Ada hal-hal kecil dalam hidup yang membuat kita sering salah tingkah. Dalam tradisi kita, kentut, misalnya. Bunyi sekejap yang keluar tanpa permisi, disertai aroma yang tak bersahabat, sering dianggap memalukan.
Namun, di balik rasa malu itu, secara fisiologis, kentut menyimpan pesan kesehatan yang tak bisa diremehkan. Ia adalah tanda bahwa sistem pencernaan dalam tubuh bekerja dengan baik, makanan yang kita kunyah mengandung serat dan protein yang cukup, dan tubuh sedang menjaga keseimbangan. Kentut juga melepaskan tekanan yang bisa berubah menjadi nyeri, melindungi usus besar dari iritasi, dan menjadi bagian dari proses detoks alami.
Tetapi, mari kita geser mengenai kentut ini, sebagai metafora, dalam ruang digital. Saya menyebutnya dengan ‘kentut digital’. Apa maksudnya?
Kentut digital dimaksudkan di sini adalah residu data: jejak tak terhindarkan dari aktivitas kita di dunia maya. Bila kentut fisik adalah produk sampingan biologis yang jujur dan spontan, kentut digital adalah data exhaust (jejak digital berupa informasi yang tertinggal dari aktivitas pengguna internet atau sistem komputer) berupa metadata, history, dan unggahan impulsif.
Seringkali, langkah atau keputusan dilatarbelakangi oleh dorongan emosional, keinginan sesaat, atau sekadar latah karena melihat tren di lapak digital yang datang berseliweran. Ia yang menyingkap kerentanan manusia di balik sterilitas teknologi.
Kentut digital merupakan bentuk metafora untuk memahami sifat inheren dari residu data dan manifestasi tersembunyi dari diri yang tertinggal dalam ekosistem digital. Ia mewakili jejak kerentanan manusia yang menolak untuk sepenuhnya dihilangkan oleh sterilitas teknologi. Ia datang spontan, tak terhindarkan, dan sering dianggap remeh. Di balik residu ini tersimpan kekuatan besar, manfaatnya nyata, tapi efek negatifnya juga serius: privasi terkikis, kebebasan terancam, dan budaya digital semakin rentan terhadap manipulasi dan bau anyir yang tak bermoral.
Kehadiran dunia digital telah menciptakan ekosistem digital dan manusia terlibat aktif dalam sistem ini. Uniknya, mereka sering tak menyadari bahwa setiap interaksi—dari scroll hingga like dalam dunia digital—menghasilkan residu data. Oleh algoritma, ia bisa diolah menjadi parfum profit, tetapi secara filosofis, ia merupakan gas metana dari kesadaran yang terdigitalisasi, sebuah sisa yang mengekspresikan bahwa tubuh digital tidak pernah murni. Residu berupa metadata dan history adalah bukti ontologis bahwa eksistensi manusia, di ruang virtual, selalu meninggalkan jejak material yang nyata. Kentut digital ini merupakan bagian dari fenomena di mana manusia kehilangan kontrol atas tindakan yang seringkali di luar kendali yang tak disadari. Ia termanifestasi sebagai kebocoran diri (leakage), seperti salah ketik (typo) yang memalukan atau unggahan impulsif yang disesali, serta berbagai keisengan yang bisa melahirkan pamali.
Dalam konteks sosial, kentut digital memaksa subjek menerima ketidaksempurnaan eksistensi siber. Bila kentut fisikal, dalam konteks yang tak tepat, dikategorikan pelanggaran etiket sosial, maka di ruang digital, etiket ini luruh karena anonimitas dan jarak fisik. Ia memicu disinhibisi online. Semua bentuk komunikasi destruktif, seperti trolling, shitposting, atau serangan verbal massal, adalah ‘gas beracun’ kolektif yang dihasilkan kerumunan digital.
