Pada tahun 1964, Jacques Ellul menulis buku yang sangat fenomenal, berjudul The Technology Soceity. Lalu Erich Formm, juga menulis The Revolution of Hope: Towards a Humanized Technology empat tahun setelahnya. Kedua buku ini meramalkan akan datang era melenial yang serba digital dan arus informasi begitu cepat. Jika hal itu tak diantisipasi oleh dunia pendidikan kita, maka perubahan yang terjadi bisa dipastikan akan mengarah pada krisis moral dan dehumanisasi. Saat negera lain sudah mengantisipasi sedemikian rupa, kita sekarang baru tergagap dan sadar. Benar, kini krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini.
Hampir semua elemen bangsa juga merasakannya. Masyarakat akan terserat pada cara pandang yang parsial, kulit luar dan cenderung reduksionistik. Dampak lain yang mengerikan adalah tampilnya sejumlah masyarakat yang berlebihan pada politik kekuasaan. Orang semacam ini akan bertebar dimana-mana, baik di dunia nyata maupun maya, terutama di kota-kota besar. Maraknya hoak dan fitnah seakan menjadi pelengkap informasi dan media. Bahkan jenjang akademik, seperti doktor dan profesor tak jauh beda dengan yang hanya lulusan SD ketika bermedsos.
Dampak lain yang menyedihkan, tiap hari kita disuguhi berita korupsi dan sejumlah kasus mafia hukum yang kelewat batas, alur dan konfliknya nyaris menyamai sebuah fiksi; perselingkuhan antara pengusaha plat merah dengan staf ahli menteri, bahkan dengan pegawai golongan rendahan, lengkap dengan adegan gratifikasi jasa seksual. Aparat penegak hukum diadili. Satgas Mafia diawasi. Tim penyelidik diselidiki, dan seterusnya, seakan tak ada habisnya. Belum lagi kasus kasus korupsi atas nama hibah, bakti sosial, jatah pendampingan anggota dewan dan lain sebagainya, yang selalu saja susul-menyusul.
Menyelami negeri Indonesia kini seolah kita sedang berkaca pada cermin yang retak. Sebuah negeri yang sungguh sangat ganjil. Bahkan keganjilan demi keganjilan sudah melampaui dunia fiksi. Belum lupa, peristiwa yang miris begitu menohok hidung dunia pendidikan kita; seorang guru dan kepala Sekolah Dasar (SD) telah membuat skenario bagaimana murid-muridnya berbuat curang di Ujian Nasional (UN) dengan mengintruksi nyontek massal, dan seorang wali murid yang melaporkan kecurangan itu kemudian dihujat massa, bahkan terpaksa tersingkir dari tempat tinggalnya, karena ia telah menyuarakan hati nuraninya. Bukankah ini cukup sebagai bukti, babak-belur sudah negeri ini. Lantas bagaimana dengan nasib generasi bangsa ini, bila apa yang dipertontonkan adalah mental-mental keculasan, kemunafikan, dan ketidakjujuran?
Inikah fenomena yang dihasilkan dari perjalanan dunia pendidikan kita yang cukup panjang? Sesungguhnya baik buruknya nasib pendidikan kita menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Dengan demikian, perlu kiranya kita berbenah diri untuk memutus mata rantai “warisan” sosial dengan mentalitas “curang”, budaya menerabas, tidak adanya kepercayaan diri (kemandirian) dengan laku segala cara sebagai produk dari desain pendidikan kita. Karena sesungguhnya mentalitas “warisan” curang seperti itulah yang menjadi akar penyakit bangsa ini. Sehingga tak pelak kini, kita temukan erlimpahnya kasus amoral, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) massal dan kebusukan yang disuguhkan sehari-hari dihadapan kita.
Mengapa seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan luka dan sakit akutnya? Justru sebaliknya, bangsa ini makin dijangkiti virus yang ‘melumpuhkan’ itu. Sebagai bahan renungan, agaknya semua ini terlanjur terjadi, rela tak rela kita boleh mengkaitkan dengan rendahnya pengajaran (apresiasi) sastra di sekolah. Mengapa demikian? Karena sastra mengasah rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Bukankah itu cikal bakal moral? Dan sekolahan adalah peletak batu pertama pembentuk watak dan kepribadian seseorang.
Rasanya para pendidik negeri ini telah begitu lama mengabaikan, bahkan nyaris tak peduli dengan pendidikan sastra yang memadai kepada anak didik kita. Tidak percaya? Mari kita buktikan satu-persatu. Pertama, dimulai dari kepedulian orangtua untuk mengajarkan sastra kepada anaknya, harus diakui tradisi mendongeng orangtua kepada anaknya, yang sudah turun-temurun di miliki negeri ini, kini sudah semakin mengikis di masyarakat. Orangtua lebih mementingkan anaknya agar bisa cepat berhitung, dan mengerti basaha asing misalnya, ketimbang anak disuguhi segudang buku cerita (sastra anak). Bukti itu diperkuat dengan fenomena orang tua berlomba-lomba mencari pendidikan usia dini yang cenderung mengasah otak kirinya, daripada otak kanan, lalu mencari bahkan merasa punya gengsi tinggi seperti lembaga pendidikan yang sering ada embel-embelnya Internasional, dan semacamnya.
