Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Dzalikal Kitab: Alquran yang Jauh dan Sekaligus Dekat

Membaca literatur tafsir klasik bisa merupakan pengalaman yang mengasyikkan, antara lain karena kitab-kitab tafsir ini memberikan kepada kita “kedalaman”, “depth”, atau, jika memakai istilah Syekh Ibn Atha’illah al-Sakandari dalam kitab Hikam, “ardlu al-khumul”, tanah atau fondasi ketidak-tampakan yang tertanam jauh di dalam bumi.

Seorang muslim tak boleh memperlakukan Alquran sebagai kitab yang dangkal, yang tak memiliki kandungan pengertian yang begitu kaya dan tertanam dalam-dalam di bumi ketidak-tampakan, kekayaan makna, dan hikmah yang siap digali oleh siapa pun yang mau membuka hatinya, menggunakan nalarnya.

Bagi seorang yang tak beriman, Alquran atau kitab suci manapun, bisa tampak sebagai buku omong kosong, kitab yang tanpa makna, penuh kontradiksi, “jumble mumble”, gado-gado yang memuat informasi yang terserak-serak, tanpa struktur yang koheren.

Tetapi bagi seorang beriman, kitab suci merupakan ‘daya’ kebijaksanaan yang sungguh luar biasa kaya dan berlimpah.

Untuk mengolah “daya kebijaksanaan” itu, hanya satu syarat saja yang diperlukan dari seorang pembaca Alqran: yaitu iman, kepercayaan yang jujur, dan sikap “ngestokake”, attentive, memberikan segenap pikiran dan hati untuk mendengar apa yang dikatakan olehnya. Orang-orang yang di dalam hati dan pikirannya ada tabir dan hijab, jelas tak akan mendengar “musik” Alquran, tak akan mendapatkan hikmah yang terkandung di sana.

Allah menggambarkan dengan cukup baik keadaan ini dalam sebuah ayat di surah al-An’am: Wa minhum man yastami’u ilaika, wa-ja’alna ‘ala qulubihim akinnatan an-yafqahuhu wa fi adzanihim waqran (QS 6:25).

Terjemahan bebasnya: Ada sebagian orang yang mendengarkan Alquran, tetapi tidak memperoleh apa-apa, sebab di hati mereka ada “akinnah”, penutup dan hijab, sementara di telinga mereka juga terdapat “waqran”, pemberat, sesuatu yang menghalangi mereka untuk mendengar.

Membaca Alquran dengan persiapan rohani semacam ini, insya Allah kita akan mendapatkan banyak hal; kita akan terlimpahi kucuran hikmah. Dengan pembacaan yang sangat “ngestokake” inilah para ulama ahli tafsir di masa lampau membaca Alquran. Hasilnya ialah ribuan tafsir yang merupakan kekayaan intelektual dalam sejarah pemikiran Islam. Tak mungkin para ulama itu mampu menulis tafsir yang begitu kaya, dan tertuang dalam puluhan ribu jilid, entah di masa klasik atau modern, jika mereka tidak memiliki telinga-hati-dan-pikiran yang “attentive”, ngestokake.

Pembukaan surah al-Baqarah yang bunyinya “dzalikal kitab”, misalnya, merupakan bagian dalam Alquran yang mendapatkan perhatian yang mendalam dari para ulama tafsir klasik. Ayat yang sederhana ini, bagi pembaca yang tidak ngestokake, yang tidak memberikan segenap hati dan pikirannya, bisa tampak tak memiliki makna apa-apa.

Baca juga:  Gus Sholah, Apa Kamu Mau Jadi Kiai Pesantren?

Dalam terjemahan Alquran versi bahasa Jawa Banyumasan yang digarap oleh sastrawan Ahmad Tohari dan kawan-kawan, ayat ini diterjemahan secara sederhana seperti ini: Qur’an kiye.

Dalam Al-Ibriz, tafsir Alquran dalam bahasa Jawa Panturaan yang ditulis oleh Kiai Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus), ayat ini diterjemahkan sebagai: Qur’an iki kitab kang bener.

Sementara itu, Abdullah Yusuf Ali dalam terjemahan Alquran versi Inggris (ini salah satu terjemahan versi Inggris yang paling populer), menerjemahkannya sebagai: This is the book.

Ayat ini maknanya sederhana bukan? Tentu saja maknanya sederhana bagi mata “awam”. Tetapi bagi mata orang-orang “khawas” yang diberikan keistimewaan oleh Tuhan dengan “bashirah”, ketajaman hati dan pikiran, maknanya bisa tidak sederhana.

Saya ingin mengajak Anda untuk menyelami setetes dari lautan tafsir yang ditulis oleh para ulama klasik mengenai ayat yang sederhana ini, melalui seorang penafsir besar yang hidup pada Abad ke-12, Fakhruddin ar-Razi. Ar-Razi menulis tafsir yang sangat massif berjudul, “Mafatihul Ghaib” atau lebih dikenal sebagai “at-Tafsir al-Kabir.”

Ayat yang pendek ini menimbulkan “kemusykilan” atau pertanyaan di mata para penafsir seperti ar-Razi. Pasalnya sederhana. Kenapa ayat ini menggunakan kata “dzalika” yang maknanya adalah “itu”, untuk menunjuk sesuatu yang ada jauh di sana. Sementara hampir semua penafsir dan penerjemah Alquran yang saya jumpai, baik klasik atau modern, memaknai ayat ini sebagai: Kitab ini, bukan Kitab itu. Kata “ini” jelas mengisyaratkan sesuatu yang dekat, ada di sini, di dekat kita. Sebab, yang dimaksud memang kitab Alquran yang ada di hadapan dan bersama umat Islam, baik pada zaman Nabi dulu atau sekarang.

