Sedang Membaca
Pengaruh Ibnu Sina dalam Persalinan Modern
Rizki Amalia
Penulis Kolom

Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Inggris, UPI Bandung, pernah nyantri dan aktif di berbagai organisasi Islam. Selain menjadi guru dan pengelola media, dia juga telah menerbitkan dua buku terkait toleransi. Email: rizkiamalia308@gmail.com.

Pengaruh Ibnu Sina dalam Persalinan Modern

Nama Husein ibn Abdillah ibn Sina (980 M) bukanlah nama yang asing bagi umat Muslim. Dia dikenal sebagai intelektual lintas disiplin. Tidak hanya sebatas intelektual formal, namun juga sebagai intelektual organik, terkhusus di bidang kedokteran.

Terbukti dengan bagaimana Ibnu Sina membuka praktik-praktik kedokteran di rumah sakit yang dirintis sendiri secara swasta. Bahkan, menurut temuan Fahruddin Faiz, pengampu kajian filsafat di Masjid Jenderal Soedirman Yogyakarta, Ibnu Sina adalah pelopor pertama apa yang sekarang dikenal dengan rumah sakit jiwa.

Pada bidang kedokteran ini, masih menurut Fahruddin Faiz, dia juga yang pertama merumuskan kode etik awal kedokteran. Ibnu Sina, mengatakan, “Jangan pernah katakan kepada pasien kalau penyakit mereka tidak bisa diobati. Karena sesungguhnya sugesti kalian juga adalah obat bagi pasien”.

Cara pandang ini kemudian hari dalam ilmu kedokteran modern disebut dengan psikosomatik. Artinya, kesehatan pikiran atau jiwa seiring dengan kesehatan fisik.

Paradigma medis Avicena ini tampaknya tidak banyak dimiliki oleh tenaga kesehatan rumah sakit Indonesia, khususnya yang menangani persalinan. Pengalaman terkait kesehatan dan psikologi penulis dapati saat proses melahirkan.

Suatu hal yang sangat disayangkan adalah tidak semua tenaga medis menimbang aspek psikis dari pasien. Hampir semua proses-proses persalinan yang ada di rumah sakit tempat penulis melahirkan harus berakhir dengan Operasi Caesar atau Section Caesarean (selanjutnya: SC).

Secara historis, praktik medis satu ini dimulai ketika pilihan-pilihan lahir normal sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diteruskan, dan operasi Caesarlah yang menjadi alternatif terakhir. Namun, rasa-rasanya apa yang terjadi di dunia persalinan justru berbanding terbalik.

Baca juga:  Di Antara Jokowi dan Probowo, Siapa yang Berani Bangun Hubungan Diplomatik dengan Israel?

Penulis menduga ini merupakan upaya-upaya sistematis kapitalisasi dunia medis. Sebab, profit dari teknik ini menelan biaya jutaan bahkan mencapai puluhan juta rupiah. Hal tersebut mungkin tidak menjadi persoalan bagi orang dengan kapital besar, namun bagaimana dengan yang tidak cukup kapital dan sudah terlanjur dapat vonis SC ? Di sisi lain, bagaimana hak anak melewati jalur seharusnya?

Proyek kapitalisasi ini terlihat dari tidak adanya usaha keras dari tim medis agar pasien tetap bisa melahirkan normal. Penulis melihat seorang ibu datang dalam kondisi sudah pembukaan 5. Ia divonis untuk harus melakukan operasi dengan alasan bayi terlalu besar, yakni berukuran 3, 4 kg.

Ibu tersebut masih kuat dan sangat menginginkan untuk melahirkan dengan cara normal. Pada kenyataannya, beberapa waktu yang lalu sahabat dari penulis telah banyak yang berhasil melahirkan normal dengan berat badan bayi 3,8 kg bahkan 4 kg.

Hal yang sangat disayangkan kembali adalah cara tim medis berkomunikasi. Di depan pasien yang sedang kesakitan dalam kontraksi menjelang melahirkan, mereka selalu menakut-nakuti risiko yang akan mereka hadapi jika tidak mau melahirkan dengan cara operasi. Pasien yang sudah tidak berdaya akhirnya banyak yang mendadak ketakutan dan langsung menyetujui untuk dilaksanakannya proses operasi.

