Sedang Membaca
KH. Muhammad Shiddiq Jember: Pintu Lahirnya Para Pembesar NU
Ali Mursyid Azisi
Penulis Kolom

Penulis artikel ringan dan jurnal ilmiah. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

KH. Muhammad Shiddiq Jember: Pintu Lahirnya Para Pembesar NU

Mbah Sidiq 01 932x480

Muhammad Shiddiq atau Mbah Shiddiq merupakan seorang yang mulia dan hidup satu masa dengan Syaikhona Kholil al-Bangkalani. Kiai Muhammad Shiddiq lahir di dukuh Punjulsari, sebuah hutan di desa Waru Gunung, Kecamatan Lasem, Rembang pada 1453 H atau 1854 M.

Jika ditelusuri silsilah keturunannya ke-atas, dalam buku M. Solahudin yang bertajuk Nahkoda Nahdliyyin: Biografi Rais Aam Syuriyah & Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Sejak 1926 Hingga Sekarang, yaitu: Kiai Muhammad Shiddiq bin Abdulla bin Sholeh bin Asy’ari bin Adzra’i bin Yusuf bin Sayyid Abdur Rahman Basyaiban alias Mbah Sambu atau juga Raden Syihabuddin Sambu Digdodiningrat, yang dalam riwayatnya masih cucu Rasulullah saw.

Sedari dini, beliau memiliki kelebihan hafal Al-Qur’an. Oleh karenanya, beliau juga mendidik anak-anaknya untuk senantiasa menggeluti ilmu Al-Qur’an.

Kiai Muhammad Shiidiq pun sama sekali tidak meninggalkan shalat sunnah dhuha, tahajjud, maupun shalat sunnah lainnya. Bahkan konon beliau melakukan shalat sunnah lebih dari 100 rakaat. Kebiasaan beliau juga kerap kali membaca kitab sholawat Dalailul Khairat himpunan Imam Al-Jazuli dan menghatamkan Al-Qur’an sepekan sekali.

Dalam buku Hamid Ahmad yang bertajuk KH. Achmad Qusyairi Bin Shiddiq: Pecinta Sejakti Sunnah Nabi dikatakan bahwa Mbah Shiddiq memiliki empat istri, diantaranya: Nyai Masmunah binti Wiryodikromo, Nyai Maryam atau Nyai Zakiyah, Nyai Mardhiyah, dan Nyai Aminah.

Beliau melahirkan keturunan yang salih saliha dan menjadi tokoh-tokoh pembesar NU. Dalam sejarah berdirinya NU, peran Kiai Shiddiq menjadi salah satu Ulama yang dimintai restu oleh KH. Hasyim Asy’ari. Dalam sejarah yang jarang diketahui, ketika Kiai Hasyim Asy’ari akan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama, beliau juga meminta restu terlebih dahulu kepada Mbah Shiddiq.

Baca juga:  Kiai Achmad Siddiq, Sosok Rais Aam dengan Selera Musik Michael Jackson

Singkat cerita, Kiai Kholil Bangkalan merestui berdirinya NU melalui KH. As’ad Syamsul Arifin. Namun ketika menjelang berdirinya NU, ulama masyhur dari pulau Madura itu wafat pada 1925. Lalu Kiai Hasyim Asy’ari mengutus KH. Wahab Hasbullah untuk menemui dua orang alim dan wali Allah, yaitu Kiai Yasin dan Kiai Muhammad Shiddiq. Kala itu Kiai Wahab berusia 30 tahun, didampingi Masjkur yang waktu itu berusia 23 tahun.

Alasan KH. Hasyim mengutus Kiai Wahab ditemani rekannya tak lain karena Kiai Hasyim ingin meminta restu kedua ulama sepuh yang termasuk santri senior yang dahulu juga pernah nyantri kepada Kiai Kholil. Sebelum mengambil keputusan, seperti biasa Kiai Muhammad Shiddiq sholat istikharah terlebih dahulu.

Waktu itu Kiai Wahab dan Masjkur sembari menunggu keputusan Kiai Shiddiq, keduanya  bermalam di Jember. Keesokan harinya, Kiai Shiddiq menyampaikan keputusannya bahwa beliau merestui berdirinya NU.

Karena usia Kiai Muhammad Shiddiq waktu itu sepuh (70 tahun lebih), lalu beliau menunjuk salah satu putranya untuk aktif di NU, yaitu KH. Mahfudz Shiddiq (1904-1944). Sedangkan Kiai Yasin mengutus menantunya bernama KH. Abdullah Ubaid (pelopor GP Anshor).