Baca juga:  Harmoni dalam Surah al-Fatihah

Jika maksudnya adalah Alquran yang “ini”, ada di sini, kenapa “tembung” dan redaksinya menggunakan kata “dzalika” yang maknanya secara harafiah adalah “itu”, mengindikasikan sesuatu yang jauh ada di sana? Jika menggunakan terjemahan yang harafiah, maka mestinya dzalikal kitab diterjemahkan sebagai: “kitab itu, yang ada di sana itu”.

Ada sejumlah penjelasan tentang pertanyaan ini. Ar-Razi mengutip, antara lain, pendapat Abu Bakr al-Asham, seorang ulama Mu’tazilah dari generasi keenam yang hidup pada Abad ke-3 Hijriyah di Basrah. Al-Asham mengatakan: Kata “dzalika” ini merujuk kepada ayat-ayat yang turun di Mekah selama kurang lebih tiga belas tahun, sebelum Nabi pindah ke Madinah.

Kata al-Asham lagi, karena yang dirujuk adalah ayat-ayat yang sudah pernah turun sebelumnya di Mekkah, maka redaksi yang digunakan adalah “dzalika” yang mengisyaratkan sesuatu yang berada jauh di sana: itu, di sana. Kenapa ayat-ayat yang turun pada periode Mekah disebut secara khusus? Sebab di sanalah terdapat ajaran-ajaran yang bersifat asasi, fondasional, bagi Islam: tentang tauhid, kenabian, dan hari akhir (al-ma’ad).

Penjelasan lain yang dikemukakan oleh ar-Razi juga menarik. Yaitu: Yang dirujuk dengan kata “dzalika” dalam ayat pembuka surah al-Baqarah ini bukanlah kitab Alquran yang ada di sini, di hadapan kita, melainkan “kitab” yang ada di sana, yakni di Papan Yang Terjaga (Lauh Mahfudz). Sebab Qur’an yang ada di sini, yang diwahyukan kepada Kanjeng Nabi, sebetulnya bersumber dari Lauh Mahfudz yang ada di atas sana itu.

Bagi generasi digital, hal ini pastilah akan langsung mengingatkan mereka pada teknologi penyimpanan data melalui teknologi “cloud” atau “awan”. Dengan menggunakan metafor dari zaman digital, kalimat “dzalikal kitab” bisa kita terjemahkan secara non-harafiah sebagai: “kitab yang ada di ‘cloud’ bernama Lauh Mahfudz itu, dan berada jauh di sana, di langit”. Karena yang dirujuk adalah sesuatu yang jauh, maka digunakanlah kata “dzalika” (itu), bukan “hadza” (ini).

Dengan mempertimbangkan makna-makna seperti ini, sebetulnya kita bisa memahami ungkapan “dzalikal kitab” dengan dua makna sekaligus. Kitab yang diturunkan kepada Kanjeng Nabi ini bisa kita pandang dekat tetapi sekaligus jauh, dan jauh tetapi sekaligus dekat, tergantung “haitsiyyah”-nya, dari sudut mana kita memandang. Jika kita maknai Alquran di sini sebagai “kalam ilahi”, firman Tuhan yang nir-bahasa, nir-huruf, Alquran yang tersimpan dalam “Penyimpanan Agung” bernama Lauh Mahfudz, dia adalah kitab yang jauh dari kita.

Baca juga:  Menjawab Tafsir Politis di Medsos

Tetapi jika kita maknai sebagai firman Tuhan yang sudah menembus alam transenden dan turun ke alam sejarah manusia, alam imanen, wahyu yang diturunkan kepada Kanjeng Nabi di bumi ini, maka ia menjadi kitab yang dekat dengan kita.

Jauh-dekat ini juga bisa kita maknai dalam pengertian yang lain lagi. Alquran akan menjadi bacaan yang dekat dengan kita manakala kita menghadapinya dengan sikap “ngestokake”, attentive, penuh perhatian. Dengan sikap seperti itu, kita akan mendapatkan limpahan hikmah dari Tuhan. Sebaliknya jika kita membaca Alquran dengan sikap seenaknya saja, bahkan skeptis, ragu, penuh kebencian, maka jelas ia akan menjadi kitab yang jauh dari kita.

Jauh-dekat juga bisa kita maknai dengan cara lain. Misalnya: Alquran secara historis-kronologis jelas terletak pada lokasi temporal atau waktu yang jauh dari kita yang hidup di Abad ke-21. Alquran turun pada zaman Kanjeng Nabi, pada abad ke-7; ada jarak sekitar empat belas abad yang memisahkan antara kita dengan Alquran.

Secara temporal, Alquran memang jauh dari kita. Tetapi secara keimanan, dia adalah kitab yang dekat dengan umat Islam yang hidup di zaman ini.

Iman yang mendalam telah menjadikan kitab yang jauh secara temporal menjadi sesuatu yang dekat di hati.

Sebagian orang Arab yang hidup di zaman Nabi tetapi tidak mempercayai Alquran, mengalami situasi yang justru terbalik. Mereka, secara temporal dekat dengan Alquran, tetapi mereka jauh darinya, sebab mereka tidak memiliki kemampun untuk memahaminya, mengapresiasinya. Seperti ditegaskan dalam ayat yang sudah saya singgung di atas, pada pikiran dan hati mereka ada “akinnah”, penghalang yang menjauhkan mereka dari Alquran.

Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top