Sedang Membaca
Bung Hatta, Buku, dan Karya Sastra
Akbar Malik
Penulis Kolom

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Menyukai isu-isu seputar keberagaman, kemanusiaan, dan kebudayaan. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.

Bung Hatta, Buku, dan Karya Sastra

Hatta (voi.id)

Tidak banyak politisi dan negarawan yang keteladanannya bersifat berkelanjutan dan abadi. Seorang pendiri bangsa sekaligus proklamator Indonesia yang memiliki julukan “Bapak Koperasi” adalah satu dari sekian banyak negarawan yang sampai hari ini pemikirannya masih relevan. Ya, Bung Hatta.

Kalau saja saya lahir pada awal abad 20, maka saya akan berusaha keras untuk berada dalam satu lingkaran bersama para pemikir cum pendiri bangsa: Sukarno, Hatta, hingga Sjahrir. Tapi, dari ketiga orang tersebut, saya paling ingin bersahabat dengan sosok Bung Hatta, orang yang sering dianggap nomor dua namun sejatinya banyak kelebihan yang dimilikinya.

Bung Hatta bukanlah orator ulung layaknya Sukarno, tapi dalam senyap ia berteriak melalui produktivitasnya dalam menulis. Bung Hatta pun tidak memiliki postur yang tegap nan tinggi sebagaimana Sukarno, tapi dalam menyumbangkan pikiran melalui tulisan, Bung Hatta berada paling depan.

Dalam buku Seri Buku Tempo Bapak Bangsa: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman, dituliskan “Seperti ingin mengompensasi tubuhnya yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya.”

Tak heran ucapan Bung Hatta yang berbunyi “aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas” itu melegenda. Pasalnya Bung Hatta benar-benar mengimani ucapannya itu. Ia mungkin secara tidak sadar mengatakan hal itu, dan tidak berekspektasi bahwa hal tersebut akan menjadi kutipan yang terus tersiar ketika jasadnya sudah tidak ada.

Baca juga:  Wawancara Eksklusif dengan Kiai Agus Sunyoto (3): Syekh Siti Jenar dan Suluk Nusantara

Kutipan tersebut jelas terucap dari seseorang yang menggilai ilmu pengetahuan. Siapa yang akan membawa begitu banyak buku ketika dilempar ke penjara? Sekali lagi, begitu banyak buku, bukan hanya satu atau dua.

Ketika Bung Hatta harus diasingkan ke Boven Digul, konon ia membawa sejumlah buku dalam 16 peti. Saking banyaknya buku tersebut, ia sampai kesulitan membawanya. Agar dalam pengasingan ia tetap bisa “hidup”, ia sampai meminta bantuan orang setempat di Boven Digul untuk membawakan peti-peti yang berisikan buku itu, kemudian memberi mereka upah.

Selain memiliki dan membaca banyak sekali buku, Bung Hatta pun seorang penulis yang produktif. Dalam buku yang sama, Seri Buku Tempo Bapak Bangsa: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman, Bung Hatta malah disebut sebagai bapak bangsa yang paling banyak menulis di antara yang lain.

“Dia memang satu-satunya dari bapak bangsa kita yang paling banyak menulis. Jika ada jasanya yang terbesar, tak lain adalah karena itu: dia menjadi reporter yang mencatat, melaporkan, dan memberi komentar tertulis atas suksesi peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia,” terang halaman 6.

Dikatakan pula bahwa sepanjang hidup Bung Hatta, ia telah menulis ratusan artikel dan puluhan buku. Saya belum membaca seluruh karya Bung Hatta, tentu, yang saya tahu barulah tulisan berjudul Demokrasi Kita yang beliau tujukan untuk mengkritik Sukarno pada tahun 60-an itu. Selain itu, buku otobiografinya yang berjudul Untuk Negeriku, buku filsafat berjudul Alam Pikiran Yunani, dan sejumlah buku Filsafat dan Ilmu Pengetahuan yang berjilid-jilid itu.

Baca juga:  Syaikhona Kholil (1): Pendidikan itu Bermula

Bung Hatta dikenal sebagai “Bapak Koperasi” karena gagasannya tentang ekonomi kerakyatan. Meski begitu, Bung Hatta jauh melampaui julukan itu. Lihat saja dari deretan karya yang ditulisnya, beliau tidak hanya fokus pada ekonomi, tapi juga filsafat, politik, dan demokrasi.

Mengetahui buku-buku yang ditulisnya, ditambah sosok Bung Hatta yang dingin dan serius, kita akan menyimpulkan bahwa bacaan dan tulisan beliau pastilah yang “berat-berat”. Ternyata, ada satu fakta unik. Memang benar, beliau itu betul-betul cinta ilmu pengetahuan. Tidak hanya membaca dan merumuskan gagasan ekonomi atau filsafat, lebih dari itu, Bung Hatta pun pencipta dan penikmat karya sastra!

Seri Buku Tempo itu merangkum perjalanan intelektual Sang Pencinta Ilmu. Sebelum jauh menjadi negarawan hebat, Hatta muda pertama kali menulis fiksi ketika berusia 18 tahun. Ia menulis cerita tentang janda cantik dan kaya yang terbujuk untuk menikah lagi. Hatta muda menulis, “Namaku Hindania! Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya.” Indah betul, bukan?

Bung Hatta disebut memiliki kepribadian yang tenang. Kalem. Humanis. Beliau adalah orang nomor dua di bangsa-negara yang baru lahir ketika tahun 1945. Beliau terlibat aktif dalam segala perjuangan dan agenda kemerdekaan nasional. Meski begitu, beliau tidak haus akan jabatan. Buktinya, beliau memilih mengundurkan diri pada tahun 1956 karena terlalu banyak perbedaan pendapat dengan Sukarno. Lepas ditinggal Hatta, kita tahu pula bahwa Sukarno memiliki watak kepemimpinan yang keras dan mengubah sistem pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin pada tahun 1959 yang membuatnya semakin memiliki ruang kuasa yang besar.

Baca juga:  KH. Muhyidin, Kiai Kharismatik Pengawal Dakwah Islam di Dusun Nglegok

Bagi saya, pembacaan Bung Hatta terhadap banyak sekali buku, terutama buku sastra, berkontribusi terhadap pembangunan karakter seorang Hatta. Ia cerdas tapi dan bisa mengontrol dirinya secara penuh. Ia “melawan” Sukarno dengan cara yang amat elegan di luar kekuasaan, yakni dengan mengajar dan menulis untuk melancarkan kritik terhadap apa yang ia nilai kurang tepat dari kepemimpinan Sukarno.

Bapak bangsa berkacamata dengan goresan pena yang terus menggema itu memang telah tiada. Ketiadaan itu hanya berlaku bagi jasadnya, tapi tidak untuk peran dan pemikiran kebangsaannya. Oleh karenanya, anak bangsa yang ditakdirkan hidup berbeda masa, perlu kiranya untuk mengadopsi segala nilai dan ilmu pengetahuan yang telah diwariskan Bung Hatta.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top