Mengamati masjid-masjid, terutama di Yogyakarta, arah perkembangannya begitu beragam. Masjid-masjid kampus pun kian diramaikan dengan berbagai aktivitas yang popular, seperti mendatangkan ustad-ustad kece, penceramah kondang. Masjid-masjid di wilayah kompleks perumahan maupun perkampungan sampai memiliki fasilitas penginapan, poliklinik, lembaga simpan-pinjam, dan pemberdayaan ekonomi mikro. Pun sulit dimungkiri gerak dan aktivitas perkembangan haluan masjid sampai bersentuhan dengan ranah politik praktis, beririsan dengan ranah ideologi transnasional.
Pada akhir bulan awal tahun ini, tepatnya 25-26 Januari 2020, kami menyelenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) Masjid Jendral Sudirman berlokasi di Dolan Deso Boro, Desa Banjarasri, Kec. Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Tujuan diadakannya Mubes di antaranya merumuskan haluan Masjid Jendral Sudirman. Berbasis spiritual, keintelektualan, sembari menguri-uri kebudayaan terumus sebagai cara kami memakmurkan masjid. Ketiga basis ini yang melambari ngaji dan kajian MJS.
Sebetulnya ketiga basis haluan masjid itu terumuskannya belakang. Berjalan lebih dahulu beragam ngaji dan kajiannya. Basis spiritual terejawantah pada pengajian yang rutin dilaksanakan dengan mendatangkan ustad, kiai, habib, dan dosen sebagai penceramah. Materi yang disampaikan mencakup fikih, ibadah, lingkup kehidupan keluarga, Tafsir Jalalain, kajian Sirah Nabawiyah. Sasarannya mengisi dimensi keruhanian serta menambah pengetahuan tentang keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh untuk mengajak pada laku kebaikan di dunia dan tujuan manusia hidup. Pengajian mingguan ini berlangsung pada Selasa malam dan Jumat malam selepas shalat Magrib s.d Isya.
Terajut pada basis spiritual yakni ngaji tasawuf bulanan. Kitab yang dibahas kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu ‘Arabi dan kitab Rubaiyyat karya Jalaluddin Rumi. Berlangsung pada Kamis malam Jumat di minggu pertama dan kedua atau menyesuaikan jadwal yang ada. Kedua ngaji ini diampun oleh Kiai Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Bantul. Serta Ngaji kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari terjadwal setiap Senin Wage malam Selasa Kliwon bersama KH. Imron Djamil, pengasuh Pondok Pesantren Kyai Mojo, Jombang.
Pada basis keintelektualan hadir Ngaji Filsafat yang telah terselenggara sejak April 2013 sampai sekarang, setiap Rabu malam Kamis pukul 20.00 s.d 22.00 WIB (kecuali libur). Pengasuhnya Dr. Fahruddin Faiz. Istilah “ngaji” yang dianggit bila dicari-cari alasan antropologisnya, kira-kira istilah “Ngaji Filsafat” hanya diasaskan pada kebiasaan masyarakat Jawa dalam memakai istilah “Ngaji”. Lagipula bila dipakai istilah “Kuliah Filsafat” kesannya akan seperti di kampus. Sementara ngaji berlangsung di masjid.
Namun rupanya Pak Faiz sebagai pengasuh, mempunyai alasan hermeneutis dibalik maksud dari pemilihan kata “Ngaji”. Kata dasarnya adalah “Aji”. “Aji” artinya “(ke)mulia(an)’. “Ngaji” berarti “upaya untuk menjadi mulia” atau “mencari kemuliaan”. Dalam bahasa Islam, “Aji” sepadan dengan kata “karamah”. Jadi, menurut Pak Faiz, “Ngaji Filsafat” berarti “upaya mencari kemuliaan dan menjadi mulia dengan filsafat”. Sampai tulisan ini disusun, Ngaji Filsafat telah berlangsung sampai sesi ke-278.
Ngaji Filsafat di MJS tersaji tidak seperti filsafat dalam pengajaran di kampus maupun pembahasan di kelas kursus filsafat, tetapi dihadirkan dalam suasana masjid. Artinya, penyajian filsafat disampaikan dalam kemasan kesujudan, bagaimana pemikiran filsafat dibingkai sebagai pengetahuan dan tangga pemahaman untuk semakin mendekatkan diri menuju Tuhan.
Bila pada akhirnya manusia mengenal dirinya, sampai pada titik itu manusia akan mengenal Tuhannya (Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu). Titik niatnya ngaji pada yang tersebut terakhir ini.
