Sedang Membaca
Masih Relevankah Teori Emanasi Al-Farabi
Avatar
Penulis Kolom

Pembelajar filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Masih Relevankah Teori Emanasi Al-Farabi

Salah satu perkara penting yang banyak disebut dalam Alquran adalah persoalan alam semesta. Ayat Alquran mengajak manusia agar memperhatikan dan memikirkan tentang penciptaan alam semesta, karena di dalamnya terdapat tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah. Kosmologi adalah teori tentang asal-usul alam semesta. 

Dalam Islam, teori ini merupakan salah satu pembahasan penting yang memiliki konsekuensi teologis yang dalam dan berimplikasi kepada tauhid. Dalam rangka memformulasikan proses penciptaan alam semesta, pendapat kaum Muslim terpecah menjadi dua kelompok kecendrungan, tradisionalis dan rasionalis. 

Dalam Filsafat Islam, dalam hal penciptaan, kosmologi al-Farabi dan Ibnu Sina dipengaruhi oleh filsafat emanasi Plotinus dan dalam hal struktur didasarkan kepada konsep geosentris Ptolameus. Sementara kosmologi al-Ghazali (wakil dari kecendrungan tradisionalis) didasarkan kepada prinsip kehendak mutlak Tuhan yang bersifat mutlak.

Dalam hal ini al-Farabi, menurutnya alam ini maujud karena Tuhan mengetahui zatnya. Ia sendiri mengetahui bahwa dirinya menjadi dasar dari segala maujud ini. Ujud yang datang dari padanya tidak menambah kesempurnaannya karena datang dari padanya. 

Menurut dia Tuhan itu adalah Esa sama sekali dan sempurna sekali. Karena Tuhan mengetahui diri-Nya maka keluarlah sesuatu dari pada-Nya dan yang mula-mula muncul dari pada-Nya adalah akal pertama. Akal pertama ketika berpikir tentang dirinya dan tentang Tuhan yang menjadi sumbernya, muncullah akal kedua dan langit pertama beserta jiwanya, dari pemikiran akal kedua terhadap dirinya serta terhadap Tuhan sebagai sumbernya muncullah akal ketiga dan langit kedua, demikian seterusnya sampai pada akal kesepuluh dan langit kesembilan dan beserta jiwanya. 

Baca juga:  NU dan Tradisi Otokritik: KH M. Hasyim Asy'ari Saja Dikritik

Sedangkan pengaruh teori emanasi terhadap Ibnu Sina kelihatan pada pendapatnya bahwa alam ini adalah Qadim (non-creato exnihilo). Alam ini adalah azali sebagaimana azalinya Tuhan tetapi keberadaannya tergantung pada wujud Tuhan.

Struktur emanasi al-Farabi ini dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karena itu, ia membutuhkan sepuluh akal. Setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya al-Farabi hidup saat ini, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.

Teori Emanasi (Al Faidl) Al-Farabi

Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut “Akal Pertama”, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.

Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; al­al-a’la) dengan jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit dan jiwanya.

Baca juga:  Gus Dur dalam Mata Pembelajar Filsafat di Kampus Katolik

Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.

Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.

Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.

Jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh, hal ini sesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap ­akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.

Baca juga:  Gymnastic dan Dua Corak Peradaban Manusia

Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu “bulan” mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Zat-Nya, maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top