Sedang Membaca
Manaqib Wali Musyafa’ dalam Kitab Qaul Al-Muntafa’  
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Manaqib Wali Musyafa’ dalam Kitab Qaul Al-Muntafa’  

Walisongo

Kaliwungu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kendal yang memiliki sejarah panjang. Sebuah daerah di pinggiran pantai utara yang berbatasan dengan Semarang ini dikenal dengan kota santri. Banyak pondok pesantren yang berdiri kokoh dengan usia yang cukup sepuh. ada beberapa pesantren yang usianya sudah melewati satu abad. sejauh ini pesantren-pesantren tersebut sudah menelurkan ribuan ulama dan santri yang tersebar di seantero tanah nusantara.

Pesantren menjadi wadah pengkaderan ulama dan pejuang yang akan membawa kebenaran dan melestarikan ajaran Islam yang lurus. Tentu saja sampai saat ini pesantren dimanapun berada khususnya di Kaliwungu masih eksis mengembangkan ilmu keislaman yang bersanad dan menjaga tradisi lokal yang arif. Dua aspek tersebut (terjaganya sanad keilmuan dan tradisi) sudah pasti dibangun dengan pondasi yang kuat, melalui para wali, ulama dan guru yang ikhlas.

Kembali ke Kaliwungu, melihat kaliwungu sekarang yang ramai dengan santri dan kuatnya tradisi keislaman lokal, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah panjang yang sangat matang. Banyak ulama dan wali yang singgah di bumi santri tersebut, hal ini bisa dilihat dari banyaknya makam para wali dan ulama yang dimakamkan di Jabal (bukit komplek makam ulama). Makam-makam tersebut diketahui adalah para wali dan ulama dari masa ke masa, mulai kerajaan era Demak, Mataram Islam hingga para ulama dan pejuang kemerdekaan.

Wali Musyafa dalam Kitab Al-Qaul Al-Muntafa’

Kiai Abu Khoir Bin Kiai Abdul Manan adalah seorang ulama yang berasal dari kampung pesarean Kaliwungu. Ia termasuk kiai yang produktif menulis berbagai kitab dengan bahasa Jawa (lokal) dan ditulis menggunakan aksara arab pegon. Diantara karyanya adalah kitab Al-Qaul Al-Muntafa’ yang ditulis sekitar tahun 1972 M. Kitab tersebut, masuk dalam kategori kitab sejarah kehidupan (manaqib) seorang wali yang sangat populer di Kaliwungu yaitu Wali Musyafa.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (4): Resonansi Tasawuf Sunan Bonang oleh Syaikh Abdal Hakim Murad (Dr. Timothy Winter)

Kitab sederhana ini menjadi buku saku para santri untuk mengetahui kisah heroik Wali Musyafa. Bahkan kitab tersebut selalu dibaca saat perayaan haulnya di masjid besar Al-Muttaqin Kaliwungu. Mengingat Haul Wali Musyafa termasuk agenda tahunan yang dirayakan oleh masyarakat Kaliwungu dan termasuk haul akbar setelah Haul Kiai Guru Asy’ari.

Kiai Abu Khoir menulis kitabnya dengan 12 fasal yang dimulai dengan riwayat kelahiran.hingga wafatnya Ia menerangkan bahwa Wali Musyafa dilahirkan pada tahun 1324 H atau bertepatan dengan 1904 M. Ayahnya adalah H. Bahram bin Rifai’ dan ibunya Hajjah Lammah. Kedua orang tuanya adalah orang biasa sebagaimana masyarakat Kaliwungu lainya namun mereka memiliki keistimewaan karena putranya dipilih oleh Allah swt menjadi kekasihnya. Kiai Abu Khoir mengutip sebuah ayat dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 74 bahwa Allah swt menentukan rahmatnya untuk siapa saja yang ia kehendaki dan Allah swt memiliki karunia yang besar.

Sejak kecil Wali Musyafa sudah memiliki tanda-tanda kewalian. Misalnya ia sering mendatangi Makam Wali Musthafa yang terletak di komplek pemakaman ulama Kaliwungu. Kiai Abu Khoir mengaitkan peristiwa ini dengan sebuah hadis yaitu “ Ruh-ruh itu memiliki teman yang sangat banyak, apabila ia menemukan kecocokan maka akan menjadi karibnya, sementara apabila tidak cocok maka akan berpisah”. Ia mengaitkan bahwa Musyafa kecil sudah bisa berkomunikasi secara langsung dengan para wali-wali yang lainya.

