Sedang Membaca
Sakinah dan Seks dalam Lektur Keilmuan Timur-Islam
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Sakinah dan Seks dalam Lektur Keilmuan Timur-Islam

Ilustrasi Seks Di Timur Tengah. (gambar Kumparan)

Sejauh ini, pembicaraan soal seks masih bernilai tabu di kalangan muslim, lebih-lebih bagi kelompok tradisional, seperti santri. Pengajian kitab yang membahasnya, seperti Qurratul Uyun, didaras untuk “segmen terbatas”, dan ini wajar. Jika kitab fikih dan tasawuf boleh diikuti oleh semua santri tanpa batasan umur, khusus kitab jenis ini biasanya diterapkan sistem pengelasan, seperti usia dan tingkatan.

Sebetulnya, kesan tabu obrolan seks tidak hanya berlaku di pesantren, tapi di kalangan orang dewasa sekalipun, orang Timur secara umum. Kalau pun ada yang membicarakannya, biasanya ia berada di obrolan dan lawakan dewasa. Barangkali, tradisi Timur yang masih melekat kuat dalam pandangan masyarakatlah yang membuat mereka merasa tabu membicarakannya di muka umum.

Tapi, tahukah Anda, betapa pembahasan masalah hubungan intim ini sangat detil dibahas dalam tradisi Timur dan bahkan Islam?

Jika kita berpikir bahwa manusia bisa betah hidup berpasang-pasangan dikarenakan—salah satu sebab pentingnya—faktor kebutuhan biologis dan badaniah, maka secara logis, ia akan menjadi anomali pada saat kita membahas cita-cita luhur hidup berkeluarga (sakinah, mawaddah, rahmah) tapi melupakan unsur-unsur penopangnya. Seks dan pengetahuan seputar itu adalah bagian mahia.

Seks adalah perkara fundamental, kebutuhan pokok dasar manusia secara umum (tidak membicarakan perkecualian). Jika manusia butuh karbohidrat untuk bertahan hidup, maka manusia juga butuh asupan kasih sayang dan hubungan biologis untuk tetap menjaga ketenteraman hidupnya. Tanpa melibatkan perkecualian, sekali lagi, statemen ini belum terbantahkan.

Ketika ada sejoli menikah, doa yang disematkan baginya adalah meraih kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Apa itu? Mawaddah dan rahmah adalah karunia kasih sayang. Contoh paling gampang adalah; adanya orang berkulit hitam yang berpasangan dengan orang kulit putih yang sepintas dianggap tidak masuk akal oleh orang berkulit cokelat. Sementara sakinah bermakna ketenangan dan ketenteraman di dalam rumah tangga tersebut. Karena karunia sudah diberikan, maka kita, manusia, harus berupaya untuk mengupayakan dan merawatnya.

Tidak dapat dipungkiri, ketenangan dan ketenteraman rumah tangga tidak bisa lepas dari kebutuhan biologis yang satu ini karena memang merupakan sunnatullah, alamiah. Dalam Surah Ali Imran ayat 14, hal itu tergambarkan secara tersirat. Manusia menyukai mobil dan rumah bagus itu wajar, manusiawi. Akan tetapi, seorang istri tidak akan puas hanya dengan serta-merta diberi kartu kredit yang bebas digunakan kapan saja. Kepuasan batiniah, terutama seks, tetaplah menjadi bagian penting, bahkan dapat disebut inti dari kebutuhan berpasang-pasangan ini.

Baca juga:  Menanggapi Wahabi: Mengapa Mazhab Fikih Syafi’i Tetapi Akidahnya Asy'ari?

Berdasarkan wawancara saya terhadap Tomy Aditama dan Annasul Khalis (mereka berdua adalah terapis) serta kesan tambahan dari Zamzami Sabiq (beliau adalah dosen, konsultan rumah tangga), disimpulkan bahwa ada banyak pasangan yang akhirnya berpisah yang pangkal masalahnya, jika dirunut, berujung pada persoalan ini (sekali lagi, tidak semua, tapi banyak). Maka dari itu, adalah hal ajaib jika ada pasangan yang bertahan lama padahal tidak bahagia dalam urusan hubungan intim. Dan alasan paling ‘rasional’ untuk kasus terakhir ini adalah; itulah rahasia karunia.

