Surah Al-Fiil terdiri atas lima ayat. Lima ayat tersebut terdiri atas dua puluh tiga yang tersusun dari sembilan puluh enam huruf. Para ulama sepakat bahwa surah ini termasuk surat yang diturunkan di Mekkah (Makiyyah). Dinamai dengan Al-Fiil karena ayat ini berkaitan dengan gajah. Lebih tepatnya pasukan gajah.
Sebelum memasuki penafsiran surah Al-Fiil, kita perlu mengulas mengenai sejarah tentang pasukan Gajah yang cukup masyhur di kalangan umat Islam. Di dalam kitab-kitab sejarah dan kitab tafsir, kisah mengenai pasukan gajah dikisahkan panjang lebar.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa surah ini merupakan bukti bahwa Allah melindungi kaum Quraisy sejak sebelum Islam datang. Melalui surah ini Allah menunjukkan kuasanya. Pasukan Gajah dari Ethiopia yang telah bertekad bulat untuk menghancurkan Kakbah serta menghilangkan bekas keberadaannya, digagalkan oleh Allah.
Peristiwa ini termasuk tanda sekaligus pendahuluan bagi pengutusan Rasulullah. Sebab, menurut pendapat yang paling populer, pada tahun itu beliau dilahirkan. Secara tersirat, Allah Ta’ala mengatakan, “Kami tidak menolong kalian, wahai sekalian kaum Quraisy, untuk mengalahkan kaum Habsyi, karena posisi kalian yang lebih baik daripada mereka, akan tetapi Kami menghancurkan mereka untuk memelihara Baitul ‘Atiq (Kakbah) yang akan senantiasa Kami muliakan, agungkan, serta hormati melalui pengutusan seorang Nabi yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis), Muhammad penutup para Nabi.”
Berikut ini kisah pasukan Gajah yang disajikan secara ringkas dan singkat. Telah disampaikan sebelumnya, dalam kisah Ash-habul Ukhdud (orang-orang yang membuat parit) bahwa Dzu Nawwas, yang merupakan raja terakhir kejaraan Himyar. Dia seorang musyrik. Dialah orang yang membunuh Ash-habul Ukhdud. Ash-habul Ukhdud adalah orang-orang Nasrani yang jumlahnya mendekati 20.033 orang.
Tidak ada yang selamat darinya kecuali Dawus Dzu Tsa’laban. Kemudian Dawud pergi dan meminta bantuan kepada Kaisar, raja Syam, yang juga penganut Nasrani. Kemudian dia menulis surat kepada Najasyi, raja Habasyah, karena keberadaannya yang lebih dekat dengan mereka. Dia mengutus Dawus yang didampingi oleh dua orang amir; Aryath dan Abrahah bin ash-Shabah Abu Yaksum disertai satu pasukan besar.
Kemudian mereka masuk ke Yaman dan menyelinap ke rumah-rumah, hingga akhirnya mereka berhasil merebut kerajaan dari Himyar dan Dzun Nawwas pun akhirnya binasa, tenggelam di laut. Habasyah berhasil menaklukkan Yaman dan mereka dipimpin oleh dua orang pemimpin; Aryath dan Abrahah. Kemudian kedua pemimpin itu berselisih pendapat dalam suatu urusan sehingga keduanya beradu mulut dan berperang. Lalu salah satu dari keduanya berkata kepada yang lainnya, “Sesungguhnya kita tidak perlu mengerahkan pasukan di antara kita, tetapi mari kita berhadapan satu lawan satu. Siapa di antara kita yang berhasil membunuh lawan, maka dialah yang berhak menduduki posisi raja. Kemudian tantangan itu pun disambut oleh yang lainnya, sehingga keduanya bertarung.
Masing-masing dari keduanya meninggalkan parit, lalu Aryath menyerang Abrahah, kemudian menebasnya dengan pedang sehingga hidungnya terpotong, mulutnya robek, dan wajahnya terkoyak. Kemudian ‘Utudah, pembantu Abrahah ikut menyerang Aryath, lalu membunuhnya. Kemudian Abrahah pulang dalam keadaan terluka. Lalu dia mengobati lukanya hingga akhirnya dia pun sembuh dan kemudian dia mampu melatih bala tentara Habasyah di Yaman. Selanjutnya, Najasyi menulis surat kepadanya yang isi-nya mencela apa yang telah dilakukannya seraya mengancam dan bersumpah akan menduduki negaranya dan menelungkupkan ubun-ubunnya.
