Salah satu Walisongo yang menarik untuk dicermati lebih serius ialah Raden Umar Sa’id, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Muria. Menurut Agus Sunyoto (2011: 201), Sunan Muria agak berbeda dengan para wali penyebar Islam generasi awal yang riwayat hidupnya cukup banyak ditulis dalam beragam historiografi Islam-Jawa baik dari aspek asal-usul nasab maupun sepak terjang perjuangannya.
Riwayat mengenai asal-usul nasab Sunan Muria serta kisah hidupnya lebih banyak didasarkan pada cerita-cerita tutur dan legenda yang berkembang secara turun-temurun di tengah masyarakat sekitar lereng Gunung Muria. Setidaknya ada dua versi terkait asal-usul nasab Sunan Muria.
Pertama, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dari pernikahannya dengan Dewi Sarah putri Maulana Ishak. Asal-usul keluarga ini kemudian dikaitkan dengan pola dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Muria yang lebih mirip dengan pola dakwah Sunan Kalijaga. Pola dakwah yang kental dengan nuansa akulturasi budaya dengan nilai-nilai keislaman (Agus Sunyoto: 2011). Mungkin dengan asal-usul ini pula, kisah hidup Sunan Muria tidak terlepas dari aroma mistik yang amat kental, sebagaimana yang banyak diatributkan pula kepada Sunan Kalijaga.
Kedua, Sunan Muria putra Sunan Ngudung. Pendapat ini didasarkan pada catatan dalam buku Pustoko Darah Agung yang ditulis oleh R. Darmowasito. Menurut buku tersebut, Sunan Muria adalah putra Sunan Ngudung alias Raden Usman Haji dengan istri yang bernama Dewi Sarifah.
Jadi, berdasarkan pendapat ini, Sunan Muria adalah saudara dari Sunan Kudus. Pendapat ini juga didukung oleh Habib Lutfi bin Yahya, selaku Pembina Pemangku Makam Auliya’ se-Jawa. Habib Lutfi menyatakan bahwa Sunan Muria merupakan keturunan sayyid, putra dari Sayid Usman Haji putra Raden Santri (Ali Murtadho) putra Ibrahim Asmoroqondi. Meski demikian, Habib Luthfi berpendapat bahwa Sayid Usman Haji ayah dari Sunan Muria memiliki nama lain yaitu Sunan Mandalika, bukan Sunan Ngudung, sebagaimana yang populer di masyarakat (Anasom dkk: 2018).
Alasan tidak banyaknya, atau bahkan tidak adanya informasi mengenai kisah Sunan Muria di dalam historiografi Islam-Jawa, dimungkinkan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah bahwa Sunan Muria tergolong wali muda dalam dewan Walisongo. Sunan Muria tercatat sebagai anggota angkatan keenam di dewan Walisongo. Sehingga peran dan kontribusinya tidak begitu menonjol dibanding dengan para wali yang lebih senior darinya. Selain itu, Sunan Muria lebih menekankan dakwahnya pada masyarakat pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan dan kota. Sehingga kisah kehidupannya masih kental dengan nuansa mistis, penuh dengan dongeng, dan cerita tutur yang hidup di masyarakat sekitar lereng Gunung Muria.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari UIN Walisongo Semarang, bahwasannya untuk menemukan dan menggali ajaran Sunan Muria tidak-lah mudah. Hal tersebut dikarenakan tidak ditemukannnya bukti-bukti tertulis yang ditulis langsung oleh Sunan Muria atau yang dinisbatkan kepadanya.
Meski demikian, ada beberapa karya yang dipandang dapat merepresentasikan watak keislaman yang ada pada masa itu. Salah satu di antaranya adalah Buku Sunan Bonang (Het Book van Bonang). Karya ini, sebagaimana dimuat oleh Poerbatjarakan dalam Kepustakaan Djawa, menyatakan bahwa sumber rujukan karya tersebut adalah kitab Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali (w. 555 H/1111 M).
