
May Day di Surabaya tahun ini penuh aroma minyak kayu putih dan balsem. Bukan karena demo tukang urut, tapi karena aku ada di tengah-tengah barisan ibu-ibu yang juga turun ke jalan. Mereka bukan buruh pabrik dalam bayanganmu pakai seragam, topi, dan sepatu safety tapi mereka buruh kehidupan. Pekerja 24 jam nonstop: dari kantor ke dapur, dari dapur ke ruang rapat RT.
Datang ke demo hanya dengan dua bekal: semangat dan keresahan. Bawa spanduk, bendera organisasi, dan tentu saja bekal mental tahan banting. Ibu-ibu ini yang pagi masak, siang kerja, sore bersih-bersih, malam ikut rapat warga. Nggak tahu lagi, ini manusia atau pasukan khusus?
Beberapa bulan lalu, aku juga ketemu ibu-ibu dari Mojokerto yang hidupnya dikepung aktivitas tambang. Mereka menamai diri sebagai Srikandi Mojopahit. Datang ke Surabaya bukan buat wisata kuliner, tapi buat mengadu. Rumah mereka retak, sungai keruh, bukit makin botak. Mereka mengadu ke WALHI Jatim, lalu dibuatkan forum diskusi (FGD) bareng para pemangku kepentingan dan aktivis lingkungan di Jawa Timur.
Keluhan mereka didengar, tapi seperti biasa jawabannya dilempar ke sana-sini. Dinas A bilang ini ranah Dinas B. Dinas B lempar ke C. Aku rasa, kalau lempar-lemparan ini dipertandingkan, dinas-dinas kita bisa ikut SEA Games cabang lempar tanggung jawab. Tapi Srikandi Mojopahit tidak menyerah. Mereka menyurati dinas-dinas, ikut audiensi, hasilnya? Janji-janji dan lemparan tanggung jawab. Mereka memang bukan pejabat, tapi mereka paham betul: kalau air sudah hilang, sawah gagal panen, siapa yang mikir dapur tetap ngebul?
Masalahnya, bukan cuma di Mojokerto. Di Surabaya juga ada ibu-ibu yang gercep cari solusi soal limbah dapur. Mereka bikin lilin aromaterapi dari minyak jelantah. Sampah berkurang, penghasilan bertambah. tidak pake anggaran APBD, tidak nunggu hibah, tapi efeknya nyata. Kok negara kalah keren sama ibu-ibu ini ya?
Lingkungan Rusak, Perempuan Kena Getahnya
Perempuan-perempuan tersebut paham betul, lingkungan rusak itu bukan kutukan, tapi akibat. Akibat izin tambang yang diloloskan, akibat pembangunan yang serampangan. Mereka paham, air bersih yang makin langka itu bakal jadi bencana untuk kehidupan mulai dari masak sampai bersuci. Belum lagi, dampaknya ke kesehatan reproduksi dan anak-anak mereka.
Kalau air kotor dan tanah rusak, ibu-ibu ini harus mikir dua kali buat sekadar masak sayur lodeh.
Belum selesai urusan lingkungan, di May Day ibu-ibu buruh juga bersuara soal tempat kerja. Tentang diskriminasi, beban ganda, dan lingkungan kerja yang tidak sehat. Mereka ini kerja bukan buat gaya-gayaan, tapi buat bayar sekolah anak, beli susu, dan nabung kalau bisa. Tapi kadang, kantor justru jadi tempat stress, bukan tempat cari rejeki.
Seorang temanku yang lulusan psikologi pernah bilang: “Mood kerjaan yang buruk bisa kebawa ke rumah. Suami habis dimaki bos, pulang ke rumah bisa jadi galak, bahkan kasar. Korbannya siapa? Istri, anak.”
Lingkungan sosial dan alam yang rusak bukan karena takdir, tapi karena kita ngizinin kerusakan itu terjadi, sambil senyum. Lalu jika perempuan sudah seberjuang itu, dimana peran pemerintah? pemerintah lagi sibuk bikin RUU dan MBG, tapi sebagian lainnya juga berjuang demi kesejahteraan rakyatnya (InsyaAllah).
Kalau Bumi Butuh Penyembuh
Di tengah kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan kekerasan negara terhadap warganya terutama perempuan masih ada ibu-ibu yang memilih untuk merawat. Mereka bukan pejabat, tak punya akses kekuasaan, tapi mereka turun ke jalan, ke ladang, ke dapur, ke ruang komunitas. Mereka bersuara tanpa pengeras, tapi terdengar karena tumbuh dari empati dan luka yang panjang.
Kalau bumi perlu penyembuh, perempuan udah dari dulu nyembuhin. Ibu-ibu ini nggak punya jabatan tapi punya tekad dan perasaan. Mereka nggak punya mic, tapi sekali bertindak, suara-suara mereka nyampe ke hati.
Mungkin kita nggak butuh pahlawan, cukup jangan ganggu para perempuan yang sedang menanam di tanah yang luka ini. Sesekali bantu mereka menyiram juga, nggak dosa kok. Karena kalau Ibu Bumi udah luka, dan ibu manusia juga terus terluka, sebenarnya kita ini anak siapa, sih?