Erving Goffman menggambarkan kehidupan sosial sebagai panggung teater. Bila kentut fisik adalah pelanggaran etiket panggung, maka kentut digital merupakan “kebocoran peran” dalam panggung media digital. Dan di Indonesia, keberadaan panggung digital sering lebih mirip pasar malam: riuh, gaduh, penuh atraksi, dan juga dipenuhi aroma kentut digital. Komentar pedas di akun artis, politisi, atau kawan sendiri, perang tagar politik, hingga fenomena cancel cultureadalah bentuk kebocoran peran diri tersebut. Dan anonimitas membuat etiket sosial di media digital runtuh dan memunculkan wajah asli masyarakat yang impulsif, reaktif, dan hilangnya kesadaran etika komunikasi.
Dari sisi politik, kentut digital merupakan bentuk residu data yang menjadi mata uang utama dalam kapitalisme pengawasan. Data yang dianggap oleh pengguna sebagai sisa dan tidak berarti, dikumpulkan, disterilkan, dan dipolitisasi oleh komunitas, korporasi atau bahkan negara. Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalismmenjelaskan bagaimana data residu dipanen tersebut untuk memprediksi perilaku, memanipulasi preferensi elektoral, serta menekan perbedaan pendapat. Upaya regulasi dan sensor sering kali ditujukan untuk menghilangkan ‘bau’ informasi yang tidak sesuai dengan narasi kekuasaan atau kepentingan tertentu, bukan untuk melindungi privasi individu. Buzzer politik, hoaks, dan serangan siber adalah kentut digital yang dipolitisasi dan dikapitalisasi. Regulasi sering kali lebih sibuk mewangi-wangikan narasi kekuasaan daripada melindungi privasi rakyat.
Dari sudut pandang psikoanalisis, kentut digital merupakan kebocoran dari materi yang direpresi atau shadow self(diri bayangan). Kentut digital adalah bocoran bawah sadar: slip Freudian dalam bentuk typo, ledakan emosi di kolom komentar, atau konsumsi konten rahasia yang bertolak belakang dengan persona publik. Ego digital yang tampak rapi di media sosial selalu dikhianati oleh residu bayangan. Ego Digital yang terkurasi di media sosial ini adalah topeng kesadaran. Ia bagian pengkhianatan kecil dari alam bawah sadar. Digitalisasi tidak menghapus represi; ia hanya memindahkannya, hingga pada suatu titik, tekanan psikis dilepaskan dalam bentuk residu digital yang tak terduga.
Di bawah cahaya layar yang dingin, manusia modern bergerak dalam labirin digital tanpa batas. Dengan sekali sentuh, orang-orang meluncurkan kata-kata ke dalam eter, menciptakan resonansi yang abadi. Kita mengira kebebasan itu ada dalam anonimitas, bahwa perbuatan yang tersembunyi di balik nama samaran atau layar yang terpisah akan menguap begitu saja. Namun, di balik keramaian dunia maya yang hiruk pikuk, sebuah kebenaran purba berbisik: tiada satu pun yang luput dari catatan.
Jejak digital adalah sidik jari abad ini; residu data yang tanpa sadar kita taburkan. Komentar tergesa-gesa yang melukai, unggahan yang menyebar fitnah tanpa verifikasi, atau bahkan niat baik yang tersamar di balik kritik pedas; semuanya menciptakan gema yang tak bisa ditarik kembali. Manusia mungkin lupa, server mungkin error, tetapi sistem rekaman Ilahi bekerja dengan ketajaman yang melampaui segala teknologi canggih.
Kentut digital adalah manifestasi dari kotoran batin, liarnya nafsu (ego) dan menyeruaknya hipokrisi digital (riya’). Ruang siber seringkali menjadi arena puncak hiprokrisi digital, di mana persona dibangun nyaris tanpa cela. Kentut digital dalam bentuk ungkapan hasad, amarah, atau unggahan yang haus pengakuan adalah penyingkapan kebenaran batin yang bocor dari tampilan luar digital. Kebersihan digital yang sejati, oleh karenanya, hanya dapat dicapai melalui upaya serius penjinakan ego (mujāhadah), bukan melalui pembersihan riwayat pencarian di lapak digital.