Kedua, kami boleh taruhan, jika diadakan penelitian ke seluruh pelosok negeri ini terkait pendidikan usia dini, tak bakal ditemukan pendidikan yang berbasis sastra secara ideal. Kalaupun itu ada, barangkali hanya akan ditemukan satu atau dua saja, sebutlah seperti lembaga pendidikan usia-dini; Rumah Dongeng, yang dirintis dan diasuh alamrhum budayawan Kakwes yang berada di Yogyakarta (Kota Gede). Tapi siapa yang peduli dengan model pendidikan macam beginian?
Ketiga, sampai saat ini porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang mumpuni di sekolah-sekolah juga sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal.
Keempat, penelitian Taufik Ismail di tahun 1997-2005 menunjukkan betapa sastra tidak diperkenalkan pada siswa-siswi hingga mereka menyelesaikan SMA. Menurut Taufik Ismail, sebagian besar siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan NOL karya! Betapa mengenaskannya nasib sastra dalam pendidikan kita, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia misalnya, mewajibkan 6 judul karya, Swiss dan Jepang 15 judul, dan Amerika Serikat 32 judul. Misalnya lagi, betapa siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan siswa-siswa di Indonesia sendiri justru hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.
Contoh lain, di Jepang misalnya, pemerintah mewajibkan semua siswa-siswi untuk mempelajari sastra klasik sejak SMP. Anak didik disana setingkat SMP, sudah hapal di luar kepala Hikayat Genji, sebuah karya sastra kuno yang jika di tanah air mirip dengan Pappangajana Abdul Bada, I La Galigo, Dua Belas Gurindam, Serat Centini, Serat Wedhatama, Serat Pepali Ki Ageng Selo, dan Serat Wulung Dharma, namun, di negeri ini, siswa SMP mana yang hapal dan paham dengan karya sastra kuno itu?
Kelima, dalam mimbar kebudayaan Sastra dan Revolusi di Yogyakarta pada Juli 2010 lalu, Max Lane, penerjemah sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris, mengatakan, “Indonesia adalah satu-satunya negera di dunia yang tidak memasukkan sastra sebagai mata pelajaran wajib di pendidikan menengah!”. Bandingkan lagi, jika kita merunut pada masa silam, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. Dan sekarang? Jelas tidak lagi penurunan, tapi hampir saja peniadaan! Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini. Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa di negeri ini berjubalnya prilaku a-moral di segala lini kehidupan.
Kelima fakta di atas sudah cukup menunjukkan bahwa negeri ini memang sungguh sangat ganjil, karena itu, kini kitapun menuai hasil dari keganjilannya.. Kenapa demikian? Sekali lagi, karena sastra mengajarkan kehidupan dari sisi yang berbeda, ketika orang mulai bosan dengan doktrin-doktrin hitam-putih, maka sastra dapat menjadi solusi untuk tetap menanamkan budi pekerti yang luhur pada generasi bangsa. Oleh karenanya, seorang tokoh legendaris Umar ibn Khattab, pernah berwasiat kepada rakyartnya: “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani.”
Perkataan Umar itu tak berlebihan, sebab di dalam sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.
Bahkan, menurut Thaha Husain (Tokoh Pendidikan Mesir) dalam muqadimah kitabnya Fi Syiir al-Jahili, menyebutkan bahwa semua kitab suci adalah karya sastra, sebab selain unsur estetik-bahasanya, lebih dari sepertiga isi kitab suci adalah penuturan kisah yang mempunyai plot dan alur mengejutkan. Karenanya bagi Thaha Husain mengajarkan sastra kepada anak juga secara otomatis mengajarkan nilai-nilai kitab suci (moralitas).
Selain itu, karya sastra merupakan sebuah dialog yang menolak adanya keasingan, ketidakjujuran dan penindasan. Yusuf Qardawi dalam bukunya Islam wa al-Funun pun berpendapat, bahwa hanya sastra (seni)-lah yang bisa memenuhi hajat ruhani, pemuas logika, pembangun jiwa, pemberi kenikmatan rasa, dan pengasah spiritual. Karenaya ia beragumentasi, bawa sastra adalah penyambung lidah kitab suci, yang akan membantu menjabarkan isi dari kalam Tuhan yang perlu diperhatikan manusia. Sekarang, jika kita meyakini bahwa dengan karya sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral, apa salahnya jika kita mengevaluasi sekali lagi sistem pendidikan kita? Atau kita biarkan generasi muda tak mengenal sastra dan kita biarkan kelak meraka menjadi koruptor lagi? (Wallahu’alam bisshawab)
(Disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Pendidikan Nasional, bertempat di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2 Mei 2019)