Sedang Membaca
Bu Nyai Nur Ishmah Ulin Nuha Arwani: Sosok Bercahaya Qur’ani, Berdarah Para Wali
Akhmad Faozi
Penulis Kolom

Penulis berasal (lahir) dari kultur ‘tani’ desa Geneng Mulyo kecamatan Juwana kabupaten Pati, Jawa Tengah. Domisili di Jogja. Hobi: menikmati dan belajar hidup melalui sabda 'iqra'. Sesekali berpiknik fiksi dan ilmiah, untuk memaknai keseharian yang dijalani.

Bu Nyai Nur Ishmah Ulin Nuha Arwani: Sosok Bercahaya Qur’ani, Berdarah Para Wali

15453998275c1cee1314a6e

Bu Is, atau Ibu Nyai Nur Ishmah adalah puteri ke lima dari Mbah Dullah Salam Kajen, seorang ulama kharismatik yang sangat besar pengaruhnya di daerah Pati dan sekitarnya, baik semasa masih yuswa maupun setelah sepeninggalnya.

Kemampuan hafalan dan kedalaman mahabbah Bu Is terhadap Alquran diakui oleh gurunya: Mbah Arwani Amin Kudus. Sehingga oleh mbah Arwani, beliau diambil menantu, dinikahkan dengan Kiai Ulin Nuha yang, didapuk sebagai penerus estafet ‘penjaga Alquran’ jalur Arwaniyah.

Pada Jum’at malam, 18 September 2020, Bu Is berpulang. Meninggalkan umat dan bangsa ini.

Sebagai sosok, saya kurang mengenal (dekat) dengan beliau. Sehingga ketika di media-media sosial, khususnya Whatsapp dan Facebook, mengabarkan kepergian beliau, seketika saya tak merasakan apa-apa. Maklum, saya bukan santri Yanbu’ul Qur’an Kudus, pesantren tahfidz yang diasuhnya. Saya juga tidak mengenal beliau secara langsung. Tetapi akhirnya, rasa kehilangan, tidak bisa saya tolak. Begitu saja ada, begitu saja membesar. Rasa ini datang terlambat, tetapi begitu kuat.

Dua ulama yang saya sebut di awal tulisan ini, Mbah Dullah Salam Kajen dan Mbah Arwani Kudus, merupakan penyambung afinitas emosional terhadap berpulangnya Bu Is. karena keduanya secara haqqul yaqin, saya yakini, sebagai figur kinasih Allah: Waliyullah.

Bu Is sendiri bila dikaitkan dengan kedua waliyullah tadi, yang merupakan penerus langsung. Secara (nasab) genetikal, beliau adalah puteri Mbah Dullah. Secara (riwayat) keilmuan, beliau adalah murid Mbah Arwani.

Baca juga:  Ulama Banjar (91): H. M. Syatta Alie

Dalam khazanah keilmuan, Bu Is merupakan satu dari para ulama Ahlul Qur’an. Yakni ulama yang mendapatkan kebesaran karena penguasaan dan penghayatannya terhadap Alquran. Bu Is, merupakan penghafal Alquran dengan tujuh riwayat bacaan (qira’ah as-sab’ah al-Mu’tabaroh) yang sangat menjaga hafalan dan menerapkan makna-makna Alquran dalam laku keseharian. Sedemikian, sosok semacam Bu Is ini akan selalu memancarkan cahaya qur’ani kemanapun dia berada. Termasuk setelah berpulangnya.

Pesan kepada Para Penghafal Alquran

Cahaya qur’ani beliau, dapat ditangkap—tentu saja melalui sosoknya langsung—sebagian dalam pesan-pesan yang disampaikan olehnya. Di satu kesempatan, dalam sambutan pada acara haflah Khotmil Qur’an di Ma’had Ilmu Al-Qur’an Al-Hikam (MIQ Al-Hikam) Wonosobo pada tahun 2017, Bu Is memberikan nasihat yang dikhususkan kepada para penghafal Alquran yang menurut bahasa beliau “anak-anakku”.

Pesan-pesan tersebut teringkaskan sebagai berikut:

Pertama, Hafalan Alquran adalah fadhol atau anugerah dari Allah yang tidak didapat kebanyakan orang. Dapat menjadi seorang penghafal Alquran yang rampung 30 juz, bukanlah karena cerdasnya penghafal, bukan pula karena alimnya guru, tetapi karena Allah. Selain sebagai anugerah, hafalan Alquran merupakan nikmat dari Allah.