Dahulu ketika KH. Muhammad Shiddiq nyantri kepada Kiai Kholil Bangkalan, ada salah satu cerita yang unik. Ketika Kiai Shiddiq muda menimba air sumur, beliau dikejutkan dengan tumpukan emas yang memenuhi timba tersebut. Tak berfikir lama, beliau langsung mengembalikan emas tersebut ke dalam sumur sembari berkata:

Baca juga:  R.H. Sjarkawi, Arsitek Gedung Hoofdbestuur Muhammadiyah Pertama

“Yaa Allah, bukan ini yang aku harapkan, aku hanya ingin anak turunku menjadi orang salih dan salihah.”

Itulah mengapa anak turun beliau hingga kini menjadi orang yang salih, salihah serta turut melanjutkan estafet dakwah Mbah Shiddiq dengan membimbing ummat baik dengan membangun pesantren maupun sekolah formal.

Dalam buku M. Sholahudin berjudul “Nahkoda Nahdliyin” disebutkan bahwa ada dua kalangan keluarga nahdliyin yang sangat kental ke-NU-annya, yaitu Bani Hasyim, Jombang dan Bani Shiddiq, Jember.

Keturunan Kiai Shiddiq dengan Nyai Masmunah binti Wiryodikromo sebanyak tujuh anak, tiga diantaranya wafat. Diantara yang meninggal adalah Siti Masruah, Aisyah, dan Abdul Karim. Yang masih hidup: Masrur atau KH. Masrur Tuban, Nyai Siti Roichanah Lasem (ibu KH. Abdul Hamid, Pasuruan), dan KH. Achmad Qusyairi (mertua KH. Abdul Hamid Pasuruan), dan KH. Mahmud (ayah dari KH. Hamid Wijaya), dahulu pernah menjadi Katib Aam Syuriyah PBNU.

Pernikahan Kiai Shiddiq dengan Nyai Maryam atau Nyai Zakiyah dikaruniai sembilan anak. Akan tetapi sebagian meninggal dunia semasa kecil, diantara: Abdullah, Khadijah, Muhammad, serta Ahmad Muhammad.

Sedangkan yang hidup hingga dewasa: Muhammad Mahfudz (KH. Mahfudz Shiddiq, pernah menjadi ketua umum PBNU), KH. Abdul Halim (pengasuh PP. Ash-Shiddiqiyyah Putra), Zainab, KH. Abdullah Shiddiq (pernah menjadi ketua PWNU, Jawa Timur) dan KH. Achmad Shiddiq (Rais Aam PBNU ke-5, 1984-1990 M, yang membawa NU kembali pada khittah-nya).

Baca juga:  Mengenang Abah Achmad Zuhdy, Kamus Berjalan Inspirasi Para Santri

Pernikahan Mbah Shiddiq dengan Nyai Mardhiyah melahirkan sembilan anak, delapan diantaranya meninggal sewaktu kecil, diantaranya: Abdurrochim, Ummu Athiyah, Muhammad Sholeh, Sakinah, Maskunah, Muhammad, Asiyah, serta Shafiyah. Sedangkan yang hidup yaitu: Nyai Hj. Zulaikho’ (istri KH. Dhofir Salam, pengasuh PP. Ash-Shiddiqiyah Putra).

Mbah Shiddiq disebut sebagai ulama yang ikhlas dan berilmu. Keteladanan beliau patut menjadi contoh dan dikenang dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jember.

Hal ini juga diungkapkan oleh Habib Taufiq Assegaf, Pasuruan, ketika mengisi ceramah dalam acara haul Kiai Shiddiq.

“Sebagai pewaris Nabi, seharusnya ulama benar-benar mewarisi perilaku Nabi, tapi ulama sekarang malah banyak kategorinya, yang seperti Mbah Shiddiq sedikit.” tutur Habib Taufiq.

Menurut KH. Hadi Achmad (salah satu cucu Mbah Shiddiq), terdapat ribuan Kiai yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara yang memiliki sanad keilmuan dengan Kiai Shiddiq. Adanya bangunan masjid di Jember merupakan salah satu bukti dari berhasilnya dakwah Kiai Shiddiq. Disamping itu ada sekitar 3.000 masjid binaan santri-santri Kiai Shiddiq, 750 pesantren dan 1.000 lebih lembaga pendidikan di Kabupaten Jember.

Dari beberapa pesantren dan pembangunan sekitar 15 masjid menjadi cikal bakal Islam berkembang di bumi Jember. Salah satunya adalah masjid yang bertempat di jantung kota, yaitu masjid Jami’ Al-Baitul Amin.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
7
Senang
6
Terhibur
4
Terinspirasi
6
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top