H. Mahbub Djunaidi. Selain sebagai ketua pertama Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), ia merupakan tokoh penting di tubuh NU pada masa Orde Baru. Keteladanan dan pemikirannya amatlah penting untuk diingat dan dipelajari.
Tercatat, Mahbub pernah menduduki posisi penting: Pimpinan Redaksi Duta Masyarakat (1960-1970), Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (1973-1978), Ketua Umum Pengurus Besar PMII (1960-1967), Wakil Ketua Pengurus Besar NU (1984-1989), dan masih banyak posisi yang ia emban. Selain itu, perlu diingat. Mahbub adalah seorang kolumnis. Tulisannya, begitu dinanti-nanti di kolom Asal-Usul Harian Kompas selama sembilan tahun, juga tulisan-tulisannya yang bernada kritik, namun diselubungi humor di berbagai media-media selama ia masih hidup.
Namun, ihwal di atas, hanya sedikit dari banyaknya memoar dari Mahbub semasa ia hidup. Untuk menelusuri kisah-kisah Mahbub yang lebih dalam, maka kita membaca buku bertajuk Bung: Memoar Tentang Mahbub Djunaidi. Buku bersampul kuning keemasan yang ditulis oleh Isfandiari MD dan Iwan Rasta itu, berisikan cerita-cerita tentang kepribadian dan kesungguhann Bung. “Bung” nama yang disematkan Mahbub buat ia sendiri yang mesti dipanggil manakala anak-anaknya memanggilnya agar Mahbub tidak merasa tua.
Kita dihantarkan oleh Lukman Hakim Saifuddin. Dalam pengantarnya itu, ia menyebut bahwa Mahbub adalah Burung Parkit di Kandang Macan. Sebabnya, Mahbub tidak pernah lelah mengoceh di tiap pergaulannya di antara pembesar agama, sastra, hingga politik. Tentunya, bukan sembarang ocehan yang dibikin Mahbub. Melainkan ia menuliskan ocehannya dalam kata-kata yang terasa sarat makna meski bikin ketawa.
Setiap kali muncul isu krusial dan fenomena sosial, sosok Mahbub kadang membuat saya terbelit rindu. Saya membayangkan bagaimana ia akan mengolah kata dan berapa kali mencuit andaikata ia hidup di zaman Twitter ini. Bukan apa. Hampir semua persoalan dia kritisi lewat tulisannya yang khas.
Sebut contoh, belakangan bangsa kita didera keriuhan politik identitas. Saya langsung teringat Mahbub yang cukup berperan penting dalam penerimaan NU terhadap asas Pancasila pada Muktamar NU tahun 1984. Jauh sebelum itu ia sudah memikat Bung Karno karena tulisannya yang menyebut Pancasila lebih sublime daripada Declaration of Independence di Amerika Serikat. Juga, ia pernah menyindir keras dengan ungkapan yang jenaka: “Kalau seorang bicara Pancasila sambil bawa kelawang di tangan, boleh jadi dia ngecap.” Begitulah keistimewaan Mahbub yang sulit dicari tandingannya. (hlm. vi)
Tulisan Menjadi Penghasilan
Mungkin banyak diantara kita, mengandalkan menulis untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup kita. Ya, lewat honor dari tulisan, kita besar berharap mendapat mahar sebagai jerih payah berpikir dan bergulat dengan layar untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang laik dan bisa membentang di media-media online maupun cetak.
Bung pun demikian. Ia begitu menggantungkan hidup dan kebahagiaan anak-anaknya lewat honor dari tulisan. Bahwa, Isfandiari MD menceritakan bahwa, manakala Mahbub mendapat honor dari menulis, ia mengajak anak-anaknya bertamasya.
“Ntar deh kalau Papa dapat honor nulis, Papa beliin kamu komik-komik itu,” katanya saat itu. Benar aja, pas dapat duit dari Pikiran Rakyat, Kompas, atau Tempo, Papa bergegas ngajak saya ke pasar Palasari beli buku-buku itu. Pulannya…biasa, lanjut ke pasar burung Andir, beli burung, ayam jago, sampai monyet. Almarhumah Mama Hasnie sering ngomel kalau Papa beli binatang. “Ini Rumah apa kebon binatang?!” (hlm. 3)
Tulisan sebagai tambang emas bagi Mahbub, ia pertegas manakala diwawancarai Karni Ilyas yang waktu itu menjadi wartawan Tempo. Wawancara itu, terjadi saat Mahbub diijinkan menghirup udara bebas dari penjara Nirbaya.
Apa rencanya kini? Tanya Karni. “Menulis”, jawab Mahbub. “Saya ini tukang jual tulisan. Selama masih ada yang mau membeli saya tetap akan menjual”, tambahnya.
Ternyata, selama di tahanan, “si penjual tulisan” ini ternyata berhasil menerjemahkan buku The Road To Ramadan karangan wartawan Mesir, Hassanain Heikal, yang sudah ia kirim ke sebuah penerbit di Bandung. Ia juga sempat menulis novel, “tapi tak sempat menulis artikel”, katanya. (hlm. 16)
Begitulah, Si Bung. Semoga, kita yang natobenenya hidup sebagai manusia digital (homo digitalis), bisa meneladani Bung dengan merawat serta meruwat pikiran dan karyanya yang tersublim kedalam sebuah tulisan yang khas dan tiada tanding. Karena, dengan laku demikian kita sudah menyetempel diri, bahwa kita gandrung dengan Bung. Bukan hanya mengenakan baju yang memuat foto Mahbub Djunaidi dan bertuliskan kata-kata Mutiara (quote) tetapi tidak tahu dari mana Mahbub Djunaidi berkata demikian (sahih atau dhoif).
“… Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat. Bukan hal-hal yang berlebihan.” (hlm. 75) Surat Mahbub kepada anak istrinya manakala ia tidak bisa berlebaran dengan mereka karena masih ditahan di penjara Nirbaya.
Judul : Bung: Memoar Tentang Mahbub Djunaidi
Penulis : Isfandiari MD & Iwan Rasta
Penerbit : Pustaka Obor
Tahun : 2017
Tebal : xvi+182
ISBN : 978-602-433-534-2