Di Jalan Anyelir Kampung Inggris Pare Kediri, di sebelah timur Masjid Darul Falah, ada sebuah rumah berlantai dua yang tampaknya mengalami hibridasi pada bangunannya.
Bangunan belakang rumah memperlihatkan usianya yang tak muda. Sedangkan bagian depannya menampakkan usia yang lebih muda, setidaknya dari pada bagian belakangnya.
“Yang depan sudah di renovasi,” kata Dedik, lelaki yang bertugas menjaga rumah tersebut yang penulis temui beberapa hari yang lalu.
Di depan rumah tersebut terpampang sebuah papan bertuliskan “Ahmad Yazid Center”. Kata Dedik, dulu semasa hidup Kiai Yazid tinggal di sini.
Kiai Yazid adalah guru Mr Kalend pendiri Basic English Cours (BEC), lembaga kursus pertama bahasa Inggris Kampung Inggris Pare Kediri yang didirikan pada tahun 1977 M. Kata Mr Kalend yang penulis temui di rumahnya (05/01/2020), Kiai Yazid mengusasi sembilan macam bahasa dunia.
Ketika penulis bertanya proses belajar Kiai Yazid sampai ke level itu, Mr Kalend menjawab, Kiai Yazid mengembangkan kemampuannya secara otodidak.
“Mungkin itu yang dinamakan laduni. Bahasa asing pertama yang dikuasai Kiai Yazid adalah bahasa Arab, lalu beliau mengembangkannya ke bahasa-bahasa lain. Kiai Yazid itu menemukan hubungan atau keterkaitan bahasa-bahasa lain dengan bahasa Arab” begitu kira-kira Mr Kalend mengisahkan.
Dulu pada tahun 2009, saat penulis pertama kali menginjakkan kaki di Kampung Inggris, kata beberapa teman yang lebih senior, Kiai Yazid memiliki koleksi buku yang cukup banyak dan bermacam-macam.
“Apakah buku-buku Kiai Yazid masih tersimpan di sini?” tanyaku kepada Dedik.
“Iya” jawabnya. “Namun,” ia melanjutkan, “sudah tidak sebanyak dulu, beberapa hilang lantaran beberapa peminjam yang enggan mengembalikan.”
Saya lalu meminta ijin, apakah diperbolehkan melihat dan membaca buku-buku beliau. Tentu setelah saya memperkenalkan diri dan menjelaskan identitas saya.
“Boleh, silahkan. Tapi dibaca di tempat saja. Kalau ada yang dikira penting difoto saja,” katanya mempersilahkan.
Saya pun buru-buru ke lantai dua, karena memang buku-buku Kiai Yazid tersimpan di sana. Dan benar adanya, saya menemukan buku-buku dari berbagai bahasa. Ada Arab, Inggris, Persi, Belanda, Prancis, Hebrew, Jepang…
Saya mencoba mengambil dan memeriksanya sekilas satu demi satu. Tentu tak semua terperiksa, karena memang jumlahnya tidak sedikit.
Di antara tumpukan buku-buku tersebut, ada buku Hebraische Grammatik Von D. Dr. Carl Steuernagel, The Bird of The Malay Peninsula by Herbert C. Robinson, Atlantis The Antediluvian Word, Jesus A Propet of Islam by Muahammad Ataur-Rahim, Pears Cyclopaedia Editor L Mary Barker, B.Sc. (Lord), A Dictionary of Modern English Usage by H. W. Fowler, Kamud Baru dalam bahasa Asing (Eropah)-Indonesia-Arab karya Abdullah bin Nuh, Hebrew Trhough Pictures by I. A. Richard, David Weinstein and Christine Girson, Kramers’ Woordenboek Frans: Frans-Neterland/Neterland-Frans Bewerkt Door Dr. F. H. Prick Van Wely, Qisosul Taksirul Atfal Bi Qolami Kamil Kilani, Dairotul Maarifil Qorni Taklif Muhammad Farid Wahdi, Al-Amin Al-Qur’an Tarjamah Sunda karya KH Qomaruddin Shaleh-H. A. A Dahlan-Yus Rusamsi, Al-Tadrib alal Muahadasah bil lughotain al-Arabiyah wa Farnisiyah, Khud Amuz Inggilisi bi Farnisi biduni Muallim, Tafsir al-Qur’an al-Mansub ila Ibnu Arabi…
Rata-rata dalam buku tersebut ada semacam mirip tanda tangan yang samar-samar terbaca “A Yazid”. Dalam buku-buku itu juga terdapat catatan-catatan Kiai Yazid dengan beberapa pulpen berwarna–Di Kampung Inggris, rata-rata lembaga kursus mengajarkan grammar dengan menggunakan spidol berwarna. Apakah ini ada hubungannya dengan catatan Kiai Yazid? Tentu perlu penelitian lebih lanjut.
Dalam menuliskan catatan, kadang Kiai Yazid tidak hanya menggunakan satu bahasa. Namun beberapa bahasa beliau gunakan. Juga beliau menuliskan di sampul dalam beberapa buku, bahwa buku tersebut merupakan pemberian ini dan itu.
Selain koleksi buku-buku beliau itu, di sebelah timur bawah rak dalam ruangan tersebut, ada satu buku berjudul Fiqh Lughah oleh Ustadz U Hubbis-Kjai A. Yazid yang diterbitkan CV Pembina Surabaya. Sesuai keterangan di sampul depan, buku tersebut adalah buku pelajaran bahasa Arab disertai bahasa Indonesia.
