Sedang Membaca
Kitab Washiyatul Musthofa: Kumpulan Wasiat Kanjeng Nabi pada Sayyidina Ali
Alfin Haidar Ali
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid. Bisa disapa via Ig: alfinhaidarali179.

Kitab Washiyatul Musthofa: Kumpulan Wasiat Kanjeng Nabi pada Sayyidina Ali

Kitab Washiyatul

Banyak model kitab dalam pembahasan hadits nabi. Ada kitab yang fokus membahas tentang akhlak-akhlak nabi, seperti Akhlaqun Nabi wa Adabuhu dan Makarimul Akhlak. Atau kitab hadits yang disesuaikan dengan jumlah hadits di dalamnya, seperti Al-arbain An-Nawawiyah dan al-Arbaun al-Buldaniyah. Ada pula kitab hadits yang fokus isinya memuat dasar-dasar hukum fikih dalam Islam, seperti Bulughul Maram.

Nah, dari sekian banyak model dan gaya penulisan kitab hadits, ada satu kitab yang cukup menarik untuk dikaji dan dipelajari bagi umat Islam, yakni Washiyat al-Musthofa li al-Imam Ali Karramallahu wajhah. Sebuah kitab yang menjelaskan tentang kumpulan wasiat-wasiat kanjeng nabi pada Sayyidina Ali Karramallahu wajhah.

Syekh Abdul Wahab asy-Sya’roni selaku penyusun kitab hadits tersebut menulis beberapa kalimat dalam prolog kitabnya sebelum menulis hadits-hadits tersebut.

فهذه وصية المصطفي عليه الصلاة والسلام لعلي بن ابي طالب كرم الله وجهه قال : دعاني رسول الله صلى الله عليه وسلم فخلوت معه في منزله فقال لي : يا علي انت مني بمنزلة هارون من موسى عليه الصلاة والسلام غير انه لا نبي بعدي

Artinya: kitab ini merupakan wasiat nabi alaihi ash-sholatu wa as-salaam kepada Sayyidina Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah. Sayyidina Ali berkata, “Rasulullah shalallahu wa sallam memanggilku dan aku bersama beliau menyepi di rumah beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘wahai Ali, engkau memiliki kedudukan seperti kedudukannya Nabi Harun pada Nabi Musa alaihis sholatu was salaam selain bahwasanya tidak ada nabi setelahku.

Baca juga:  Anak, Ibu, Alam

Lalu, bagaimana kedudukan Nabi Harun pada Nabi Musa hingga kedudukan Sayyidina Ali disetarakan dengan Nabi Harun?

Nabi Harun dan Nabi Musa sama seperti dwi tunggal yang mana dua utusan Allah ini ada di muka bumi ini ada untuk saling melengkapi untuk menyampaikan risalah kenabian. Nabi Musa adalah sosok yang tegas dan pemberani. Jiwa kepemimpinannya sangat kuat dan fasih berbicara. Sedangkan Nabi Harun adalah sosok yang fasih dalam berbicara dan menjadi juru bicara Nabi Musa saat menghadapi Fir’aun dan umat sekalipun.

Nabi Harun adalah nabi ke-15. Beliah merupakan sepupu Nabi Musa. Orang tua mereka adalah kakak beradik. Ketika masih kecil dan belia, Nabi Musa mengalami sebuah insiden dampak dari kebijakan Fir’aun yang menjadi raja Mesir saat itu, yakni mulut beliau disumpal oleh ibunya dengan batu bara agar tidak menangis saat disembunyikan dari kejaran orang-orang Fir’aun saat mencari bayi yang berjenis kelamin laki-laki -sesuai instruksi raja- harus dibunuh.

Akhirnya Nabi Musa merasa membutuhkan partner dalam berjuang. Ia memohon kepada Allah agar diberikan teman seperjuangan dalam berdakwah. Jatuhlah permohonan itu pada Nabi Harun. Hemat penulis, Nabi Musa rasanya tak lengkap dan tak sempurna tanpa Nabi Harun.

Kira-kira begitu perumpamaan yang ingin diutarakan nabi pada Sayyidina Ali. Mungkin begini bila kita bayangkan dalam percakapan sehari-hari kita, “Wahai Ali, aku berdakwah tanpa punya partner seperti kamu itu rasanya kurang lengkap dan pas”.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (25): Kitabul Luma’, Hujjah Teologis Imam Abul Hasan Al-Asy’ari

Pada kalimat selanjutnya pada kitab tersebut, nabi kemudian mewasiatkan suatu “pusaka” yang apabila Sayyidina Ali menghafalkannya (dan tentu juga mengamalkannya), maka ia akan hidup dalam keadaan terpuji, mati dalam keadaan syahid dan Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat menjadi orang faqih dan alim.

Hingga hadits-hadits “pusaka” itu terkumpul dalam kitab washiyatul musthofa ini. Isi kitab ini diawali dengan pentingnya makan makanan halal, tentang wudhu dan shalat, puasa, sedekah, doa serta dzikir-dzikir, berkata jujur, taubat, menjaga lisan, malu, wara’, tercelanya dunia, keadaan-keadaan manusia, tanda-tanda kebaikan, tanda-tanda syirik serta wasiat-wasiat lainnya.

Kelebihan kitab ini adalah menggunakan bahasa yang ringkas, mudah dipahami dan tidak rumit. Sehingga cocok untuk dikaji untuk tugas akhir, khataman ramadhan hingga kajian kitab bagi pemula.

Sedangkan kekurangannya adalah pembahasan tidak begitu mendalam, bab yang ada di dalamnya terkadang ada pengulangan seperti bab do’a. Pembahasan tentang doa di awal kitab telah disebutkan oleh pengarang, tapi ketika membuka lembaran-lembaran berikutnya, kita akan menjumpai bab “do’a” lagi.

Pada akhirnya, bagaimanapun uraian yang telah saya uraikan, kitab ini sangat perlu dan penting untuk dikaji. Dengan ilmu yang ada di dalamnya, kita diharapkan semakin menjadi pibadi yang mengamalkan ajaran-ajaran nabi.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (40): Memahami Seluk Beluk Ramadhan dengan Kitab Kanz al-Ghufran

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
12
Ingin Tahu
11
Senang
6
Terhibur
3
Terinspirasi
6
Terkejut
6
Scroll To Top