Perkenalan saya dengan al-Jurumiyyah berawal dari sebuah kitab karangan paman saya, KH. Abdul Basith, yang berisi 99 bait syair berbahasa jawa berjudul Syair Nahwu. Bait pertama kitab tersebut berbunyi: ”kalam iku lafal gandeng mahidahi, kalimah lafal ijen kang nduwe arti.”
Paman saya bilang bahwa seluruh bait yang dikarangnya dalam kitab tersebut diambil dari al-Jurumiyyah, serta penyusunan bab-bab di dalamnya pun disamakan dengan kitab tersebut.
Saya belajar kitab syair itu waktu kelas 1 awaliyyah di Pondok Pesantren Al Hikmah Bandar Lampung. Usia saya sekitar 12 tahun ketika itu. Guru saya adalah paman saya sendiri yang sekaligus pengarang kitabnya. Baru di tahun berikutnya saya belajar kitab Jurumiyyah yang dikarang Ibnu Ajurum, juga diajar oleh paman saya tersebut.
Selama dua tahun belajar nahwu, apakah saya jadi pintar ilmu nahwu? Jawabannya, saya tidak paham sama sekali. Padahal 99 bait syair itu berhasil saya hafal di luar kepala.
Saya baru merasa paham ketika belajar kitab Imrithi. Pelajaran-pelajaran yang saya dapat dari Syair Nahwu dan Jurumiyyah yang sebelumnya tidak saya mengerti apa fungsi dan manfaatnya, menjadi saya pahami saat belajar Imrithi. Memang guru-guru di pesantren sering bilang bahwa kadang-kadang belajar itu tidak langsung paham, tetapi bisa jadi baru paham bertahun-tahun sesudahnya. Dan saya termasuk yang merasakan itu. Bahkan, saya jadi menyukai ilmu nahwu dan lumayan sering mutalaah.
Rasa suka itu membawa saya untuk sorogan kitab Mukhtashor Jiddan, salah satu kitab syarah (komentar) atas Jurumiyyah, kepada paman saya tadi. Selama kira-kira setengah tahun, saya berhasil khatam membaca kitab itu di hadapan paman saya mulai dari bab awal hingga akhir. Kitab-kitab syarah lain yang menjadi pendamping belajar saya di antaranya adalah kitab Asymawi dan Kawakib ad-Duriyyah.
***
Pada tahun 672 H, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Daud ash-Shinhaji lahir di kota Fes, Maroko. Dia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Ajurum. Ajurum bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan bahasa orang-orang Berber, etnis asli daerah Afrika Utara timur Lembah Nil.
Ajurum berarti al-faqir as-Shufi, ahli ibadah yang sufi. Julukan ini menandakan ia dikenal sebagai seseorang yang ahli ibadah dan menjalankan laku hidup sufi yang menjauhi kehidupan duniawi.
Tahun kelahiran pengarangnya sama dengan tahun wafatnya Ibnu Malik, seorang ahli nahwu terkenal asal Andalusia yang mengkreasi Alfiyyah, karya berupa 1002 bait syair mengenai ilmu nahwu. Jadi pada tahun tersebut, seorang ahli nahwu berpulang dan seorang ahli nahwu lainnya dilahirkan.
Tidak ada keterangan yang menyebutkan tahun berapa Ibnu Ajurum mengarang Jurumiyyah. Informasi yang beredar adalah bahwa Jurumiyyah ditulis di hadapan Kakbah yang mulia, kiblat seluruh umat Islam seluruh dunia. Diceritakan dalam sebuah kitab hasyiyah yang dikarang al-Hamidi, bahwa saat Ibnu Ajurum telah selesai menulis kitab Jurumiyyah, ia menjatuhkannya di laut seraya berkata, “Bila dalam mengarang kitab ini saya ikhlas karena Allah, maka kitab ini tidak akan basah.” Dan kitab yang dicemplungkannya itu benar-benar tidak basah.