Bertolak dari alasan risih dan tabu, menurut Pak Annas, banyak pasien yang menggunakan orang ketiga untuk menyampaikan ‘sekapur sirih’ demi memberi pengantar perihal masalah organ vital dan keharmonisan rumah tangganya sebelum dirinya menghadap langsung. Ada pula yang datang sendiri, masih merasa malu jika datang dengan pasangannya. Ini sedikit bukti bahwa tema seks adalah hal tabu untuk diobrolkan, bahkan meskipun terhadap ahli, padahal obrolan tersebut telah mengantongi ‘sertifikat halal’ dari KUA dan secara syariah serta bersifat privat. Andaikan ada kemauan keras, menurutnya, ‘kelemahan’ yang menjadi biang permasalahan itu dapat disembuhkan dengan terapi titik-titik akupunktur, pijat, jamu, dll.

Zamzami menyatakan, bahwa hubungan suami-istri itu selamanya berada dalam keadaan rentan. Artinya, usia pernikahan perak atau pernikahan emas bukan jaminan aman untuk tetap bertahan. Buktinya ada sekian kasus pasangan kakek-nekek yang berpisah saat mereka sudah punya cucu banyak. Dan jika masalahnya adalah masalah hubungan badaniah (bukan ideologis atau politis atau SARA), kembali kepada pendapat kedua terapis di atas, masih bisa dipulihkan asalkan ada keterbukaan oleh kedua pasangan. Nah, di situlah masalah sesungguhnya. Rata-rata, kata Pak Annas, pasangan tidak terbuka karena merasa malu, gengsi, menganggap itu sebagai aib. Karena itulah, ada pasangan yang rela menyembunyikannya dalam tekanan batin terus-menerus.

Agaknya, salah satu sebab adanya kasus seperti terakhir ini adalah sesat pikir yang beredar di dalam masyarakat, yakni membenturkan suami dan istri dalam “oposisi biner” dan “berketegangan”.  Kita sering mendengar calon suami yang hendak menikah mendapatkan petuah “awas, nanti di malam pertama jangan kalah sama istri”. Pernyataan ini sealah-olah menyiratkan; rumah tangga itu tak ubahnya gelanggang pertandingan bola. Mestinya, konsepnya adalah kerjasama, seperti konsep kepaduan sebagai tim. Kesalahan cara pandang seperti ini akan berakibat pada kesalahan berikutnya, yaitu “pikiran untuk mengalahkan”, seperti pikiran suami untuk mengalahkan istri, bukannya mengajak kerjasama demi terciptanya gol: sakinah.

Baca juga:  Mengenal Ulama dan Kiai

Kembali pada khazanah Islam terkait seks, kita akan temukan banyak sekali rujukannya. Bukan sekadar bagaimana memberikan kepuasan batiniah dan jasmaniah terhadap pasangan, melainkan bahkan hingga ke urusan yang detil dan ‘subtil’. Dalam ‘kitab-kitab khusus’, yang mungkin kurang masyhur karena alasan tadi, masalah intim ini dijelaskan secara jelentreh. Selain Quratul Uyun, ada kitab lokal bernama Fathul Izar—secara harfiah bermakna “buka sarung”—yang merupakan kompilasi berbagai kitab terkait cara berhubungan badan dan seluk-beluknya. Kiranya, masih banyak kitab lokal yang senada di Nusantara ini.

Di Madura sendiri, masalah seks sangat riskan dibicarakan di muka umum di satu sisi, tapi juga diurus dengan sangat serius di sisi yang lain. Novie Chamelia melakukan penelitian untuk kepentingan disertasinya, bagaimana sudut padang warga Madura dalam memandang urusan sensitif ini secara antropologis. Menurutnya, “Kios-kios jamu sangat ramai pada hari Kamis sore, begitu pula rumah kecantikan.” Dia melakukan survei kecil-kecilan untuk mendapatkan pra-kesimpulan.

Masih terkait seks, yang mencengangkan adalah tradisi “So’leran” yang ternyata tidak banyak diketahui orang Madura sendiri. Dalam penelitiannya tentang so’leran, hasilnya lebih ekstrem lagi, mengingat narasumber dan informan yang sangat terbatas dan cenderung menutup diri. Istilah “so’leran” semula digunakan untuk sapi yang tidak produktif, tapi oleh masyarakat tertentu di Madura, ia disematkan untuk “lelaki yang tidak laki”, yang kekar di jalan tapi lembek di ranjang. Puncaknya adalah hukuman sosial yang dijatuhkan kepada lelaki jenis ini: diusir! Ngeri, bukan?

