalinya di mana pergolakan politik 1998 sebagai bagian dari milisi Pam Swakarsa yang pro-Habibie yang dibentuk oleh Jenderal Wiranto untuk membatasi gerakan mahasiswa pro-reformasi. Setelah itu, kelompok ini terlibat dalam bentrokan berdarah dengan gangster Ambon di Ketapang yang berujung pada tewasnya 15 orang.

Baca juga:  Beban Berat Perempuan di Daerah Perang

Berdasarkan penelusuran Ian Dauglas Wilson, lewat aparat keamanan negara, seperti kepolisian, menyimpulkan bahwa polisi awalnya mendukung FPI sebagai tandingan atas keekstreman gerakan reformasi oleh mahasiswa. Dukungan ini berbentuk logistik dan keuangan. Namun pada situasi setelah krisis 1998, pendekatan tangan besi yang dulu dipakai untuk menghadapi milisi sipil tidak mungkin lagi digunakan.

Akhirnya, polisi mencari pengganti melalui usaha mencoba untuk “mengendalikan” dan berkompromi dengan FPI dan kelompok-kelompok serupa dengan menyalurkan dana yang diperoleh sebagian besarnya dari kalangan pengusaha di Jakarta kepada para pemimpinnya. Rencana ini gagal. Di dunia politik yang baru dibuat demokratis dan tersentralisasi kesepakatan-kesepakatan “dukungan” semacam itu tidak lagi mengikat. Seiring berjalannya waktu, FPI semakin independen dari aparat negara yang mendanainya.

Selain Ian Dauglas Wilson, tentu masih banyak lagi hasil-hasil riset tentang FPI dan peran HRS di dalamnya. Satu di antaranya, buku Al-Zastrouw Ng, senior saya berlapis-lapis, berjudul Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (2006). Hasil riset Al-Zastrouw Ng termasuk otoritatif dan sering dirujuk oleh para peneliti, termasuk oleh Ian Dauglas Wilson, dalam setiap membahas perihal FPI.

 

HRS Muda

Kembali pada diri HRS, yang pengalaman hidup di masa kecil berbanding lurus dengan karakternya ketika dewasa sampai sekarang. Indikasi ini bisa dilacak pada saat HRS menempuh sekolah tingkat menengah di SMP Kristen Bethel Petamburan.

Baca juga:  Gus Dur, FPI, dan Karikatur

Dikisahkan, HRS bertanya kepada  Syarifah Sidah Alatas, ibu tercintanya, “Ibu, apa Ibu tidak khawatir kepada saya?”

Sang Ibu menjawab: “Kenapa ibu harus khawatir? Bukankah engkau kalau pulang sekolah belajar mengaji dan hadir di Majelis Ilmu?”

Ketika aktivitas belajar berlangsung, di mana hanya HRS yang beragama Islam, masuklah sang guru ke dalam kelas untuk mengajar. Entah pelajaran apa, menurut cerita, guru tersebut iseng kepada anak tersebut, karena ia sendiri yang beragama Islam.

Guru berkata, “Saya bingung dengan agama yang melarang makan daging babi, bukankah babi ciptaan Tuhan?” Suasana menjadi hening. Sedangkan mata sang guru melirik ke murid yang beragama Islam tersebut. Murid tersebut pun merasa dirinya tersindir, akhirnya ia menjawab pertanyaan gurunya.

“Iya bu, saya juga heran,” jawab murid.

“Kamu aja heran, apa lagi saya,” sanggah gurunya lagi.

Murid itu terus menjawab. “Iya bu, saya heran bukan karena daging babi, tetapi karena iblis.”

“Loh, kenapa karena iblis?” Si murid perlahan menjawab dengan tenang.

“Begini bu, kenapa semua manusia memusuhi iblis, bukankah iblis ciptaan Tuhan juga?”

“Ya karena Tuhan ingin menguji kita,” guru itu coba menyanggah.

Lalu si murid mengunci jawabannya. “Nah, sama bu, Tuhan juga melarang kita makan daging babi karena ingin menguji kita, taat atau tidak kepada-Nya.”

Baca juga:  Pembubaran FPI atau Pembentukan Hegemoni Baru?

Murid itu, dialah HRS, yang tidak punya pengalaman langsung menjadi santri atau mondok. Ia belajar agama sejak usia 4 tahun kepada guru-guru ngaji di masjid dekat rumahnya. Nama “Habib” dan “Shihab” dinisbatkan kepada trah keturunan orang Arab. Ayahnya bernama Habib Husein bin muhammad Shihab.

Habib adalah suatu komunitas dari keturunan Timur Tengah yang mengikuti garis keluarga hingga kepada Nabi Muhammad Saw. HRS mengaku diturunkan dari Suku Quraisy di Yaman, suku yang sama dengan suku Nabi Muhammad Saw.

Terlepas kita setuju atau tidak dengan sikap dan cara berpikir HRS, bahwa karakternya yang kita tahu sekarang itu, tidak jauh berbeda dengan masa kecil atau masa mudanya. Toh, memang, kalau pun ia bersalah dalam perkara tertentu, merupakan kewajaran, fitrah, sebagai manusia yang bukan malaikat, mestinya dihadapi secara berani dan tanggung jawab.

Hari ini, 24 Agustus 2019, HRS berusia 53 tahun (lahir 24 Agustus 1965). Semoga di usia yang tak lagi muda itu, ia tetap sehat, bijak, dan baik-baik saja di sana. (RM)

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top