“Abu Tsa’labah sangat serius belajar agama hingga ia menjadi salah satu ulama dari kalangan sahabat yang diperhitungkan. Termasuk keistimewaanya adalah ia suka mempelajari hal-hal yang terjadi dan bertanya sesuatu yang terjadi di daerahnya kepada baginda nabi.”[1]
-Muhammad Ibrahim bin Said al-Farisi
Abu Tsa’labah adalah seorang sahabat nabi yang agung. Ia bernama Jursum bin Ali, sesuai riwayat yang dikisahkan. Ada juga yang menyebutnya Jurhum dan beberapa versi lain. itulah mengapa bisa disebut bahwa namanya dan nama ayahnya menjadi salah satu perdebatan serius dalam kalangan ulama.[2] Ia dari Bani Khusyain, sebuah kabilah dari suku Qudha’ah di Syam. Mereka adalah komunitas yang tediri dari Ahlul Kitab.
Abu Tsa’labah termasuk orang yang alim, cerdas, ahli ibadah, seorang yang selalu mengajak kepada Allah Swt., pemberani, memiliki pekerti dan karakter yang baik dan sosok yang dihomati oleh keluarga dan komunitasnya.
Ia masuk Islam pada tahun keenam dari Hijrah, konon ia menemui nabi saat nabi hendak menyiapkan pasukan menuju perang Khaibar.[3] Dalam versi lain, ia mendatangi nabi saat beliau mempersiapkan perang Hunain. Pendapat terakhir ini adalah pendapat sebagaimana tercantum dalam Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal.[4]
Ia juga mengikuti Baiat Ridhwan dan pada tahun ketujuh ia ikut perang Khaibar bersama nabi. Pada tahun kedelapan ia oleh nabi diutus ke kaumnya di Syam.[5] Beberapa saat kemudian banyak komunitasnya masuk Islam dan diajak bertemu nabi di Madinah. Menurut satu pendapat, yang menemui nabi ada tujuh orang. Pendapat lain mengatakan ada sepuluh orang.
Abu Tsa’labah dikenal sebagai sahabat yang semangat dalam menimba ilmu kepada nabi bahkan ia bisa disebut sebagai ulama dari kalangan sahabat. Ia meriwayatkan hadis dari nabi dan beberapa pembesar tokoh sahabat seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal. Pada gilirannya ia menjadi sumber para tabiin untuk meriwayatkan hadis.
Termasuk keistimewaan Abu Tsa’labah dalam menimba ilmu kepada nabi selain ketekunannya adalah ia sering bertanya tentang hal-hal yang terjadi di daerahnya dan yang menjadi pengalaman personalnya. Dari itu, nabi memiliki firasat baik atas ketulusan Abu Tsa’labah. Tiap pertanyaan Abu Tsa’labah pasti direspons oleh Nabi. Bahkan kadang-kadang nabi memberi pujian, kabar gembira dan memberi motivasi untuk dirinya.
Salah satu hadis yang diriwayatkan Abu Tsa’labah dan bisa dijadkan bukti kecerdasan dan kedekatannya dengan nabi adalah hadis berikut:
سَمِعْتُ الْخُشَنِيَّ، يَقُولُ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي بِمَا يَحِلُّ لِي، وَيُحَرَّمُ عَلَيَّ، قَالَ: فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ، فَقَالَ: «الْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَا لَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُونَ وَقَالَ: «لَا تَقْرَبْ لَحْمَ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ، وَلَا ذَا نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ”
“Aku mendengar al-Khusaniy berkata: “Wahai Rasulullah! Ceritakanlah kepadaku apa yang halal dan yang haram bagiku? Lalu nabi menarik nafas dan memandangiku dengan serius seraya berkata: “Kebaikan adalah yang menenangkan dirimu dan menenangkan hatimu sementara dosa adalah yang membuat jiwamu dan hatimu tak tenang sekalipun memberi fatwa orang yang memberi fatwa”. Lalu nabi berkata kembali: “Janganlah dekati daging himar peliharaan dan tiap hewan yang memiliki cakar dari binatang buas”.
Petikan dialog ini menjadi bukti kongkrit tingginya nilai keimanan Abu Tsa’labah. Alasannya bahwa dialog dalam hadis ini tidak diarahkan kepada semua orang muslim tetapi untuk Abu Tsa’labah saja. Dan standart baik dan buruk pada dialog di atas khusus untuk masalah-masalah yang tidak dikomentari oleh teks atau hukum dalam syariat Islam. Intinya, percakapan nabi dengan Abu Tsa’labah adalah percakapan akademik tinggi.