Cara bersyukur atas nikmat (hafalan) tersebut bisa dilakukan melalui muroja’ah, menjaga hafalan secara terus-menerus sepanjang hayat. Muroja’ah ini dilakukan dengan telaten dan konstan. Muroja’ah dilakukan dari juz awal sampai akhir, khatam. Tanpa pilih-pilih hanya pada bagian hafalan yang kurang lancar saja.

Baca juga:  Tiga Bekal KH. Afifuddin Muhajir dalam Menghadapi Khilafiyyah

Kedua, setelah hatam, harus berterima kasih kepada orang tua. Karena tanpa usaha keras mereka dalam mem-back up kebutuhan selama menghafalkan, hampir mustahil seorang santri berhasil menghatamkan hafalannya. Ungkapan terima kasih ini berupa menambah ketaatan terhadap orang tua, bila mereka masih hidup, serta terus berkirim doa kepada mereka bila sudah meninggal. Melalui muroja’ah hafalan, secara langsung sudah mendoakan orang tua. Tidak perlu diniatkan secara khusus.

Ketiga, setelah hatam, harus berterima kasih dengan guru ngaji melalui laku ketaatan dan mendoakan kebaikan kepada para guru. Karena mereka telah memberikan waktu dan perhatian untuk mendampingi dan membimbing seorang penghafal sampai selesai hafalannya.

Keempat, sebagai santri Alquran harus berakhlak-berperilaku baik. Yakni, tidak boleh sombong, riya’ (pamer) dan ‘ujub (bangga diri) karena telah hafal Alquran. Sombong adalah menolak kebenaran dan mengecilkan orang lain. Misalnya ketika dinasehati tidak mau, memandang rendah yang menasehati karena sudah merasa tinggi sebagai penghafal Alquran. “Mboten pantes, orang qur’an berlaku seperti itu”. Jelas Bu Is.

Kelima, sungguh-sungguh dalam menjaga hafalan Alquran. Karena sifat dasar manusia adalah pelupa, sedangkan sifat (hafalan) Alquran, sulit dijinakkan. Mengutip hadis Nabi, Bu Is menjelaskan, “ibarat Onta, supaya tidak lari harus diikat. Itupun kalau ikatannya kurang kuat/longgar, Onta akan lari terlepas”. Sebelum dihafalkan, hukum mengaji Alquran adalah fardhu kifayah, bila sudah dihafalkan hukumnya fardhu ‘ain. Alquran itu bila ditresnani, akan nresnani. Sebaliknya bila dijauhi, akan menjauh pula.

Baca juga:  Ulama Banjar (14): KH. Usman

Keenam, ‘nilai tambah’ menghatamkan Alquran. Mengutip hadis Nabi: “di dunia, Alquran sebagai cahaya. Di akhirat, Alquran menjadi simpanan investasi”. Bu Is juga menjelaskan bahwa pada doa setelah selesai hatam Alquran, termasuk doa yang cess pleng, mustajab.

Sedemikian, saya hanya perlu menyampaikan sependek yang saya tahu. Sejatinya, ketika seorang kinasih Allah berpulang, tidak perlu disedihkan dengan serangkaian duka mendalam, karena ini adalah yang terbaik baginya. Walaupun rasa kehilangan tak mungkin hilang, tetapi bahwa di tengah-tengah kita pernah hidup sosok semacam Bu Is, merupakan anugerah tersendiri yang tidak selalu ada.

Setelah ‘harum’ qur’ani yang ditinggalkannya, Bu Is—menurut beberapa sumber—juga sempat meninggalkan pesan terakhirnya. Sebuah pesan yang mewakili sosoknya sebagai Ahlul Qur’an:

Barang siapa pernah mengaji (menghafalkan) Alquran, setelah hatam lalu dibiarkan begitu saja. Mushafnya diabaikan dalam lemari, tidak pernah dibaca kembali, maka pada hari kiamat, Alquran akan datang bersama orang tersebut seraya berkata kepada Allah, “Ya Tuhan, sesungguhnya hamba-Mu ini telah mencampakkanku. Maka berilah putusan antara aku dan dia (siapa sebenarnya yang lebih benar dan siapa yang salah?)”

Dengan penuh rasa kehilangan, Al Fatihah untuk Ibu Nyai Hajjah Nur Ishmah Ulin Nuha Arwani binti Abdullah Zen Salam. Semoga beliau didekatkan dengan para auliya’ dan anbiya’ selepas berpulang meninggalkan kita.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top