“Apakah hukumnya mentraktir teman?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari seorang jamaah sesaat setelah pengajian selesai diselenggarakan.
Momen tanya-jawab seperti tadi antara ustadz dan jama’ah memang sudah tergolong biasa bahkan menjadi momen wajib setelah kajian. Bahkan di era digital seperti sekarang, pertanyaan juga dapat diajukan melalui platform daring yang disediakan oleh para penyelenggara kajian. Jika malu untuk menanyakan sesuatu pun, kita dapat menggunakan nama samaran. Namun pertanyaan-pertanyaan yang muncul kini semakin beragam dan kompleks, masyarakat mulai menanyakan fatwa segala sesuatu dari hal yang sangat sepele sampai isu reguler yang setiap tahun ada, contohnya hukum merayakan Maulid Nabi, Hari Ibu, dan sebagainya.
Seperti pertanyaan hukum mentraktir teman tadi, mungkin ini hal yang remeh temeh, bahkan mungkin sebagian yg melihat postingan ini tertawa atas pertanyaan salah satu jama’ah tersebut. Namun pertanyaan sesepele itu mungkin bisa jadi bumerang bagi pendakwah bahkan selanjutnya bisa memunculkan perdebatan yang sangat sengit bagi halayak umum. Tak jarang, banyak dai yang tergesa-gesa, lalu kepleset dan video nya pun tersebar di berbagai kanal sosial media.
Menjawab pertanyaan sesepele itu kadang diperlukan jawaban yang cerdas dan tarbawi, sehingga ‘pertanyaan yg melukai kecerdasan anak SD’ tersebut tidak terulang lagi, karena Islam bukan sekadar halal-haram tapi sejatinya mudah dan memudahkan, landasannya tentu harus didasarkan tidak hanya pada manfaat kepada diri sendiri tapi juga orang lain seluas-luasnya. Lebih lanjut, kita harus menyadari bahwa semua amal itu bergantung pada niatnya: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Kedudukan niat dalam Islam sangatlah diperhitungkan. Saat perhitungan amal di Yaumul Hisab, hanya niat yang menjadi penentu apakah amal tersebut masuk ke dalam amal baik atau amal buruk. Pun ketika ada seseorang yang sudah berniat melakukan kemaksiatan tetapi urung melakukannya, ia akan mendapatkan pahala dari Allah karena telah mengurungkan niatnya.
“Dan bila seseorang berniat melakukan suatu kejahatan lalu ia tidak melaksanakan, Allah akan mencatat pahalanya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan sempurna, dan bila ia berniat melakukan suatu kejahatan kemudian melaksanakannya pula, maka Allah akan mencatatnya di sisi-Nya sebagai satu kejahatan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kembali kepada menyeruaknya pertanyaan-pertanyaan yang kompleks di zaman media sosial, salah satu faktor pemicunya antara lain kemudahan mendapatkan informasi melalui mesin pencari seperti Google, Yahoo! Search, dan sebagainya.
Terlebih bagi masyarakat urban yang tidak mendalami pendidikan keagamaan mendalam, mereka yang baru menyadari pentingnya mempelajari Islam kemudian ‘nyantri’ melalui platform YouTube hingga Instagram. Secara sederhananya, keterbatasan waktu serta akses akhirnya mendorong ‘kemalasan’ dan menghalangi kegigihan umat untuk menuntut ilmu agama secara komprehensif.
Bahkan menurut Syekh Muhammad Nuruddin Marbu Albanjari, fenomena ini bisa disebut sebagai penyakit umat Islam, sebab karena dengan dalih malas, semuanya menjadi tertangguh, termasuk dalam belajar Islam. Alih-alih berhati-hati dalam belajar, yang ada justru semua tindakan ingin diketahui hukumnya secara mudah, cepat, dan tanpa repot-repot.
Pernah suatu hari ketika berada di kelas, saya ditegur oleh dosen saya, Syekh Doktor Syarofuddin Al Azhary untuk berpikir sebelum bertanya. Karena tak jarang, kita banyak bertanya karena malas membaca dan mencari kebenarannya. Beliau juga menasihati kami bahwa ketika kita mempunyai pertanyaan dan tidak mencari tahu jawaban tentang pertanyaan tersebut maka itu merupakan sebuah musibah. Sebab ketidakmauan untuk mencari jawaban tersebut bukan lain adalah rasa malas.
Dalam kitab ‘Mengapa Kaum Muslimin Mundur’, karya Amir Syukaib, seorang intelektual pada abad ke 14, dijelaskan secara rinci bagaimana keterbelakangan umat dilatarbelakangi salah satunya oleh faktor kemalasan, termasuk dalam hal berpikir secara cermat, sehingga yang terjadi sekarang adalah muslim zaman now hanya dapat membangga-banggakan sejarah kemuliaan, perjuangan, dan pergerakan umat terdahulu tanpa menyadari bahwa mereka kini terlena oleh kejayaan masa lampau, dan tak mau melakukan hal yang sama untuk mengembalikan kejayaan yang sebelumnya telah terukir nyata.
Apakah benar kemunduran Islam ini faktor terbesarnya adalah kemalasan? Sebab di atas tidak disinggung faktor-faktor lainnya. Benarkah jika saya katakan bahwa faktor (terbesar) lainnya adalah hegemoni Barat atas negara-negara Islam serta globalisasi yang menyebabkan paham-paham seperti sekularisme dan liberalisme mudah masuk ke kepala umat?