Dalam wilayah yang lebih luas, khazanah Timur sungguh kaya dalam hal bahasan masalah ini. Sebut saja India yang punya Kamasutra, Cina yang punya Su Nu Cing. Dalam tradisi Melayu pun, panduan-panduan urusan intim pun dibahas secara sangat serius. Utamanya, khazanah Melayu memang dekat dengan referensi khazanah Islam. Dalam sebuah buku yang berjudul “Mutiara yang Terpendam” (catat, ini bukan terjemahan kitab balaghah, lho, cuma kebetulan judulnya sama), persoalan asmara dan hubungan badaniah dibahas tak kalah jelimet dibandingkan dengan tema eksistensial manusia lainnya.

Baca juga:  Humor Pesantren, dari Kiai Wahab hingga Gus Dur

Sekadar menyebut contoh, dalam buku tersebut terdapat panduan-panduan bercinta ala pasangan suami istri yang sesuai syariat dan budaya ketimuran. Salah satu poinnya adalah langkah-langkah pendahuluan percintaan yang terinci: 9 langkah sebelum masuk kamar; “Istimta’ Sifat an-Naum” atau foreplay dengan 11 langkah sebagai “kuda-kuda”;lalu, masih ada 4 langkah lagi pra-senggama. Langkah-langkah tersebut belum termasuk doa-doa yang langkah-langkah lain yang menjadi pamungkas atau pasca-‘acara’-nya. Begitu lengkap dan detilnya semua ini hanya demi satu hal: pasangan harmoni dan sakinah, sehingga mempunyai keturunan yang baik dan fatonah.

Tersebut di dalam kitab “Ar-Rahmah: fi at-Tib wa al-Hikmah”, langkah-langkah yang didedah oleh Imam Suyuthi dalam urusan senggama ada lebih 15 halaman. Semuanya secara khusus membahas hubungan badaniah (belum termasuk hal-hal yang berhubungan tapi tidak terkait langsung), seperti cara membuat jamu kuat, mengunci pasangan agar tidak selingkuh, dan hal-hal yang agaknya masih dirasa tabu untuk dibahas di dalam artikel ini.

Terlepas bahwa ada sebagian pendapat yang menyangkal bahwa kitab tersebut bukan karangan As-Suyuthi, itu urusan yang beda lagi. Akan tetapi, setidaknya, gagasan-gagasan di dalamnya merupakan sumbangan besar bagi khazanah pengobatan dan pertabiban, khususnya dalam menopang salah satu asas penting berumah tangga: sakinah. As-Suyuti sendiri sebetulnya pernah menulis pengantar dalam bidang pengobatan dan anatomi yang menjadi kesatuan dalam karyanya yang bertajuk “Itmamud Dirayah li Qurra’ an-Nuqayah”. Sekadar tambahan, Gus Dur menyebut kitab “Annuqayah” (yang memuat 14 dasar disiplin ilmu pengetahuan) ini sebagai usulan Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi atas gagasan kurikulum pendidikan umat Islam.

Dari semua pembahasan di atas, yang paling menakjubkan adalah adanya suatu amalan yang—berdasarkan redaksi doanya—dapat mengontrol ejakulasi seorang laki-laki sesuai seleranya, sehingga perkakas kelelakiannya itu menjadi tak ubahnya sebuah “potensio meter” sekaligus “timer”, bisa diatur “semau gue”. Menarik, bukan?

Aduhai rumit dan alangkah betapanya! Semua ini, tentu saja bukan tujuan utama, melainkan batu pijakan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang baik, yang sakinah, demi mawaddah dan rahmah sebagai karunia-Nya, sehingga darinya lahir generasi rabbi radhiyya.

Mari, menghadaplah ke barat jika Anda hendak shalat dan melihat senja, tapi ingatlah, Anda harus melihat ke Timur untuk melihat terbitnya matahari demi menguak kegelapan. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
1

Seks di Lingkungan NU

Seks di Lingkungan NU
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top