Apa yang menjadi inti dari ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Sunan Bonang tersebut sepertinya juga menjadi bagian dari nalar keagamaan yang digunakan Sunan Muria dalam dakwahnya. Karena dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa Sunan Bonang adalah guru dari Sunan Muria. Bahkan, Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan menyatakan bahwa Sunan Muria merupakan Sultan Auliya pengganti (wali badal) Sunan Bonang. Habib Lutfi bin Yahya menuturkan bahwa Sunan Muria merupakan Mursyid al-Kamil dalam dunia ketarekatan serta berafiliasi dengan Tarekat Naqsyabandi dari jalur Sunan Bonang tersebut (Anasom dkk: 2018).
Salah satu ajaran yang dinisbatkan kepada Sunan Muria adalah ajaran tentang Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram. Ajaran ini tercatat dalam karya Ranggawarsito yang berjudul Serat Wirid Idajat Djati. Meski sebagian dari peneliti ada yang masih meragukan perihal penisbatan beberapa ajaran yang ada di Serat tersebut dengan para wali, namun Damar Shasangka (2014) cukup yakin bahwa ajaran yang ada dalam Serat tersebut separuhnya berasal dari Sunan Kalijaga, sebagian dari para wali lainnya, dan sedikit yang dari Ranggawarsita sendiri.
Oleh karenanya, Shasangka menjelaskan uraian dari ajaran Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram adalah: 1.) Ora kena dhahar iwak ati (tidak boleh makan hati), 2.) Ora kena dhahar iwak jeroan (tidak boleh makan jeroan), 3.) Ora kena ngarani angen-angen (tidak boleh menyebut angan-angan), 4.) Ora kena ngarani jinem (tidak boleh menyebut jinem/harapan semu)
Keempat ajaran tersebut sangat kental dengan dimensi tasawuf dan spiritualitas yang mendalam. Karena, di dalamnya memiliki nilai-nilai kebajikan dan seni menata dalam hati dalam proses penyucian jiwa (tazkiyatun nufus).
Suluk Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram bisa saja dipahami sebagai proses penyucian jiwa dengan tidak melakukan hal-hal yang sia-sia dalam kehidupan di dunia (takhalli) seperti tidak terlalu berharap yang berlebihan (jinem) atau thulul amal dan tidak menyakiti sesama (makan hati/jeroan).
Namun, di sisi lain, Suluk ini juga bisa dipahami sebagai bagian dari olah spiritual nyata melalui berbagai amalan, seperti puasa tidak mengkonsumsi sesuatu yang bernyawa, atau lebih dikenal dengan istilah puasa nyireh. Tradisi puasa nyireh dan puasa muteh (hanya memakan nasi putih dan air) merupakan perilaku tirakatan (riyadhah) yang dimaksudkan pula sebagai bagian dari usaha penyucian jiwa (tazkiyatun nufus). Dengan menahan diri untuk tidak mengkonsumsi sesuatu yang bernyawa diharapkan jiwa ini tidak terkontaminasi perilaku hewani (nafsu hayawaniyah sabu’iyah) sehingga mudah tenang serta tidak memiliki watak emosional yang liar.
Hingga saat ini tradisi tirakatan semacam ini masih terawat dengan baik di Pesantren Bareng yang terletak di Desa Jekulo Kudus. Pesantren yang kental dengan berbagai amalan suluk, seperti puasa tahunan, amalan wirid dan hizib, serta amalan Dalail Khairat ini, masih memiliki garis intelektual hingga Sunan Muria melalui dua murid utamanya yaitu Simbah Abdul Jalil dan Simbah Abdul Qahhar. Selain itu ada pula Simbah Ahmad dan Simbah Rifa’I yang juga diyakini sebagai murid Sunan Muria.
Maka tidaklah heran jika Pesantren Bareng yang dikenal sebagai pesantren riyadhah mensiratkan adanya keterkaitan dengan ajaran Sunan Muria. Ajaran tersebut adalah ajaran mistis/tasawuf yang bercirikan tasawuf akhlaqi yang titik konsentrasinya pada upaya pembersihan diri dan jiwa melalu beragam olah batin dan latihan spiritual. Selain itu, kesehajaan kaum santri Bareng yang terlihat jelas juga menjadi penegas bahwa Pesantren Bareng merupakan bagian dari pengamal suluk Sunan Muria yang ada hingga saat ini dan menjadi salah satu pewaris intelektual Sunan Muria. Wallahhu a’lam.