1 Januari 2018, tepat 100 tahun diberlakukannya asas legalitas di Indonesia
———-
Bagi penggemar hukum pidana dan filsafat di Indonesia, nama besar keluarga von Feuerbach mungkin tidak asing. Ada dua nama dalam keluarga ini yang setidaknya memiliki pengaruh besar dalam pemikiran hukum dan filsafat.
Pertama adalah Paul Johann Anselm Ritter Von Feuerbach seorang ahli hukum pidana dan yang kedua adalah sang anak Ludwig Andreas von Feuerbach yang dikenal luas sebagai filusuf pengkritik filsafat Hegelian.
Bagi saya pribadi yang sedang menekuni studi hukum pidana, nama Anselm Von Feuerbach tidaklah asing di telinga karena sering dijadikan rujukan di buku-buku literatur hukum pidana Indonesia.
Paul Johann Anselm Ritter Von Feuerbach dikenal sebagai penemu maksim “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” biasa dikenal sebagai asas legalitas yang membatasi negara untuk menjatuhkan hukuman pidana tanpa ada aturan tertulis yang dibuat sebelumnya.
Secara sederhana asas tersebut mensyaratkan bahwa hanya tindakan seseorang yang melanggar kebebasan yang digaransi dalam “kontrak sosial” dan dijaga melalui hukum pidana tertulislah yang dapat dihukum oleh negara (Hall, 1947, p. 27). Asas legalitas ini pada perjalanannya diberlakukan di banyak negara termasuk Indonesia hingga saat ini.
Berlakunya asas legalitas ini di Indonesia bisa dikatakan dimulai pada 100 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Januari 1918. Saat itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan Wetboek van straftrecht voor Nederlands Indie (WvSNI) sebagai peraturan hukum pidana di seantero Indonesia.
WvSNI saat ini kita kenal dengan nama KUHP singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Asas legalitas terpatri tegas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Namun keberlanjutan pemberlakuan asas ini secara tegas menjadi bahan perdebatan yang hangat dalam proses pembahasan Rancangan KUHP baru di DPR saat ini, dan juga menjadi satu bahasan dalam Bahtsul Masail Munas dan Konbes NU di Mataram pada akhir 2017.
Berziarah ke makam Feuerbach
Bertepatan dengan peringatan 100 tahun berlakunya asas legalitas di Indonesia, saya mencoba peruntungan untuk berziarah ke makam Feuerbach, sang penemu asas ini. Kebetulan saya memang sedang bersilaturahim ke rumah kerabat di Frankfurt Jerman.
Setelah melakukan riset kecil-kecilan dan mendapatkan bantuan dari kerabat yang telah lama tinggal di kota ini, Mas Yuma, begitu saya memanggilnya, akhirnya saya dapat menemukan lokasi makam Feuerbach di Frankfurter Hauptfriedhof.
Kenyataan bahwa Feuerbach dimakamkan Frankfurt ini menarik untuk ditelusuri, karena Feuerbach tinggal di Ansbach, kota kecil yang berjarak 200 Kilometer lebih dari Frankfurt.
Menurut Dr. Alfred Kröner saat memberikan sambutan pada peringatan 180 tahun meninggalnya Feuerbach, pada 15 April 1833 Feuerbach berkunjung ke kediaman adik perempuannya di Frankfurt. Ia ingin berdamai dan meminta maaf karena kata-kata kasar yang dia tulis saat adiknya itu menikah dengan seseorang yang tidak dia setujui. Ketika itu, Feuerbach merasa bahwa kesehatannya telah menurun.
Setelah berhasil dengan misinya, Feuerbach memanfaatkan waktu untuk berkeliling di seputaran kota Frankfurt serta mengunjungi dem Hauptfriedhof zu Frankfurt am Main atau pemakaman umum kota Frankfurt yang baru saja dibuka saat itu. Ia terpesona dengan keindahan bangunan, monumen, dan arsitektur taman di satu pemakaman terbesar di Jerman ini. Ia kemudian berharap agar dapat dimakamkan di sini.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada 27 Mei 1833, Feuerbach meninggal dan disemayamkan dengan sederhana di tempat yang dia inginkan. Pemakaman ini hanya dihadiri beberapa kerabat dekat tanpa ada upacara apapun. Feuerbach dimakamkan di tengah-tengah para ilmuwan Jerman terkenal lainnya seperti Alois Alzheimer, seorang psikiatris yang menemukan penyakit demensia pada jaringan otak serta makam para filusuf mazhab frankfurt seperti Schopenhauer dan Adorno.
