Sedang Membaca
Masak Sendiri di Amerika: Antara Selera, Biaya, dan Gastrodiplomacy
Syakir NF
Penulis Kolom

Mengabdi di PP IPNU dan NU Online sebagai kontributor. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Masak Sendiri di Amerika: Antara Selera, Biaya, dan Gastrodiplomacy

kuliner makanan keluarga

“Makanan paling nikmat di Amerika adalah yang dimasak sendiri”

Kalimat di atas merupakan kelakar Timothy J Gianotti, Rektor American Islamic College (AIC), Chicago, Illinois, Amerika Serikat saat menceritakan ulang percakapannya dengan peserta Micro-Credential Dana Abadi Pesantren Kementerian Agama-LPDP yang tengah studi interfaith di kampus yang ia pimpin.

Betul. Tidak ada yang lebih nikmat ketimbang masakan Indonesia. Tentu ini sangat subjektif bagi lidah-lidah warga Indonesia. Namun, setidaknya itulah yang saya dan rekan-rekan peserta program tersebut di sini.

Sudah sebulan tinggal di Amerika, saya dan rekan-rekan lebih banyak masak menu-menu khas Indonesia di tempat tinggal masing-masing. Sebut saja di antaranya nasi goreng, tumis sayur, sop, balado, hingga gulai ayam. Hal yang tidak pernah tertinggal tentu saja mie instan yang sudah dipersiapkan dari Indonesia.

Bukan perkara sulit bagi santri-santri untuk masak. Hal tersebut tentu sudah menjadi bagian dari keseharian selama studi di pesantren. Meramu bumbu-bumbu menjadi sebuah santapan untuk sarapan menjadi sebuah ritual selepas Subuhan sebelum kami berangkat menuju kampus atau kunjungan ke sejumlah tempat dan komunitas. Saban pagi pula, di grup kami, terjadi ‘perang’ foto masakan yang dibuat pagi itu.

Untuk mendapati bumbu khas Indonesia, kami perlu membelinya di Toko Tai-Nam Food Market, Broadway, Chicago. Butuh waktu sekitar setengah jam dengan mobil. Beruntung kami pernah diantar secara langsung oleh Lien Iffah dan Jamaluddin, pasangan yang sudah tinggal di Chicago lebih dari lima tahun. Selanjutnya, kami tinggal membuka peta Google untuk bisa menjangkau tempat tersebut. Butuh waktu sekitar satu jam untuk menuju ke sana dengan menggunakan kendaraan umum berganti-ganti bus.

Sementara soal sayuran, kami mudah saja mendapatinya. Di wilayah tempat tinggal kami, terdapat Hyde Park Produce yang menyediakannya secara lengkap dan murah. Pun untuk telur, kami bisa sedikit bergeser ke Trader Joe’s yang harganya jauh lebih murah dari tempat lainnya hingga pernah kami kehabisan stok di sana, saking larisnya barangkali karena bisa setengah lebih murah dari harga di tempat lain. Jika di tempat kedua itu telur satu lusin bisa dibanderol dengan harga 3 Dolar Amerika, di tempat lain bisa sampai 6 Dolar.

Baca juga:  Potret Ayam Betutu dalam Khazanah Kuliner Bali

Adapun daging-daging halal, kami membelinya di dua toko, yakni Jordan Valley dan Indo Pak Grocery. Dua toko ini adalah di antara sekian toko yang menyediakan dzabihah, yaitu daging hewan ternak, baik ayam, kambing, maupun sapi yang disembelih sesuai dengan tata cara yang dibenarkan syariat. Istilah dzabihah berasal dari bahasa Arab yang berarti sembelihan.

Toko Jordan Valley mudah terjangkau dengan jalan kaki kurang dari 10 menit. Sementara Indo Pak Grocery di bilangan Devon Avenue cukup jauh dari tempat kami tinggal, sekitar lebih dari satu jam perjalanan dengan kendaraan umum.

Temu diaspora

Selain masak sendiri, temu diaspora Indonesia juga menjadi kesempatan yang tak boleh terlewat untuk bisa menikmati masakan kampung halaman. Tentu saja hidangan khas Indonesia menjadi sajian utama dan salah satu tujuan, selain silaturahim dengan saudara sebangsa setanah air.

Bakso tak boleh dilewatkan begitu saja. Kuah panas dan sambal pedas di cuaca yang mulai dingin terasa sangat pas. Ini kami nikmati saat mengikuti upacara Hari Pahlawan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Chicago pada 10 November 2024. Makanan yang sama juga kami nikmati saat pengajian KJRI di Wisma Indonesia di Glenview, Illinois, Amerika Serikat pada Sabtu, 23 November 2024. Tidak hanya bakso, ada siomay, ayam sambal, dan lainnya. Ada pula jajanan seperti pukis dan pai susu.

Kami juga diundang secara khusus oleh Bapak Iskandar, salah satu diaspora yang tinggal di Negara Bagian Indiana. Kami dijemput dan diantar pulang oleh diaspora lainnya yang tinggal berjauhan untuk sampai ke sana. Tuan rumah memasak nasi goreng kambing, sup, olahan udang semuanya khas Nusantara.

Whatsapp Image 2024 11 26 At 07.31.39
‘Pesta Tempe’ di kediaman Lien Iffah, mahasiswa doktoral di The University of Chicago.

