Sedang Membaca
Kisah Kedermawanan Bangsa Arab di Bulan Ramadan
Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Kisah Kedermawanan Bangsa Arab di Bulan Ramadan

Hendak meniru bangsa Arab? Apanya yang hendak kita tiru? Tradisi berpakaian? Cara berbicara? Perilaku dalam menikah? Sistem pendidikannya? Ups, banyak sekali pertanyaannya. Ada satu sikap dan perilaku bangsa Arab yang pas kita praktikkan di saat bulan puasa seperti sekarang ini. Apakah itu?

Sebelum menjawab satu pertanyaan terakhir, izinkan saya kasih mukadimah. Begini, Arab sebagai satuan bangsa banyak sekali memiliki sifat dan tradisi baik. Salah satu sisi baik orang Arab yang menjadi patron bersosial adalah kedermawanan. Tidak pelit seolah sudah menjadi genetik bagi banyak bangsa Arab. Mereka sudah seperti itu sebelum Islam yang melaknat mereka yang enggan berbagi turun ke persada bumi. Khususnya Arab baduwi, Arab kampung.

Dermawan tentu bukan hanya milik orang Arab, hanya saja cara mereka mengimplementasikannya sungguh menarik dan unik, bahkan menjadi semacam kearifan lokal sehingga yang tidak sejalan denganya berarti menjadi semacam orang yang tidak arif.

Sebagaimana guyup rukunnya tipologi masyarakat kampung, orang Arab punya tradisi menyalakan api di depan rumah mereka sebagai penerang jalan bagi orang lewat, terlebih para kelana. Dan juga sebagai tanda bahwa si empunya rumah menyediakan kudapan ataupun makanan untuk mereka yang membutuhkan. Terlebih di masyarakat nomaden akan banyak orang baru yang datang untuk sekadar lewat ataupun berteduh.

Juga ramai para tuan rumah yang memilik anjing pintar yang bertugas mencari tamu. Mencari tamu?

Iya, mencari tamu, bukan berburu. Ia dilepas dan diberi tanda supaya orang yang membutuhkan makanan atau tempat berteduh akan mengikuti anjing itu ke rumah sang tuan. Anjing yang membawa tamu akan mendapat sepotong daging dari ternak yang disembelih untuk para tamu tersebut. Dalam tradisi semacam ini, tidak menjamu tamu dengan baik adalah aib bagi keluarga.

Dalam tradisi aweh-aweh mereka akan dengan bangganya memberikan apa yang paling berharga disisinya untuk hormat tamu. Dalam tradisi berbagi, mereka punya ikon yang bernama Hatim at-Thai, ayah Adi bin Hatim seorang sahabat Nabi. Dalam khazanah ilmu Balaghah, sifat dermawan lekat pada nama Hatim, sebagaimana zalim yang lekat pada Hajjaj bin Yusuf.

Baca juga:  Pagelaran Ludruk untuk Pembangunan Masjid

Mekah pra Islam sudah menjadi sebuah negeri yang sangat puitik secara sistem di tangan kakek ke-4 Nabi Muhammad yang bernama Qushai bin Kilab. Saat beliau memegang tampuk kendali Mekah dan Ka’bah beliau menciptakan beberapa buah sistem, namun sistem yang berkeptingan dengan tema kita saat ini ada dua; ar-rifâdah (menyediakan jamuan gratis bagi para fakir miskin yang menunaikan haji) dan as-Siqâyah (menyediakan air bagi para haji).

Kedua jabatan yang justru lekat dengan khidmat dan hormat tamu ini justru bisa memicu perang antar suku jika ada yang berani mengambil alih. Padahal semuanya secara biaya dan tenaga murni ditanggung yang menjabat. Terlebih sumur zamzam sudah ditimbun oleh klan Jurhum sebelum mereka diusir dari Mekkah, itu berarti penyediaan air yang banyak itu harus dipikul dari beberapa daerah dekat Mekah dan dibawa ke dekat Kakbah. Semuanya demi menjamu tamu. Tamu Allah. Tidak ada upah atau gaji, hanya murni khidmat dan kebanggaan.

