Jam itu kinclong. Oh, jam memang baru, belum lusuh atau berdebu. Jam biasa membangunkan orang, memberi konser di pagi hari. Jam bagi orang-orang sulit membuat janji dengan tubuh untuk bangun pagi. Kita pandangi: 06.15. Pagi. Melihat jam membenarkan orang mandi, makan, berdandan, minum kopi, menonton televisi, bekerja, atau membaca koran.
Di rumah, ada sekian jam mengabarkan peristiwa-peristiwa bakal dilakoni bapak, ibu, dan anak. Jam-jam itu memberi gairah atau melungkrahkan. Pada jam, hari-hari berlalu: sedih, senang, bingung, rindu, sesalan, dan segala hal terselenggara. Jam itu waktu dan manusia. Ah, kita mau terperosok ke filosofi waktu. Emoh!
“Nantikan dering waktu, saat harian umum pagi Republika dan Anda menjadi fenomena masa depan,” tulis di Tempo, 9 Januari 1993. Republika itu koran masih terbit sampai sekarang. Iklan koran tanpa gambar koran atau pembaca. Jam. Kita masih waras, tak gampang ditipu halaman iklan. Pastikan itu iklan koran! Koran terbit di Jakarta.
Dulu, kita mengingat “republiken”. Pada masa berbeda, Romo Mangun menulis “Gerundelan Orang-Orang Republik”. Konon, Republika ingin menjadi koran mendakwahkan “Islam kosmopolitan”. Pada episode awal, dewan redaksi memiliki nama-nama kondang: Nurcholis Madjid dan Quraish Shihab. Dulu, koran itu disambut meriah kalangan Islam. Republika tak lekas mengesankan nama Islam tapi dijanjikan memberi berita dan artikel-artikel mengenai Islam. Kita tengok lagi di halaman Tempo. Oh, bacalah Republika saat pagi.
Pada 2018, terbit buku berjudul Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara garapan Janet Steele. Di situ, ada pembahasan Republika. Pada 2000, Republika berubah nasib setelah ditangani Mahaka Media. Dulu, orang mengingat Republika itu ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Para pejabat Orde Baru dan kaum cendekiawan menjadi pembuat atau penggerak Republika. Oh, kita mengingat kalangan menengah muslim di masa 1990-an. Mereka memerlukan bacaan harian. Kita berimajinasi lelaki itu orang kantoran, PNS, atau pejabat. Setiap pagi, ia membaca Republika, setelah beribadah dan mandi. Duduk tenang membaca koran sambil minum teh atau kopi. Pagi, ia sudah mengerti beragam berita dalam suasana koran berdakwah.
Dakwah melalui koran dan majalah sering seru di Indonesia. Ironi berlaku juga bila dakwah itu “memanas” dan “mengeras” menghasilkan konflik-konflik. Republika datang setelah orang-orang berlangganan atau sering membaca koran-koran umum, tak menonjolkan “keagamaan”. Anggapan kita itu “meleset” bila mengikuti omongan orang tentang koran-koran itu “Islam”, “Kristen”, atau “Katolik”. Di Kompas, artikel-artikel mengenai Islam justru menjadi dakwah besar. Para intelektual mengajak pembaca berpikir kritis dan berdakwah di lembaran-lembaran koran, sebelum kertas itu bernasib “buru”. Koran sering bacaan sejenak, berganti peran menjadi alas, pembungkus, atau permainan.
Kini, Republika masih terbit. Koran tetap memiliki pembaca setia. Halaman-halaman di koran sering memuat hal-hal berkenaan Muhammadiyah. Ada pula artikel-artikel panjang berkaitan riset beragam tema. Edisi akhir pekan menggoda kita memikirkan busana, pelesiran, makanan, hiburan, dan lain-lain. Sabtu dan Ahad, edisi Republika agak “ringan” tapi terus berdakwah. Kita ingatkan bahwa di lembaran koran, penerbit mencantumkan Ahad. Kita maklum Republika tak memilih nama hari libur itu Minggu.
Penulis masih sering membeli Republika dan menikmati suguhan berita, artikel, iklan, cerita pendek, dan ulasan buku. Umat Islam mungkin tak ngotot untuk menjadi pembaca rutin Republika setelah mereka rajin bergawai tapi memiliki dalih dakwah. Klekaran sambil bergawai saja mengaku “berdakwah”. Adegan membaca koran itu Begitu.