Al-Quran telah mendemonstrasikan tentang Raqīb dan Atīd, malaikat pencatat yang mendokumentasikan setiap ucapan dan perbuatan, sebagaimana dikemukakan dalam Q.S. Qaf/50:18. Kata qaul (ucapan) dalam ayat ini, dalam konteks ekosistem digital, bisa kita acukan juga pada setiap tulisan di media sosial, setiap pesan yang terkirim, dan setiap interaksi yang tercipta di ruang virtual. Semua ini adalah ‘kata’ yang disaksikan, diukur, dan direkam Rakibun Atid, malaikat pengawas. Kebebasan jemari di atas papan ketik pada akhirnya adalah tanggung jawab yang terikat oleh sumpah keabadian.
Bahkan, bukan hanya perbuatan besar yang terangkum, tetapi segala hal yang kita anggap remeh dan hanya iseng. Prinsip keadilan ini ditegaskan dalam puncak Surah Al-Zalzalah/99:7-8; sebuah peringatan tentang nilai terkecil dari residu perbuatan akan kembali kepada kita, layaknya jejak digital yang tiba-tiba digali dan dibangkitkan kembali dari arsip lama. Zarrah, sebagai ekspresi partikel terkecil yang kita kenali adalah metafora sempurna untuk byte data yang tak kasat mata, yang secara kolektif membentuk jejak digital kita. Ayat ini memanggil kita untuk merenung: Jika debu terkecil dari keburukan saja akan diperlihatkan, bagaimana nasib ribuan jejak buruk yang kita tinggalkan setiap hari di platform digital.
Kentut digital sebagai bagian jejak digital tak bisa dimungkiri. Mulut bisa berkelit, kata-kata bisa disusun rapi, tapi jejak digital akan bersaksi. Secara dramatis Al-Qur’an telah memberikan ekspresi: di akhirat mulut manusia dibungkam, sementara tangan dan kaki menjadi saksi (Q.S. Yasin/36:65). Manusia hidup dalam sebuah log abadi, sebuah databaseyang tak terhapus, tempat setiap kebaikan dan keburukan, yang kita lakukan secara sadar maupun tak sadar, tersimpan rapi.
Kesadaran ini menuntut kita untuk menjadikan perangkat digital bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai ladang kebajikan yang perlu dijaga kesuciannya dengan kehati-hatian. Metafora residu yang tak terhindarkan ini mengingatkan bahwa upaya manusia menghapus jejak digital adalah ilusi di hadapan pencatatan Ilahi yang sempurna. Setiap bau buruk: fitnah, hasutan, atau caci maki, dalam narasi teks media digital yang disebarkan, direkam dengan presisi. Kentut digital menjadi bukti tentang pengawasan sempurna dan pengingat bahwa pertanggungjawaban akan melibatkan pembukaan kembali ‘kitab’ yang mencatat semua residu digital.
Kita tidak dapat menghilangkan kentut digital, tetapi kita dapat mengontrol kualitas aroma yang kita lepaskan. Kemanusiaan sejati di dunia siber tidak terletak pada ketiadaan jejak, melainkan pada pengakuan kerentanan, residu, dan pertanggungjawaban abadi atas setiap jejak yang kita tinggalkan. Kentut fisik mengajarkan kita tentang kesehatan tubuh. Kentut digital mengajarkan kita tentang kesehatan sosial, politik, dan spiritual.
Budaya digital kita kini sering penuh aroma busuk: komentar brutal, cancel culture, trolling, dan manipulasi data. Kita sibuk menutup hidung atas kentut orang lain, padahal bau paling menyengat justru berasal dari residu digital kita sendiri.