Setelah Islam diserahterimakan amanahnya ke Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam justru datang membawa misi kesejahteraan dengan konsep yang sama dan sedikit membatasi dalam konteks yang ideal. Sang penderma kian mendapat apresiasi dan legalitas formal dengan itungan pahala, dan yang kikir diedukasi bahkan dituntut untuk mengeluarkan hartanya. Salah satu bentuk edukasi isalami dalam mengeluarkan harta ada sedekah dan zakat.

Baca juga:  Relasi Islam dengan Kebudayaan

Bulan Ramadan di Mesir adalah bulan di mana para dermawan lebih menampakkan genetiknya itu. Maidaturrahaman (buka bersama gratis) digelar di sepanjang trotoar, masjid-masjid dan lapangan terbuka. Dengan hidangan yang berganti tiap hari, mulai dari daging (sapi dan unta), ayam, kuftah (daging yang digiling  kasar lalu digulung semacam sosis) hingga sup kentang dan kacang khas Mesir.

Masjid-masjid dan perusahan-perusahaan besar berlomba-lomba membagi-bagikan santoh Ramadan (kantong berisi beras, adas, minyak, makaroni dll.) ke masyarakat, khusunya pelajar asing. Dan pada waktunya juga bagi-bagi uang dengan nominal standard maupun jumbo.

Di tempat tinggal saya sebelum Old Cairo sekarang, Thub Ramli yang permai dan syahdu di Nasr City, tiap Ramadan kami nyaris tidak pernah masak, baik untuk berbuka ataupun untuk santap sahur. Mengapa?

Sebab selain di pingir jalan yang beberapa meter dari rumah kami ada tiga maidah, tiap sore kami juga mendapat nasi kotak dengan menu enak yang masih hangat dan dua kurma ples kemasa juz dari orang yang sampai sekarang kami tidak mengenal siapa di balik layarnya.

Dua perwakilan kami hanya menunggu di seberang apotek di tiap ambang magrib  menunggu mobil datang memberikan puluhan nasi kotak dengan varian menu, yang kami bagikan untuk teman-teman Indonesia di kawasan kami dan beberapa teman Kamerun Afrika dan Rusia.

Baca juga:  Investasi Saham Akhirat ala Warga Finlandia

Semua itu berkat kenalan kami dengan tetua di daerah kami yang beliau kerap enggan disebut namanya (semoga sehat terus, Bang). Saat sahur, menu yang sore pasti sisa, maklum porsi Mesir, jadi kita hangatkan untuk santap sahur.

Juga seminggu sekali kami diajak buka bersama ke rumah “bos” yang bersahaja. Dijamu menu buka yang memuaskan dan pulang dikasih “salam tempel”. Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

Saat Ramadan, di jalan-jalan Kairo juga banyak “begal”. Mereka mencegat para pengguna jalan yang bertemu senja magrib di jalan dengan memberikan kurma, minuman es, juz, roti atau nasi kotak supaya bisa berbuka tanpa harus turun dari mobil.

Mereka berebut mangsa. Baik para “begal ramadan” maupun para penyedia maidaturrahaman. Maidaturrahman juga bukan hanya tersedia saat Ramadan saja, kalau jalan-jalan ke bilangan Ramsis, sesekali perhatikan di masjid el-Fath itu, pagi dan petang ada antrian panjang sekali.

Mereka yang rata-rata kaum duafa dan salik trotoar antri sarapan dan makan sore. Jika dalam papan-papan bina sosial, rata-rata tercantum nomor rekening atau tulisan “menerima segala bentuk sumbangan”, tapi papan masjid el-Fath ini  sangat perkasa, justru dalam plakat hajau dalam kotak berwarna merah itu tertulis “Tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun!”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top