Pasca kewafatan nabi, Abu Tsa’labah pergi dan tinggal d Syam untuk berdakwah. Ia diikuti beberapa orang pencari ilmu untuk belajar kepadanya. Yang khas dari Abu Tsa’labah ini, sebagaimana kesaksian beberapa ulama adalah: Ketika ia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya, seperti Abu Ubaidah, Muadz ia tak segan untuk menimba ilmu; jika bertemu dengan orang yang satu level dalam keilmuan ia segera mengajak diskusi dan ia tipikal orang yang serius mengajarkan ilmu berupa hadis dan hukum kepada orang lain.
Hal di atas adalah pekerti yang baik seorang berilmu. Ibnu Dinar[6] pernah mengomentari sikap Abu Tsa’labah di atas:
“orang berilmu zaman dulu jika bertemu dengan orang lain yang lebih alim maka ia akan menambah ilmu dengan banyak bertanya kepadanya; jika bertemu dengan yang satu level maka keduanya akan saling berdiskusi; jika bertemu dengan orang yang lebih rendah ilmunya mereka tak bersikap sombong.
sementara orang berilmu hari ini: jika bertemu dengan yang lebih alim ia abai sehingga orang mengira ia tak memiliki keperluan kepada orang alim tersebut; jika bertemu dengan yang satu level keduanya tak berdiskusi; dan jika bertemu dengan yang lebih rendah ilmunya ia akan bersikap angkuh dan sombong.”
Abu Tsa’labah termasuk sahabat yang ahli ibadah (ubbadus shahabah). Menurut Abu Nuaim, tiap malam Abu Tsa’labah keluar dari kediamannya dan memandang langit. Lalu ia merenung tentang kebesaran Allah Swt setelah itu ia masuk Kembali ke kediamannya untuk kemudian sujud kepada Allah Swt. (salat).
Terkait kematiannya, salah seorang murid Abu Tsa’labah yang bernama Abu Zahiriyah memberi kesaksian. Menurutnya, ia pernah mendengar Abu Tsa’labah berkata:
“Aku tak ingin mati sebagamana kalian mati”
Maka benar saja, Abu Tsa’labah wafat dalam keadaan sujud. Ibnu Asakir dalam Tarikh al-Damasyq memberi kesaksian:
فبينما هو يصلي في جوف الليل قبض وهو ساجد فرأت ابنته أن أباها قد مات فاستيقظت فزعة فنادت أمها أين أبي قالت قي مصلاه فنادته فلم يجبها فأنبهته فوجدته ساجدا فحركته فوقع لجنبه ميتا
“Ketika Abu Tsa’labah salat di tengah malam dalam waktu yang bersamaan, seorang putrinya sedang bermimpi bahwa sang ayahanda wafat. Ia bangun seketika dan memanggil ibunya untuk bertanya kondisi sang ayah. Ibunya menjawab bahwa Abu Tsa’labah ada di mihrab tempat ia biasa salat. Anak perempuan itu memanggil sang ayah dan tak kunjung direspons. Lalu ia tak tahan dan menuju tempat salat. Dan benar, Abu Tsa’labah wafat dalam keadaan bersujud. Anaknya menggerak-gerakan sang ayah dan ia jatuh terbaring dalam keadaan sudah meninggal”.[7]
Abu Tsa’labah, sahabat nabi yang pernah dipuji keilmuan dan kesungguhannya dalam belajar wafat pada tahun 75 Hijiryah di Era-era awal Khalifah Abdul Malik bin Marwan.[8][]
Daftar Pustaka
[1] Muhammad Ibrahim bin Sa’id al-Farisi, Man Tuwuffiya Minal Ulama Wahuwa Sajidun, (Dubai: Islamic Affairs & Charitable Activities Departement, 2015), halaman 54.
[2] Abu Umar al-Qurthubi, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), juz 4, halaman 1618. Yusuf al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal melansir ada sekitar sepuluh – atau bahkan lebih–versi terkait nama Abu Tsa’labah. Sehingga tak heran ulama sampai menyebut bahwa terkait nama beliau, ulama berbeda dengan sangat (ikhtilafan syadidan). Selengkapnya simak: Yusuf al-Mizzi, al-Kamil Fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), juz 33, halaman 167.
[3] Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), juz 7, halaman 291.
[4] Yusuf al-Mizzi, al-Kamil Fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), juz 33, halaman 167.
[5] Ibnu Atsir, Usdu al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), juz 1, halaman 524. .
[6] Muhammad Ibrahim bin Sa’id al-Farisi, Man Tuwuffiya Minal Ulama Wahuwa Sajidun, (Dubai: Islamic Affairs & Charitable Activities Departement, 2015), halaman 54.
[7] Ibnu Asakir, Tarikh Damasyq, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 13, halaman 268.
[8] Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1997), juz 3, halaman 155.