Baca juga:  Syair Pujian Farazdaq kepada Cucu Nabi, Sayyidina Ali Zainal Abidin

Kitab Al-Qaul Al-Muntafa’ ini memuat 12 fasal dengan dilengkapi catatan-catatan dari kitab lain seperti kitab Hikam, Lujain Ad-dani, Hidayatul Adzkiya dan semacamnya. Tanda kewalian Musyafa kecil sangat tampak ketika ia mengembara untuk mencari ilmu ke ulama-ulama di Jawa Timur, diantara gurunya adalah Syaikhona Kholil Bangkalan. Setelah mengaji di Bangkalan ia meniti jalan kehidupan dengan menyepi dan mengurangi komunikasi dengan orang lain. Kiai Abu Khoir menyamakan peristiwa ini dengan kejadian awal kewalian Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Ada titik kesamaan dalam memulai dunia perwalian.

Karamah Wali Musyafa’

Wali adalah derajat yang tidak bisa didapatkan oleh sembarang orang. Menjadi wali adalah keniscayaan dan anugrah terbesar yang diberikan oleh Allah karena telah dipilih untuk menjadi kekasihnya. Para wali diberi keistimewaan (karamah) juga oleh Allah swt dalam bentuk yang berbeda. Karamah dalam ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah hal yang melekat pada seorang wali. Hal ini sama-sama wajib diyakini seperti halnya Mukjizat para nabi.

Kiai Abu Khoir menceritakan bahwa di halaman belakang rumah Wali Musyafa’ terdapat pohon kelapa yang melengkung (doyong) ke selatan. Pohon kelapa tersebut apabila tidak segera ditebang akan menimpa salah satu rumah warga. Akhirnya Wali Musyafa bergegas menebang pohon kelapa tersebut tidak ditemani siapapun, setelah ditebang menggunakan parang tiba-tiba pohon kelapanya malahan robohnya ke arah utara dan tidak menimpa rumah siapapun.

Selain itu, Wali Musyafa juga pernah menjadi pekerja di konveksi. Jadi di Kaliwungu ada beberapa konveksi yang memproduksi pakaian batik. Diantaranya pemilik konveksi batik adalah KH. Ahmad Ru’yat, beliau adalah seorang wali dan ulama besar yang sangat alim. Pada suatu ketika Wali Musyafa ingin ikut bekerja di tempat usaha KH. Ahmad Ru’yat, tanpa seleksi panjang ia diterima. Namun Wali Musyafa tidak menggunakan aturan dalam membuat batik, sehingga hasilnya pun kurang baik. Hal ini dianggap maklum karena ia masih di tahap belajar, akan tetapi selama bekerja tidak ada perubahan dan hasilnya selalu jelek. Kiai Ru’yat pun menilai hal tersebut kurang baik karena nanti batiknya  tidak laku. Setelah batik tersebut dijual, hal yang tidak disangka oleh Kiai Ru’yat adalah batik buatan Wali Musyafa yang dibuat asal-asalan justru paling laris dan terus dicari.

Baca juga:  Ulama Banjar (69): H. Bustani Ahmad

Waliyullah tentu memiliki cara keistimewaan tersendiri yang tidak bisa dinalar oleh orang biasa. Tindak tanduknya sudah direkomendasikan oleh Allah swt sehingga banyak keanehan dan keajaiban dalam laku hidupnya. Kitab Al-Qaul Al-Muntafi adalah kitab sederhana yang disajikan dengan bahasa Jawa dan ditulis dengan aksara pegon ini sangat bagus. Kiai Abu Khoir telah membangun budaya menulis, mengabadikan momen dan menyusun kitab di kalangan ulama Kaliwungu. sehingga meskipun secara fisik beliau sudah wafat namun namanya masih abadi dalam lisan dan hati para santri dan masyarakat Kaliwungu. Dengan lantaran kitabnya, sejarah ini akan terus dijaga dan dikenang sebagai khazanah keislaman di bumi santri Kaliwungu. Wallahu A’lam

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top