“Ramadan yang juga dikenal sebagai bulan maghfirah (ampunan) seyogyanya dijadikan sebagai momentum untuk menyadari kesalahan, bukan malah dijadikan panggung untuk memamerkan dan mengagungkan diri atas kesalehan (individu dan sosial)”.
Menjelang fase berakhirnya bulan Ramadan, agaknya kalimat di atas perlu untuk dijadikan sebagai bahan kontemplasi, melihat pola keberagamaan umat modern yang banyak disuguhi fasilitas media sosial yang dapat dengan mudah dijadikan panggung untuk “memamerkan” kesalehan individu ataupun kesalehan sosial.
Tanpa melakukan riset secara mendalam, kita sering menjumpai fenomena orang mengunggah momen ibadah umrah di media sosial. Bukan hanya umrah, acap kali kita juga menjumpai orang mengunggah bentuk-bentuk kesalehan lainnya terlebih di bulan Ramadan, seperti momen tarawih bersama, tadarrusan hingga menunjukan bahwa dirinya telah berhijrah.
Godaan media memang tak jarang menjadi ujian juga. Pasalnya lewat media kita bisa mengunggah apa pun termasuk mungkin saja “kesalehan” kita. Ini tentu menjadi syahwat batin yang begitu halus dan bisa jadi sering dilakukan namun tidak disadari.
Secara teologis, boleh-boleh saja seseorang curhat atau “memamerkan” aktivitas ibadahnya di media sosial. Sebab, bisa jadi tujuannya hanya untuk memberikan motivasi kepada masyarakat virtual agar terdorong untuk melakukan amalan yang sama. Namun, perlu untuk diingat bahwa antara ikhlas dan riya’ (pamer/pamrih) sangat sulit untuk dibedakan.
Salah seorang cendikiawan muslim, M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Islam yang Saya Anut; Dasar-dasar Ajaran Islam”, melukiskan riya’ dengan analogi semut hitam kecil yang berjalan di atas batu licin hitam di tengah gelapnya malam. Analogi tersebut menunjukan bahwa, sangat sulit untuk mengidentifikasi perbuatan riya’. Sehingga, bisa jadi seseorang telah menganggap dirinya ikhlas, tapi di mata Tuhan justru sebaliknya.
Ibadah-ibadah yang telah kita jalankan di bulan Ramadan, boleh jadi akan terbilang sia-sia manakala kita terjebak dengan perangkap riya’ tersebut. Karena itu, dari pada kita menyibukkan diri untuk membuat konten curhat ibadah di media sosial, akan lebih baik jika momentum Ramadan ini dijadikan sebagai ajang untuk banyak muhasabah diri atas kesalahan-kesalahan yang telah berlalu.
Menyadari kesalahan merupakan langkah awal untuk mengundang ampunan Tuhan, sedangkan pamer dan bangga atas kesalehan justru merupakan suatu kesalahan yang baru, pun Tuhan jauh lebih menyukai hamba-Nya yang mengaku atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.
Selain menyadari kesalahan secara individual, hal terpenting yang tersirat dari Ramadan sebagai bulan maghfirah ialah bagaimana seseorang bisa mengontrol dirinya untuk tidak memandang buruk orang lain. Sebab, bisa saja orang yang secara kasat mata ibadahnya biasa saja atau bahkan ibadahnya terbilang sangat kurang, justru keberagamaan dan kedudukannya di sisi Tuhan melebihi orang banyak. Sebaliknya, bisa saja orang yang secara kasat mata keberagamaannya kuat; salat wajib dan sunnah terjaga, puasa, khatam qur’an, pakaiannya baik pun seorang aktivis dakwah (pendakwah), justru di mata Tuhan semua itu tidak ada nilainya.
Artinya, cukup fokus untuk merenungi kesalahan pribadi seraya mengharap pengampunan dari-Nya serta bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Itulah, makna sederhana dari taubat al-nasuha yang akan mengundang ampunan dari Tuhan di bulan maghfirah ini.
Dengan itu, agaknya hal demikian bisa menjadi jalan bagi kita untuk terhindar dari golongan orang-orang yang merugi di bulan Ramadan, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi saw. dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa, Nabi saw. bersabda: “Merugilah seseorang yang mendapati Ramadan, kemudian Ramadan berlalu ia tidak diampuni dosa-dosanya”. (HR. Ahmad nomor 7139).
Alangkah ironis ketika kita mendapati arena Ramadan (bulan magfirah/ampunan) namun tidak memperoleh ampunan dari-Nya. Olehnya, memasuki fase 10 terakhir Ramadan sudah selayaknya kita memanfaatkan waktu untuk memperbanyak kontemplasi dan sejenak mengasingkan diri dari masyarakat virtual untuk meraih kedekatan dengan Tuhan dalam ruang-ruang kesendirian. Agaknya itu juga yang menjadi makna sederhana dari ritual i’tiqaf.
Menjadi selebriti langit jauh lebih mulia dibanding selebriti dunia. Sebab, tak sedikit yang menjadi selebriti di bumi, tapi sungguh tidak ada yang mengenalnya di langit. Sebaliknya banyak selebriti di langit, meskipun ia tidak populer di bumi. “Dalam konteks ibadah, tidak perlu dikenal di bumi, cukup langit yang memahami kita”. Wallahu a’lam bish-shawab.