Sosok Paul Johann Anselm Ritter Anselm Von Feuerbach
Paul Johann Anselm Von Feuerbach lahir pada tanggal 14 November 1775 di sebuah desa kecil, Hainchen dekat kota Jena, Jerman. Masa mudanya dia habiskan untuk mempelajari filsafat dan hukum di Universitas Jena.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Feuerbach muda dipercaya menjadi Guru Besar di tiga universitas (Jena, Kiel dan Landshut). Dia dikenal luas sebagai seorang akademisi, legislator, kriminolog dan juga sebagai seorang hakim.
Pada tahun 1801 dia menyelesaikan salah satu magnum opusnya yang berjudul “Lehrbuch des gemeinen, in Deutschland giiltigen peinlichen Rechts” tentang Hukum Pidana Jerman yang memberikan rumusan penting tentang asas legalitas dalam hukum pidana. Buku ini ia tulis bersamaan dengan memuncaknya gejala revolusi di daratan Eropa yang diinspirasi oleh revolusi Prancis yang menumbangkan kekuasaan absolut kerajaan yang sewenang-wenang. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa semangat dari asas legalitas yang dirumuskan oleh Feuerbach adalah untuk membatasi kesewenang-wenangan negara yang seringkali mengatas namakan nilai-nilai tak tertulis yang hidup di masyarakat saat menghukum siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan negara.
Feuerbach bukanlah sosok akademisi yang suka berdiam diri dan bersembunyi di balik menara gading kampus, hal ini terbukti lima tahun setelah menelurkan bukunya pada tahun 1806 Feuerbach bersama beberapa koleganya berhasil menghapus hukuman penyiksaan di Bavaria, salah satu negara bagian di Jerman.
Karena prestasinya itu pada tahun 1808, ia diangkat menjadi anggota “Dewan Negara” dan diberi gelar kebangsawanan sebagai seorang Ksatria. Tidak puas dengan penghargaan yang dia raih dan karena jiwa aktivismenya, Feuerbach tetap gigih memperjuangkan ketentuan khusus dalam undang-undang tentang pembatasan hukum pidana melalui asas legalitas yang dia rumuskan.
Hasilnya, pada tahun 1813 untuk pertama kalinya pasal yang mengatur tentang asas legalitas tercantum dalam Undang-undang Hukum Pidana Bavaria. Ketentuan pasal ini kemudian mengubah pondasi pemidanaan di Jerman yang saat itu masih bernama Prussia, beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1850 asas ini dikukuhkan secara tegas dalam konstitusi negara mereka. Tidak heran kemudian Anselm von Feuerbach dianggap sebagai tokoh utama dan peletak pondasi utama hukum pidana Jerman modern yang kemudian juga mempengaruhi pola pengaturan hukum pidana di negara-negara lain di Eropa termasuk Belanda dan Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.
Asas legalitas warisan Anselm Von Feuerbach disebut banyak pakar sebagai salah satu tonggak Rule of Law (Negara Hukum) dalam penerapan hukum pidana. Meski tidak sempurna, asas ini setidaknya mampu memberikan batasan pada negara untuk tidak secara serampangan menghukum warganya atas dasar ketentuan hukum pidana yang tidak mereka diketahui sebelumnya. Terkait dengan hal ini, pembahasan RKUHP yang sedang hangat di DPR terkait tafsir baru terhadap asas ini menarik untuk dicermati. Sebagaimana saya tulis di sini, jika perumusan tafsir baru untuk mengakomodir hukum pidana adat tidak tertulis dilakukan dengan tidak hati-hati, maka ancaman kriminalisasi yang membabi buta dari negara tiap saat siap menerkam kita. Wallahu a’lam