Ini adalah foto ‘imarah (apartemen) milik Syekh Nawawi Banten yang terletak di Distrik Syi’ib Ali, Makkah. Jarak antara apartemen tersebut dengan Masjidil Haram hanya sekitar 500 meter saja. Foto ini terdapat dalam buku yang diterbitkan Penerbit Sarana Utama, Jakarta (1978) “Sejarah Pujangga Islam: Syech Nawawi Albanteni” karya Sayyid Chaidar Dahlan.
Diterangkan dalam buku tersebut, jika apartemen milik Syekh Nawawi terdiri dari empat tingkat dengan luas bangunan yang cukup besar dan bercorak arsitektur khas Timur Tengah, berdinding bata dengan banyak jendela plus lengkungan khas (iwan) dan celah angina (masyrabiyyah) yang menghiasinya. Setiap tingkat apartemen ditopang oleh kayu-kayu besar yang kokoh khas bangunan zaman dulu.
Namun apartemen tersebut sudah tidak lagi dihuni sejak meninggalnya Syekh Nawawi Banten di Makkah pada tahun 1897. Tingkat ketiga dan keempat dari bangunan itu kondisinya bahkan sudah runtuh saat dikunjungi dan diambil fotonya oleh Dahlan pada tahun 1976.
Dahlan juga menceritakan, saat ia mengunjungi bangunan itu, yang menghuninya adalah segerombolan kambing liar, lengkap dengan bekas kotoran dan kencing mereka di setiap sudutnya.
Di apartemen ini jugalah, jauh pada tahun 1885 dulu, seorang Orientalis Belanda Snouck Hurgronje yang berada di Makkah untuk melakukan riset, datang menghadiri majlis pengajian Syekh Nawawi Banten sekaligus juga “sowan” menemui beliau. Diceritakan oleh Snouck, bahwa forum intelektual yang diampu Syekh Nawawi di rumahnya itu dihadiri oleh lebih dari 200 orang, selalu penuh sesak.
Dalam catatan Snouck, Syekh Nawawi Banten diceritakan mengampu forum ilmiahnya tiga kali dalam sehari, yaitu pagi, sore, dan malam. Forum tersebut ada yang disampaikan dalam bahasa Arab, Melayu, dan juga Jawa.
Saat Hurgronje bertandang ke sana, Syekh Nawawi baru saja merampungkan karya tafsir Alqurannya, yang diberi judul Marah Labid atau Tafsir Munir.
Selain berprofesi sebagai guru besar di Makkah dan penulis prolifik, Syekh Nawawi Juga berprofesi sebagai muthawwif, yaitu pengelola dan pembimbing jemaah haji yang ditunjuk secara resmi berdasarkan qarar (semacam Surat Keputusan atau SK) dari Syarif Makkah. Profesi muthawwif ini banyak mendatangkan kemakmuran secara finansial, selain posisi sosial yang cukup terpandang. Syekh Nawawi Banten mengelola profesi muthawwif-nya ini bersama seorang adiknya, yaitu Tamim Banten, dan seorang kerabatnya yang lain, yaitu Marzuki Banten.
Melihat profesi Syekh Nawawi Banten sebagai muthawwif, pengajar resmi di Makkah, plus penulis prolifik yang karya-karyanya diterbitkan di beberapa percetakan di Timur Tengah saat itu (Istanbul, Kairo, dan Makkah), kita sudah bisa menduga kondisi finansial Syekh Nawawi Banten yang lebih dari berkecukupan. Karena itu tidaklah mengherankan jika beliau memiliki sebuah properti berupa apartemen empat tingkat di bilangan Syi’ib Ali tersebut: hal yang pada masa itu jarang bisa terbeli secara personal oleh orang-orang Nusantara kecuali dari kalangan Kesultanan atau orang-orang kaya.
Snouck juga menceritakan, bahwa di Makkah, beberapa Kesultanan Islam Nusantara yang kaya pada saat itu, seperti Kesultanan Aceh, Kesultanan Banjar, Kesultanan Palembang, dan Kesultanan Pontianak, memiliki beberapa apartemen di Makkah.
Para Sultan asal daerah tersebut membangun properti-propertinya di Tanah Suci sebagai bentuk sedekah jariyah untuk melayani kepentingan rakyat mereka. Properti itu biasanya digunakan sebagai pemondokan jemaah haji (Baca: Haji dan Reformasi Arab Saudi) asal daerah mereka, selain pemondokan para pelajar asal daerah-daerah tersebut yang sedang menuntut ilmu di Makkah.
Berbeda dengan properti milik Syekh Nawawi Banten, yang ia miliki secara pribadi, bukan secara negara (Kesultanan). Pertanyaannya: “bagaimana nasib apartemen milik Syekh Nawawi Banten itu kini?”
Tidak ada yang tahu.
Ketika Chaidar Dachlan mengunjungi apartemen tersebut tahun 1976, kondisinya pun sudah tidak berpenghuni dan tak terurus. Ia sendiri sempat mengusulkan jika pemerintah Republik Indonesia melalui Kedutaan Besar-nya di Saudi Arabia dapat turun tangan secara langsung mengurus nasib bangunan itu, yang mana fungsinya bisa digunakan sebagai rumah ilmu, sekolah, atau pemondokan bagi para pelajar asal Nusantara (Baca artikel penting: Nasionalisme Islam Nusantara) yang pada tahun itu masih terbilang banyak di Makkah.
Namun hari ini, bisa jadi apartemen peninggalan Syekh Nawawi Banten itu sudah tidak ada lagi beriring dengan megaproyek pembangunan dan pengembangan kawasan seputaran Masjidil Haram (Baca tulisan menarik: Arab Saudi yang Makin Profan).
Bogor, Agustus 2018