Kota itu seperti mimpi yang berdetak. Di hari-hari tertentu, menjelang Idul Fitri atau Idul Adha, ia seakan-akan terbangun dari tidur panjang sejarahnya. Langit Kano dipenuhi debu, tapi debu yang berkilau oleh cahaya logam dan kain kebesaran. Ribuan pria berkuda melintas di jalanan kota, berbaris dalam formasi yang mengingatkan pada kitab-kitab lama tentang kisah para amir dan pasukan berkuda yang kembali dari peperangan.
Tapak kuda menghentak tanah, dan debu naik seperti asap dupa. Takbir bersahut-sahutan, drum dan terompet tua mengaduk dada. Di tengahnya, sosok Sang Emir, seorang raja sekaligus pewaris bayangan spiritual, duduk di atas pelana berhias emas dan permata kusam. Ia tak banyak bergerak. Tapi dalam diamnya, ada semacam keagungan yang sulit dijelaskan. Seperti sesuatu yang tak ingin dipercaya masih ada di dunia ini.
Orang-orang menyebutnya Durbar Festival. Tapi festival hanyalah kata yang terlalu sempit. Yang terjadi di sini lebih dekat ke perjamuan simbolik antara manusia dan sejarah. Sebuah perayaan kekuasaan yang nyaris suci, tapi juga seperti luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Durbar tak sekadar parade berkuda. Ia adalah peringatan bahwa pernah ada sistem kerajaan Islam yang lahir dari pasar, dari madrasah, dari padang gurun, dan dari mimpi.
Setelah parade selesai dan debu mulai turun, kota kembali ke denyut asalnya. Kano tidak seperti kota tua yang menjadi museum. Ia masih hidup. Masjid-masjidnya penuh. Di pojok-pojok jalan, terdengar bacaan Al-Qur’an dalam suara rendah. Warung kopi menyajikan teh pahit dan cerita-cerita tua. Dinding pasar dipenuhi kaligrafi, bukan untuk dijual, tapi untuk diingat.
Di gang-gang kecil kawasan Gwale, madrasah berdiri tanpa papan nama. Hanya terdengar suara anak-anak yang mengeja ayat-ayat dalam irama yang seperti angin. Di dalam ruang sederhana, guru-guru duduk bersila di depan rak kayu berisi ratusan manuskrip. Tangan mereka bergerak pelan, menyalin ayat demi ayat dengan pena buatan sendiri dan tinta yang diracik dari arang, daun, dan air hujan.
Ada lembaran-lembaran tipis yang ditulis dalam Ajami, aksara Arab yang dipakai untuk menulis bahasa Hausa. Penyalinan dilakukan bukan semata agar bisa dibaca, tapi agar tak dilupakan. Di kota-kota besar, buku dicetak cepat dan hilang cepat. Di sini, tinta masih dipercaya menyimpan jiwa.
Beberapa manuskrip ditulis dalam bahasa Arab klasik, sebagian lagi dalam bahasa lokal. Tapi semuanya punya sesuatu yang sama untuk menjaga waktu. Kertasnya menguning, tepinya robek. Tapi isi di dalamnya seperti batu yang masih hangat dari doa. Tidak semua akan membacanya. Mungkin tak ada yang membacanya. Tapi tetap saja ditulis.
Ada kota-kota yang hidup bukan karena ramai atau besar, tapi karena mereka menjaga api kecil dalam malam yang panjang. Kano adalah kota seperti itu. Ia tidak ingin menjadi pusat dunia, tapi menjaga satu simpul dunia agar tidak lepas.
Tak jauh dari kawasan itu, berdiri Masjid Raya Kano. Dibangun pada abad ke-15, masa pemerintahan Sultan Muhammad Rumfa. Dinding lumpur, tiang kayu, kubah sederhana. Di masjid ini, keputusan penting diambil untuk menegakkan Islam sebagai dasar pemerintahan. Ulama didatangkan dari Timbuktu, pengadilan syariah diperkuat, dan istana Gidan Rumfa dibangun sebagai pusat spiritual dan administratif. Kota itu berubah menjadi titik temu antara ilmu, kekuasaan, dan zikir.
Di pelataran masjid saat senja, anak-anak membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Tak ada pengeras suara. Muadzin memanggil dari menara kecil, suaranya menyusup ke udara seperti kabar dari masa lalu. Tidak meyakinkan karena keras, tapi karena jujur.
Namun tak semua riwayat berjalan dalam cahaya. Abad ke-19 membawa pergolakan besar. Usman dan Fodio, seorang ulama sufi dari etnis Fulani, memimpin jihad untuk memurnikan Islam dari praktik-praktik sinkretik. Dari sana lahir Kekhalifahan Sokoto, dan Kano menjadi salah satu simpul kekuasaan spiritual dan administratif di wilayah itu. Selama beberapa dekade, kota ini hidup di bawah bayang-bayang kekhalifahan yang menjunjung tinggi madrasah, syariah, dan keilmuan Islam klasik.
Lalu datang kolonialisme. Inggris memasuki Nigeria pada awal abad ke-20. Kekhalifahan dibubarkan secara administratif, Emir dibiarkan memerintah tapi tanpa kuasa sesungguhnya. Sistem hukum syariah dipotong, dicampur, dan dibatasi. Kota ini, seperti banyak kota lain di dunia Muslim, terpaksa hidup dalam tarik-ulur antara warisan dan modernitas, antara kepercayaan lama dan hukum baru yang kaku.
Abad ke-21 membawa tantangan baru. Kekerasan dari kelompok ekstremis seperti Boko Haram membayangi kawasan. Meski pusat gerakan itu bukan di Kano, ketakutan menjalar. Pemerintah pusat yang sekuler berhadapan dengan desakan dari kelompok Islam konservatif. Penerapan syariah formal di Negara Bagian Kano sejak 2000 memicu debat sengit: antara tradisi dan hak asasi, antara batas dan kebebasan.
Namun di balik semua itu, sesuatu tetap bertahan. Durbar tetap digelar. Manuskrip tetap disalin. Kaligrafi tetap ditulis. Salat tetap ditegakkan. Di pasar-pasar, tasbih dari batu lokal masih dijual. Di rumah-rumah, cerita-cerita tua masih hidup. Islam di sini tidak hanya ada di mimbar atau hukum. Ia ada di gerakan tangan, dalam goresan pena, dalam irama lidah anak-anak yang mengulang ayat dengan sabar.
Kano bukan Makkah atau Kairo. Ia bukan pusat kekuasaan. Tapi justru karena itu, ia menunjukkan wajah Islam yang lain, Islam yang tumbuh di pinggiran, di debu, di bawah bayang-bayang kuda, dan di sela halaman kitab yang nyaris robek. Islam yang sabar. Yang tidak berambisi menguasai dunia, tapi cukup ingin dikenang dengan jernih.
Dan mungkin, itu yang paling penting dari semuanya. Bahwa sejarah tidak selalu dibentuk oleh pusat-pusat yang berteriak paling keras. Kadang, ia ditulis oleh tangan-tangan yang tak dikenal, dengan tinta buatan sendiri, di kota yang jauh dari sorot.
Di Kano, Islam masih mengalir. Pelan. Tapi terus. Seperti zikir yang tak perlu diperdengarkan keras-keras. Cukup dijaga, agar tak hilang.