Masih dalam basis keintelektualan telah terselenggara ngaji dan kajian tematik. Ada Ngaji Studi Quran dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial bersama Muhammad Al-Fayyadl selama delapan sesi pertemuan (2015-2016), dan Ngaji Pascakolonial bersama Dr. Katrin Bandel selama enam sesi pertemuan (2016-2017).
Selain kedua ngaji, masih ada kajian tematik beragama tema, seperti kajian Kosmologi Perempuan bersama Ust. A.M. Sofwan (2013); Psikoloogi Ikhlas Al-Ghazali bersama Ustazah Luluatul Chizanah (2013); Teori Suara Lebih bersama Martin Suryajaya (2013); Ilmu Falak bersama Muntaha Arkanudin (2013); Filsafat Perenial bersama Halim Miftahul Khoiri (2013); Humanisme dan Transhumanisme bersama Alfahtri Adlin (2016); Masjid sebagai Sekolah Demokrasi bersama Danielle N. Lussier (2016); Islam Pascakolonial bersama Ahmad Baso (2016); udar buku Al-Jabiri, Eropa dan Kita bersama Ahmad Baso (2017); udar buku Gajahmada dan Kesultanan Majapahit bersama Ashad Kusuma Djaya (2018); terakhir Ngaji Bunyi: Does Sound Matter? bersama Julian Abraham ‘Togar’. Kajian tematik sifatnya kondisional, menyesuaikan agenda ngaji rutin, atau melihat kondisi yang memungkinkannya diselenggarakan.
Beralih pada basis menguri-uri kebudayaan. Apa dimaksudkan dengan aras kebudayaan di sini adalah aktivitas masjid yang dilandaskan pada upaya untuk menguri-uri kebudayaan setempat. Karena MJS berada di Yogyakarta, maka melesatkan setiap kegiatannya untuk menghidupkan kebudayaan Jawa. Dari M. Yaser Arafat sebagai ketua takmir terselenggara kegiatan di antaranya, Sinau (belajar) Mocopat bersama Bagus Febrianto, Ngaji Serat Jawa bersama Herman Sinung Janutama, sekali waktu pada Pengajian Syawalan 1434 H berlangsung Zikir “Joget Sholawat Mataram”, serta menghelat Ngaji Budaya Wayang bersama Ki Mukti dari Kalasan.
Pengartian menguri-uri kebudayaan juga termasuk mentradisikan tilawah, baik yang diputar dari VCD Player setiap sebelum Magrib, Jumatan, maupun secara langsung disuarakan oleh anggota takmir. Memutar shalawat Tarhim sebelum azan menjelang shalah Subuh. Sesekali juga terlantun pembacaan Al-Qur’an berlanggam Jawa menjelang sebelum waktu Magrib, atau pada kesempatan shalat Magrib mengimami dengan langgam Jawa. Mengenai ini dapat dilihat kajian yang dilakukan Fejrian Yazdajird Iwanebel berjudul “Gerakan Keagamaan dan Identitas Kultural Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta” (Jurnal Ibda’, Vol. 17, No. 1, Mei 2019).
Satu lagi, kelompok Kadang Muslim bapak-bapak becak. “Kadang” berarti saudara. Kegiatan dari kelompok ini setiap Selasa malam bakda Isya—kecuali libur. Tujuannya mempererat tali persaudaraan, menumbuhkan kepedulian sosial, membina akhlak menjadi lebih baik, meningkatkan kesadaran ibadah, dan meningkatkan keterampilan anggota. Bentuk kegiatan seperti pengajian, tahlilan, rangkaian kegiatan ramadhan, program simpan pinjam, program pelayanan kesehatan, sebulan sekali latihan gamelan dan bershalawatan, serta dalam sekali setahun mengagendakan ziarah. Selengkapnya lihat studi (skripsi, UIN Sunan Kalijaga) Anif Farida pada 2009 berjudul Pengembangan Sumber Daya Tukang Becak (Studi Kasus Perkumpulan Kadang Muslim Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta).
Sebagai bentuk peran sosialnya masjid, keberadaan bapak-bapak becak di MJS bersimbiosis ngewongisme-nya bagi masjid, areal sekitar halaman dan tempat wudu pagi harinya selalu mereka bersihkan. Di dalam masjid pun terjaga kesuciannya.
Masjid selayaknya pun ramah kepada pejalan (musafir), sekadar sebagai tempat singgah, tempat berdiang dari dingin hujan, berteduh dari terik matahari. Sedapatnya masjid menunjukkan kerahmatan-Nya, terbuka bagi siapa pun.
Mari, Menuju Masjid Membudayakan Sujud.