Lien Iffah juga pernah mengundang kami untuk ‘Pesta Tempe’. Ya, tempe tidak ditemui di toko mana saja di Chicago ini. Ia bersama suaminya memproduksi sendiri secara khusus untuk bisa kami nikmati. Tempe itu diolah dengan berbagai macam hidangan, mulai oreg hingga bumbu kuning yang dimasak Fetra Nur Hikmah, Pengasuh Pesantren Al-Fithrah Yogyakarta dan Tegar Setiawan, pengurus Pesantren Daarun Najaah Life Skill Semarang.

Baca juga:  Ziarah: dari Makam ke Makam

Ragam pertimbangan

Pilihan masakan sendiri dilatari beragam hal. Pertama, lidah kami yang belum terbiasa dengan masakan luar. Barangkali rekan-rekan yang pernah studi di luar negeri, khususnya di Timur Tengah, sudah terbiasa dengan makanan khas sana yang banyak terdapat di sini sebagai menu halal yang mudah dijumpai. Namun, sayur dan bawang mentah di dalam roti serta mayones terkadang membuat enek hingga muntah. Sebagai salah satu antisipasi kalau-kalau menjumpai menu demikian, saya hampir selalu membawa sambal tabur. Selain kegemaran saya personal pada rasa pedas, juga rasa ini diharapkan mampu menutup rasa-rasa lainnya.

Kedua, masak sendiri merupakan langkah menghemat pengeluaran. Sekali makan di restoran butuh biaya lebih dari 15 dolar paling tidak. Sementara biaya yang sama bisa dikeluarkan untuk beberapa kali makan jika masak sendiri. Terlebih rasa yang sudah bisa disesuaikan dengan lidah sendiri memberikan satu nilai lebih ketimbang harus mencicipi restoran yang belum tahu kesesuaian rasanya.

Hal lain yang entah sengaja atau tidak adalah upaya mengenalkan masakan khas Indonesia. Ungkapan di awal tulisan tentu memberikan rasa penasaran tersendiri bagi Timothy dan sivitas akademika AIC tentang kelezatan masakan Indonesia sehingga ‘santri-santri’-nya merasa lebih nyaman dengan menu yang mereka buat.

Rasa penasaran itu terjawab sudah manakala Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Listyowati mengunjungi kampusnya pada Jumat, 22 November 2024. Pihaknya sengaja memesan menu-menu Indonesia untuk menyambut kehadiran Konjen. Di situ, sivitas AIC menikmati betapa lezatnya rendang, opor, daun singkong yang diolah menjadi sayur khusus, serta sambal, lengkap dengan kerupuk udang. Mereka tampak berbinar menikmati sajian khas Indonesia itu. Konjen juga memberikan kopi Nusantara kepada Timothy.

Baca juga:  Maulidan di Jantung Suku Turkaman, Iran

Kami juga menyediakan gado-gado untuk memeriahkan perayaan ulang tahun ketiga puluh dua rekan Indonesia kami yang tengah studi di Lutheran School of Theology at Chicago (LSTC). Sayur yang direbus sejenak dengan saus kacang memberikan kenikmatan khas Nusantara bagi undangan yang berasal dari Amerika, India, Myanmar, hingga Korea Selatan.

Whatsapp Image 2024 11 26 At 07.32.19
Masakan Indonesia di apartemen Lutheran School of Theology at Chicago.

Gastrodiplomacy

Di situlah letak pertukaran budayanya. Meskipun program kami fokus pada interfaith, tetapi pada hakikatnya tidaklah hanya berkutat pada persoalan agama dan kepercayaan saja. Ada budaya juga yang bertukar. Dan kami tidak sepenuhnya menerima, tetapi juga ada timbal balik yang diberikan sehingga ada kesalingan antara Indonesia dan Amerika di sini, termasuk soal makanan.

Makanan tentu merupakan elemen yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Cita rasa juga membangun nilai tersendiri di dalamnya. Pertukaran menu makanan dalam program interfaith Micro-Credential ini tentu memberikan sentuhan apa yang disebut dengan Gastrodiplomacy, yaitu sebuah upaya kampanye untuk mempererat hubungan masyarakat dan investasi yang terpadu dan berkelanjutan oleh pemerintah dan negara (seringkali bekerja sama dengan aktor non-negara), untuk meningkatkan nilai dan reputasi negara mereka melalui makanan dengan membangun hubungan emosional (Rockower, 2012).

Bagaimanapun, makanan mengandung unsur-unsur yang dapat mendeskripsikan identitas suatu wilayah. Kuliner, sebagaimana disebut Sri Utami (2018), merupakan wahana untuk menyatakan dirinya. Ia sepakat dengan ungkapan, “Kita adalah apa yang kita makan dan yang tidak kita makan”. Kuliner, menurutnya, mampu menghubungkan keterpisahan satu komunitas dengan komunitas lain. Melalui makanan pula, ragam budaya bisa tersebarkan. Makanan menjadi media komunikasi dengan bangsa lain.

Oleh karena itu, masak sendiri di Amerika adalah salah satu pilihan yang tidak lagi sekadar demi menjaga selera dan menghemat biaya. Lebih dari itu, masak menu khas Indonesia di Amerika merupakan satu upaya diplomasi agar hubungan kedua negara dan Masyarakat di dalamnya kian erat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top