Kemudian Abrahah mengirimkan utusan kepada raja Najasyi untuk menyampaikan rasa dukanya sambil berbasa-basi kepadanya. Bersama utusan tersebut, Abrahah mengirimkan hadiah dan sekantong tanah Yaman. Semuanya itu dikirimkan bersamanya dan dia mengatakan dalam suratnya supaya raja menginjak kantong ini sehingga dia terbebas dari sumpahnya dan inilah ubun-ubunku telah aku kirimkan bersamanya kepadamu. Ketika semuanya itu sampai kepadanya, dia sangat terheran dibuatnya dan merasa puas dengannya serta mengakui keberadaannya.
Kemudian Abrahah mengirimkan utusan untuk mengatakan kepada Najasyi, “Aku akan bangunkan untukmu sebuah gereja di negeri Yaman yang belum pernah dibuat bangunan sepertinya. Lalu dia memulai pembangunan gereja yang sangat besar di Shan’a, sebuah bangunan yang sangat tinggi serta pelataran yang tinggi pula, yang dihiasi di semua sisinya. Bangsa Arab menyebutnya dengan al-qalis, karena bangunannya yang tinggi.
Sebab, orang yang melihatnya akan mengangkat kepala sehingga qalansuwah (peci) yang dikenakannya hampir terjatuh dan kepalanya karena tingginya bangunan. Dan Abrahah al-Asyram bertekad untuk memindahkan haji bangsa Arab ke gereja tersebut sebagaimana mereka selama ini berhaji ke Kakbah di Makkah. Dan dia serukan hal tersebut di wilayah kekuasaannya, sehingga mengundang kebencian warga Arab ‘Adnan dan Qahthan. Kaum Quraisy benar-benar murka karenanya, sehingga sebagian dari mereka ada yang mendatangi gereja itu dan memasukinya pada malam hari serta menghancurkan isi di dalamnya, kemudian dia kembali pulang. Ketika para penjaga mengetahui kejadian tersebut, mereka pun melaporkan hal itu kepada raja mereka, Abrahah seraya berkata kepadanya, “Yang demikian itu dilakukan oleh beberapa orang Quraisy yang marah karena rumah mereka (Baitullah) diserupakan dengan ini. Selanjutnya, Abrahah bersumpah akan pergi menuju Baitullah di Makkah dan akan menghancurkannya berkeping-keping.
Muqatil bin Sulaiman menyebutkan bahwasanya ada sekelompok orang dari kaum Quraisy yang memasuki gereja itu dan membakarnya. Pada hari itu panas benar-benar terik sehingga gereja itu terbakar, runtuh dan rata dengan tanah. Kemudian Abrahah menyiapkan diri dan pergi dengan membawa pasukan yang cukup banyak dan kuat agar tidak ada seorang pun yang mampu melawannya, yang disertai dengan seekor gajah yang sangat besar, belum ada seekor gajah pun sebelumnya yang terlihat sepertinya, yang diberi nama Mahmud. \
Dan Najasyi, raja Habasyah juga mengirimkan pasukan untuk hal yang sama. Ada juga pendapat yang menyebutkan, bersama Abrahah terdapat delapan gajah. Ada juga yang menyatakan, dua belas gajah lainnya. Dengan tujuan untuk menghancurkan Kakbah, dengan meletakkan rantai pada pilar-pilarnya sedang ujung rantai lainnya diikatkan pada leher gajah, kemudian gajah itu digerakkan agar menjatuhkan tembok itu sekaligus. (RM)
Referensi
Tafsir Al-Qur’an al-Adhim karya Ibnu Katsir
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani
Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab
Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby
Tafsir Juz Amma karya Muhammad Abduh
Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli Jalaluddin as-Suyuthi