Malam ini tetangga saya yang mantu sudah mulai menerima tamu. Orang-orang berdatangan untuk kondangan. Ada yang membawa bahan mentahan seperti mie, telur ayam, dan aneka makanan khas di desa kami: wajik, ketan, jenang, cucur, kembang goyang, wafer, dan lainnya.
Biasanya yang membawa sejenis makanan itu adalah emak-emak—walaupun tidak semuanya. Sementara bapak-bapak kebanyakan ngamplopi. Yang ringkas, ringan dibawa.
“Kalau di tempatmu kondangannya gimana, mas? “tanya Pak Tomo kepada saya.
“Maksudnya gimana, pak?” tanya saya balik.
“Ya, waktu hari H pernikahan, langsung selesai, atau seperti di sini. Sampai dua, tiga hari, bahkan ada yang satu minggu,” jawab Pak Tomo.
“Ya, kebetulan daerah saya Jepara kota, ramainya ya pas hari H itu. Cuma sehari saja. Walaupun ada yang susulan-susulan pasca itu. Ada juga yang menjelang hari H. Tapi tidak banyak, pak,“jawabku.
Ya, tradisi kondangan ini menarik. Kita, seakan-akan berinvestasi kepada orang yang kita sumbang. Bahkan, di daerah kelahiran saya, ada yang disebutkan nominalnya.
“Ngatimen, 100 ribu. Parno 50 ribu. Sutejo 30 ribu.” Benar-benar diumumkan secara terbuka, pakai sound, tanpa horeg. Batin saya, kui seng nyumbang sitik opo ora isin, yo?.
Tapi kan tidak masalah, ya. Wong namanya saja investasi. Ada yang nominalnya besar ada yang sedikit. Karena nantinya, di kemudian hari, misal kan saya mantu, saya akan mendapatkan uang senilai dari apa yang dulu pernah saya sumbangkan.
Ya, walaupun tidak mesti sih ya. Terkadang bisa lebih. Ada juga yang kurang. Tetapi rasan-rasan: “eh biyen aku disumbang semene lho”. Pasti muncul. Apalagi orang yang kamu sumbang itu memiliki kedekatan khusus: sering belanja ke tokomu atau kerabat dekat, itu berpengaruh dengan nominal yang diberikan.
Walaupun ada juga--tapi tidak banyak, orang yang punya hajat tidak berkenan diamplopi. Dalam undangan atau di lokasi acara tertulis: maaf, tidak menerima amplop sumbangan.
Kalau di tempatmu kondangannya seperti apa?