Yang saya temukan itu adalah jilid dua. Walaupun tertulis nama Kjai A. Yazid sebagai dalah satu penulisnya, untuk memantapkan saya mengonfirmasinya kepada Mr Kalend dan Ustaz Sugiarto pemilik lembaga kursus bahasa Arab al-Busayyith. Beliau berdua pun mengiyakan.
“Ada tiga jilid sebenarnya” kata Mr Kalend mengenai buku tersebut.
Ada juga satu buku yang terlihat lusuh dan tua. Di sampul depan tertuli teks dalam bahasa Arab “Muqtathafat Mufidah fi Hilli Masakilil Faridah Jama’aha Ahmad Yazid”, yang kira-kira artinya beberapa serpihan yang membantu memecahkan persoalan yang sulit yang dirangkum oleh Ahmad Yazid. Setelah saya buka, ternyata di dalamnya adalah nazam kitab Alfiyah karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi, kitab tentang gramatikal bahasa Arab yang menurut penulisnya lebih unggul dari kitab Alfiyah karya Imam Ibnu Malik yang umumnya dihafal dan dipelajari di pesantren-pesantren.
Di permulaan kitab tersebut dan di sela-sela nazam terdapat beberapa catatan. Bahkah di catatan yang awal yang tampaknya adalah pendahuluan (Muqoddimah) dari catatan tersebut dengan indikasi dimulai dengan pujian kepada Allah dan solawat serta salam kepada Nabi Muhammad, tertulis “Turobu nialil ulama wa Asiru fadhlihim Ahmad Yazid bin Muhammad Thohir bin Abdul Qodir al-Damai summal Qodiri” dan “Majalengka Syahrabon Jawa al-Gharbiyyah Indonesia fi 30 Dzil Qo’dah 1354.”
Catatan-catatan tersebut, menurut pemeriksaan penulis, adalah penjelas yang dalam istilah pesantren di sebut “syarah”. Hanya saja tampaknya catatan-catatan tersebut belum selesai ditulis secara lengkap jika mengacu kepada menuskrip tersebut. Atau bisa saja Kiai Yazid menulis kelanjutannya di buku yang lain, dan ini perlu penelitian lebih lanjut juga.
Kiai Yazid dalam Kenangan
Nama Kiai Yazid bagi para pejalar bahasa di Kampung Inggris sekarang mungkin tak begitu akrab atau mungkin justru tak banyak yang tahu. Namun bagi pemilik kursus, para pengajar dan masyarakat Kampung Inggris, nama Kiai Yazid masih diingat dan dikenang. Walaupun tak banyak yang tahu secara mendetail tentang beliau.
Tentang Kiai Yazid, saya mencoba menanyakan kepada Mr Kalend. Beliau bercerita, bahwa Kiai Yazid adalah seorang pembaca yang tekun. Buku setebal satu centi meter, biasa beliau khatamkan sekali baca. Tentang ketekunan beliau, Mr Kalend mengenang:
“Seperti setelah jama’ah Solat Isyak, Kiai Yazid mulai membaca, setelah selang beberapa waktu yang cukup lama, kita akan mendapati beliau masih seperti sediakala, tetap membaca dan tak berpindah. Itu yang sulit kita tiru dari beliau”.
Sebagai seorang guru, Kiai Yazid tampaknya juga sangat membekas di hati Mr Kalend. Ceritanya, saat Mr Kalend awal-awal mendirikan BEC, Kiai Yazid tidak hanya mendukung namun juga ikut mengawasinya dengan cara menyaksikam Mr Kalend mengajar, lalu setelah selesai, Kiai Yazid memberikan masukan-masukan kepada Mr Kalend.
Demikian juga dengan Ustaz Sugiarto, walaupun saat Kiai Yazid hidup, beliau masih muda, dan mungkin hanya ngaji di Masjid, namun Kiai Yazid berbekas dalam ingatannya dan beliau pun sangat mengaguminya. Begitu juga dengan Mas Dedik yang lebih muda lagi, juga mengenal Kiai Yazid sebagai orang yang punya ilmu “linuwih”.
Beberapa masyarakat yang berdagang yang saya temui, juga mengenal Kiai Yazid, kendati tidak begitu detail. Penulis juga mendengar, Gus Dur juga pernah berinteraksi dengan Kiai Yazid. Tentu keterangan ini masih perlu diverifikasi lebih lanjut. Namun kalau melihat jarak Kampung Inggris dan Tebuireng yang hanya beberapa kilo meter saja, interaksi ini mungkin saja terjadi. Apalagi keduanya adalah pembaca yang “rakus”.
Beberapa sumber menyatakan, Kiai Yazid wafat tahun 1990, ada pula yang mengatakan tahun 1992. Penulis belum bisa mengkonfirmasi, lantaran belum bertemu dengan salah satu keturunan Kiai Yazid karena memang sudah tidak tinggal di rumah Kiai Yazid.
Alhamdulillah, kemarin sebelum meninggalkan Kampung Inggris, penulis bersama beberapa kawan berkesempatan berziarah ke makam beliau, yang letaknya di barat Masjid Baiturrahman di jalan Cempaka Kampung Inggris. Biasanya para pelajar bahasa yang ditinggal di Pondok Darul Falah — Pondok yang sedari dulu digunakan sebagai tempat tinggal, yang diantaranya para pelajar yang belajar dengan Kiai Yazid, kendati menurut satu sumber dan tentu butuh konfirmasi lebih lanjut, bukan dibangun oleh Kiai Yazid melainkan saudara beliau — menziarahi makam Kiai Yazid di hari Minggu pagi.
Begitulah catatan sederhana tentang kiai ahli bahasa itu.