Kitab Jurumiyyah berisi teori-teori dasar ilmu nahwu, salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang membahas perubahan huruf akhir dari sebuah kata yang menjadi tanda kedudukan kata tersebut dalam sebuah kalimat, apakah kata itu berposisi sebagai subjek, predikat, objek, atau keterangan tambahan.
Ilmu nahwu wajib dipelajari bagi orang-orang yang hendak mendalami ilmu-ilmu agama Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan hadis yang menggunakan bahasa Arab, dan bahasa Arab tidak bisa dipahami dengan baik kecuali dengan mempelajari ilmu nahwu. Dan Ibnu Ajurum berhasil meringkas sekaligus mengurutkan bab-bab dan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang terpenting di dalam Jurumiyyah dengan sangat baik, sehingga kitab ini masyhur sebagai kitab yang mudah dipahami dan dihafalkan bagi para mubtadi’ (pemula). Bahkan Ibnu al-Haj berkomentar:
“Kebanyakan orang setelah belajar membaca Al-Qur’an, mereka mempelajari Jurumiyyah. Manfaat dari Jurumiyyah dapat hasil dalam waktu yang singkat.”
Di Indonesia, kitab Jurumiyyah masih menjadi kitab pelajaran yang dikaji di hampir seluruh pesantren, baik yang berada di pelosok desa maupun di tengah-tengah kota. Padahal usia kitab ini sudah lewat dari tujuh abad dan sudah banyak karangan-karangan ilmu nahwu yang lebih baru yang disajikan tidak kalah apik dan telah disesuaikan dengan keadaan bahasa Arab kekinian. Apa yang menyebabkan Jurumiyyah masih dikaji di pesantren selain kandungannya yang ringkas namun padat?
Setidaknya ada dua alasan penting yang bisa menjawabnya, yang pertama adalah sanad. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi persoalan sanad. Sanad atau silsilah keilmuan dibutuhkan agar ilmu yang diperoleh para santri dapat dipertanggung jawabkan kesahihannya. Dan keberadaan sanad menjaga tidak terputusnya jariyah untuk para guru.
Kiai di pesantren saat ini berguru ilmu nahwu kepada kiai di pesantren mereka dulu menggunakan kitab Jurumiyyah. Begitu pun kiai-nya kiai, kiai-nya kiai-nya kiai, dan seterusnya, semua menggunakan kitab Jurumiyyah. Meski banyak kitab ilmu nahwu yang lebih baru dan punya lebih banyak keunggulan dari Jurumiyyah, tetapi kitab-kitab tersebut tidak mempunyai jaringan sanad seluas dan sebanyak Jurumiyyah.
Di antara sanad Jurumiyyah yang dimiliki kiai-kiai pesantren, ada yang bisa ditelusuri muaranya pada sosok Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang ulama asal Makkah yang menjadi guru para ulama nusantara yang juga merupakan salah satu pengarang kitab syarah (komentar) atas kitab Jurumiyyah. Sebut saja Syekh Nawawi al-Bantani, Kiai Soleh Darat, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Kholil Bangkalan, dan masih banyak lagi, mereka adalah murid langsung dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang mendapat sanad Jurumiyyah darinya. Sehingga seiring ulama nusantara tersebut mempunyai murid-murid yang tersebar di seluruh nusantara, maka tersebar pula sanad Jurumiyyah.
Sedangkan alasan kedua adalah kualitas pengarangnya. Di atas telah dijelaskan bahwa Ibnu Ajurum adalah seorang sufi dan keikhlasannya dalam mengarang Jurumiyyah tak perlu dipertanyakan lagi. Ulama-ulama dulu memang terkenal bila sedang mengarang sebuah kitab, mereka melakukan tirakat dan riyadloh agar kondisi batin menjadi bersih sehingga tujuan mereka dalam mengarang tidak bercampur dengan kepentingan-kepentingan duniawi, melainkan murni karena Allah Swt saja.
Dan Jurumiyyah adalah sebuah bukti, bahwa kitab yang dikarang dengan cara demikian akan memiliki manfaat yang luas dan tidak lekang oleh waktu. (RM)