Fitrilya Anjarasari
Penulis Kolom

Alumnus s2 Ilmu Sastra UGM. Pemilik dan pengelola channel Youtube: Philosophical Pimp. Ideas contributor dan reviewer di AEON: Philosophy Magazine dan Epoche: Philosophy Monthly. Menekuni kajian trauma study, cognitive neuroscience dan political philosophy.

Nenek yang Diasingkan dalam The Red Riding Hood

Dongeng anak seperti The Red Riding Hood, yang mungkin kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ‘Gadis Berkerudung Merah’, ceritanya sudahlah tidak asing lagi bagi anak-anak ataupun dewasa. Cerita ini juga sudah banyak diadopsi ke dalam film baik animasi maupun aksi.

Kisahnya mengenai seorang anak yang membantu ibunya mengirim makanan pada neneknya yang tinggal di tengah hutan, kemudian dia bertemu serigala yang ingin memakannya. Menggunakan strategi yang licik, serigala tersebut memakan neneknya terlebih dahulu dan bersembunyi untuk menyergap si anak kecil yang pergi dengan menggunakan kerudung merah itu. Garis besar dari ceritanya adalah seperti itu, walaupun dalam beberapa adaptasi ada yang mengubahnya menjadi film dengan genre horror ataupun romance.

Sekilas tidak ada yang aneh dari cerita tersebut, anak-anak dan dewasa mengerti bahwa gadis berkerudung merah merupakan anak baik yang ingin menengok neneknya dan serigala merupakan sosok jahat yang ingin memangsanya.

Seringkali dalam menikmati sebuah karya, kita terpaku untuk melihat mana yang baik dan mana yang jahat namun sedikit memperhatikan apa yang ada di lingkungan sosial, kita bisa mendapatkan sebuah sudut pandang baru untuk menelusuri sebuah pesan tersembunyi dari cerita yang terlihat begitu sederhana.

Dengan sudut pandang yang baru, kita harus melihat bahwa yang paling penting dalam cerita tersebut adalah perjalanan dari Gadis berkerudung merah ke rumah neneknya di tengah hutan. Dari situ sudah muncul sebuah pertanyaan: Mengapa neneknya tinggal sendirian di tengah hutan? Mengapa tidak tinggal bersama atau setidaknya di dekat rumah ibunya gadis berkerudung merah ?

Baca juga:  Memilih Nama Bayi dan Negosiasi Takdir

Dengan mempertanyakan tempat tinggal sang nenek di tengah hutan, kita diajak berpikir mengenai realitas yang ada di sekitar kita yaitu relasi antara orangtua yang sudah sepuh dengan anak dan keluarga sang anak. Sudah bukan hal yang baru lagi kita mendengar atau membaca berita orangtua yang sudah lanjut usia kemudian ditinggalkan anaknya di panti karena sang anak terlalu sibuk dengan kerjaannya (misalnya).

Dalam cerita yang lebih tragis lagi, orangtua yang sudah sedikit pikun bahkan ditinggalkan di jalan yang jauh dari rumah dan dibiarkan begitu saja.

Dalam beberapa kasus dan juga cerita dari panti jompo yang sempat saya singgahi, rata-rata anak mereka yang menitipkan mereka di situ mengatakan bahwa mereka terlalu sibuk dan terbebani dengan tanggung jawab dari pekerjaan dan juga membesarkan, mengurus anak-anak mereka.

Akan lebih merepotkan lagi jika ditambah mengurusi kebutuhan orangtua yang sudah sepuh dan menuntut banyak perhatian. Sebagian bercerita sambil menangis, sebagian mengutuk dan menyesali telah melahirkan anaknya ke dunia, dan sebagian lagi menerima dengan lapang dada mengatakan bahwa memang sudah tugas seorang ibu yang terus memahami dan mengerti anaknya.

Masa tua bisa menjadi sebuah masa yang menyenangkan di mana seseorang emmasuki masa pensiun dan akan lebih memiliki banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga yang disayang dan menyayangi. Di lain sisi, masa tua bisa menjadi sesuatu yang menakutkan di mana seorang harus kehilangan sebagian besar daya tahan tubuh dan menjadi lebih sering sakit, penurunan fungsi badannya yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas seperti dulu, bahkan juga penurunan daya ingat.

Setiap manusia memiliki rasa khawatir akan kehilangan kekuatan tubuh, karena dia akan lebih banyak bergantung pada orang lain, dalam kasus orangtua tentu bergantung pada anaknya.

Rasa khawatir ini sesungguhnya sudah diproduksi jauh sebelum masa tua dan pensiun itu datang. Misalnya, pada saat usia paruh baya, seringkali akan muncul ketakutan apakah anak mereka nanti akan menyayangi mereka di masa tua dan tidak mengasingkan mereka.

Baca juga:  Keraton Agung Sejagat dan Ciri Berpikir Jawa

Islam juga mengingatkan kepada kita untuk senantiasa berbuat baik kepada orangtua kita. Maka seharusnya dan sebaiknya pengasingan terhadap orangtua dalam bentuk apa pun, tidak akan terjadi lagi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top