Tahun 1990, usia Kiai Abdurrahmad Wahid atau Gus Dur menapaki kepala lima–Gus Dur lahir di Jombang tanggal 4 Agustus (versi lain 7 September) 1940. Usia 50 tahun belum begitu “pantas” disebut tua, tapi jelas sudah tidak muda lagi. Kondisi fisik Gus Dur, tahun 1990an awal tampak makin tambun dan penglihatannya makin payah.
Tapi mobilitas dan “ujian” Gus Dur sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, sebagai aktivis demokrasi, sebagai intelektual mulai tahun 1990an meningkat tajam.
Sebelum tahun 1990, dinamika Gus Dur lebih banyak di internal NU. Tahun 1980an, tepatnya setelah terpilih jadi ketua umum PBNU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur lebih banyak konsolidasi internal, beradaptasi sebagai ketua umum, memperkenalkan diri lewat mengisi ceramah, dan tak ketinggalan silaturahim dari satu kiai ke kiai lain, pergi dari satu pesantren ke pesantren lain, ziarah dari satu kuburan ke kuburan lain. Kegiatannya di luar NU, pada masa itu, lebih banyak di NGO, dan tentu saja rajin mengeluarkan esai-esai cemerlang di banyak media.
Sejek itu, nama Gus Dur makin dikenal di tengah masyarakat pesantren dan jemaah NU, meski sempat terjadi “keributan” sebab pernyataan “selamat pagi”, kritik Islam modernis karena akrab dengan tokoh nonmuslim, protes kiai-kiai karena sering ceramah di geraja, dan sempat digoyong di Munas NU di Cilacap tahun 1987. Sebelum Munas, Gus Dur bersilang pendapat secara terbuka dengan seniornya: Mahbub Djunaidi.
Posisi Gus Dur di NU makin kokoh pasca terpilih lagi secara aklamasi sebagai Ketua Umum PBNU di Muktamar Krapyak, Jogjakarta, Nopember 1989. Kiai-kiai berpengaruh tetap mendukung Gus Dur, semisal Kiai Ali Maksum Krapyak (1970an Kiai Ali membela Subhan ZE yang kontroversi). Gus Dur tetap mendapat dukungan karena, kelihaiannya berargumentasi, faktor cucu KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri tentu tidak bisa dikesampingkan. Satu buku berjudul “Sebuah Dialog Mencari Kejelasan; Gus Dur Diadili Kiai-Kiai” (disunting Kiai Imron Hamzah dan Chairul Anam. Diterbitkan Jawa Pos, 1989) merekam dinamika Gus Dur di awal-awal memimpin NU.
Problem-problem Gus Dur era 1980an, bagi saya adalah hanya semacam “pemanasan”. Problem atau ujian sesungguhnya dihadapi oleh Gus Dur terjadi di era 1990an. Menapaki tahun 1990, Gus Dur seperti tidak pernah beristirahat.
Memasuki era 1990an, Gus Dur bekerja keras, mengatasi masalah yang datang silih berganti. Saya rasa, setelah kepergian ayahandanya tahun 1953, inilah hari-hari terberat Gus Dur.
***
Tahun 1990, bulan Nopember, Gus Dur kehilangan seorang kiai yang telah mempromosikannya di Muktamar NU 1984: Kiai As’ad Syamsul Arifin. Betapapun Kiai As’ad telah menarik dukungannya, Gus Dur sungguh kehilangan. Kiai As’ad guru ruhani dari ratusan ribuan masyarakat santri. Selain itu, Kiai As’ad adalah sedikit kiai yang masih bertemu langsung dengan Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari. Konon, Gus Durlah yang minta pembacaan surat al-Fatihah untuk Kiai As’ad untuk memulai konser besar Kantata Takwa di Surabaya tahun 1991.
Desember 1990, rezim Orde Baru mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Malang. Organisasi yang dikomandoi BJ Habibie ini menghimpun kekuatan intelektual muslim modernis. Para tokoh yang bergabung di ICMI, umumnya adalah orang-orang yang selama ini berpandangan miring terhadap NU.
Gus Dur menentang keras dengan mengatakan bahwa ICMI tak lebih dari organisasi sektarian. Bahkan menuduh para intelektual yang di sana sebagai “intelektual tukang”. Kritik ini membuat merah telinga elit ICMI.
Sebelum itu, Gus Dur ditentang keras oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam lantaran dinilai membela tabloid Monitor yang telah melansir hasil survey sensasional. Survey ini menempatkan Nabi Muhammadi di urutan kesebelas, di bawah Kiai Zainuddin MZ, Soeharto, dll. Bahkan, sahabatnya –seperti dalam catatan berjudul Jembatan Budaya Itu bernama Gus Dur— Nurcholis Madjid ikut-ikutan menentang Gus Dur. Di sebuah majalah Editor, Gus Dur menulis esai pembelaan diri dengan jernih, judulnya “Kasus Gila dan Gila Kasus”.
Tahun 1991, Gus Dur kembali berduka. Rais Aam PBNU, Kiai Achmad Shiddiq wafat pada Januari 1991. Gus Dur mengenang kiai dari Jember ini dengan satu esai obituari bernada takzim dan kesedihan, di koran Kompas. Posisi Kiai Achmad Shiddiq digantikan oleh ulama dari Bugis, Kiai Ali Yafie.
Di Tahun 1991, Gus Dur didapuk memimpin Forum Demokrasi (Fordem). Ini bukan jabatan empuk. Gus Dur menjadi ketua berarti diminta berdiri paling depan menghadapi rezim Orde Baru yang makin mencekik kehidupan demokrasi.
Awal tahun 1992, Gus Dur agak sedikit lega dan terhibur dengan Munas NU di Bandar Lampung. Tiap aktivis NU, jika ada gawe besar pasti senang, karena akan ketemu banyak orang dalam suasana yang guyub dan santai.
Sayangnya, di forum itu Gus Dur harus menelan “pil pahit” dengan mundurnya Kiai Ali Yafie dari Rais Aam PBNU, lantaran ketidakcocokan pendapat dengan dirinya terkait SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). (Bersambung)