Menggunakan konsep Ibnu Sina, seharusnya tim medis dapat mengelola bahasa komunikasi yang baik untuk disampaikan kepada pasien maupun keluarganya. Ketika memang terpaksa harus diambil jalan operasi, seharusnya hal tersebut bisa ditempuh pasien dengan hati yang lapang, bukan dengan ketakutan-ketakutan. Segala keputusan yang diambil oleh pasien pun harus dihormati tim medis dengan ramah.

Hal yang sangat disayangkan lainnya ialah saat penulis dan keluarga menolak dilaksanakannya operasi dan ingin berjuang untuk bisa melahirkan normal, namun respons dari tim medis sangat negatif. Mereka terus-menerus menakut-nakuti risiko terburuk.

Bahkan saat penulis mengalami kontraksi, tidak ada satu pun yang mendampingi untuk memberikan semangat. Mereka masih terus berusaha memaksa untuk dijalankannya operasi. Paksaan mereka baru berhenti saat melihat penulis telah mengeluarkan gumpalan darah dan melihat penulis sudah pembukaan 7, yang berarti proses melahirkan normal sudah di depan mata.

Baca juga:  Beragama Hanya Sebatas Ikut-Ikutan, Bolehkah?

Konsep melibatkan psikologi pasien dalam mengobati pasien sangat diabaikan oleh tim medis yang penulis temui. Hal yang sangat disayangkan adalah mereka hanya mengandalkan aspek prosedural.

Berkaitan dengan proses persalinan dan psikologi, seorang suami sudah sepantasnya memiliki mental yang siap dengan segala kondisi yang dialami oleh seorang istri pada saat jelang melahirkan (nglarani/kontraksi). Barangkali ini merupakan kondisi antara mati dan hidup seorang istri. Kesakitan pasti terus-menerus bertambah seiring proses bayi mendobrak pintu demi pintu untuk dia lewati agar bisa keluar ke dunia ini.

Saat jabang bayi keluar dengan penuh perjuangan, sejak itulah pendidikan hidup sedang dijalani oleh si bayi. Tampaknya proses itu merupakan hak si bayi yang tidak boleh dipotong kompas dengan jalan apa pun kecuali darurat. Pemberian hak kepada bayi tidak hanya soal dia mendapatkan kenyamanan saja, melainkan tentang dinamika hidup yang sudah sepatutnya dia rasakan sejak dalam kandungan, proses kelahirann dan kelak kehidupan dunia yang menjadi titah dia.

Psikologi suami untuk kuat melihat istri yang sedang kontraksi persalinan pun sangat penting. Suami merupakan sosok yang sangat berpengaruh untuk menguatkan istrinya. Kalimatnya bisa menjadi obat mujarab bagi istrinya dalam mengurangi rasa sakitnya. Sekalipun tidak lulus dari sekolah medis, suami tetaplah menjadi perawat dan pemberi obat yang pertama dan utama bagi istrinya.

Sebagai ilmuan Muslim di bidang kesehatan, Ibnu Sina telah mengajarkan bagaimana mengobati pasien dengan sifat rahman-rahim, penuh kasih sayang. Ibnu Sina mengobati pasien bukan hanya melalui fisiknya, namun juga mentalnya di mana medis modern mengenalnya dengan psikosomatik. Pengobatan seperti ini akan sangat ampuh untuk mempercepat kesembuhan pasien. Secanggih apa pun teknologinya, pengobatan yang diharapkan pasien adalah pengobatan yang tidak menambah rasa sakit dalam fisik maupun mentalnya.

Baca juga:  Membongkar Misteri “Al-Ummi” Kanjeng Nabi

Dr. Denis Walsh, a senior midwife and associate professor in midwifery at Nottingham University said; “Pain in labour is a purposeful, useful thing, which has quite a number of benefits, such as preparing a mother for the responsibility of nurturing a new born baby”.

Lebih lanjut Dr. Walsh menambahkan bahwa kesakitan dalam masa persalinan adalah hal yang sangat bermanfaat untuk seorang ibu, hendaknya para perempuan tidak menghindarinya dengan obat yang bisa membuatnya tidak merasakan sakitnya melahirkan. Berbagai manfaat menjalani proses persalinan secara normal dikemukakan Dr. Walsh.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top