Jika Anda pernah dengar kisah penjelajah Ibnu Battuta, sibuknya Kota Casablanca, atau sekadar mengikuti berita transfer Hakim Ziyech dari klub sepak bola Ajax ke Chelsea; maka seharusnya Anda familiar dengan asal-usul itu semua: Maroko.
Maroko adalah negara-kerajaan di pesisir utara Afrika yang memiliki garis pantai sangat panjang. Itulah kenapa sebagian kotanya mempunyai pemandangan menawan. Kerajaan itu juga masuk dalam wilayah Maghreb bersama Aljazair, Tunisia, Mauritania, dan wilayah sengketa Sahara Barat. Dari segi sejarah kebudayaan, Maroko tergolong unik dibanding negara-negara tetangganya. Budaya Maroko adalah perpaduan antara Arab, Eropa, dan Berber (bangsa asli Afrika Utara).
Ketika pandemi Covid-19 melanda, Maroko ikut terkena dampak seperti halnya negara lain. Beberapa kebijakan dilakukan untuk menekan penyebaran virus. Pada pertengahan Maret tahun lalu, Maroko menutup semua masjid, restoran, tempat olahraga, hingga bioskop. Kerajaan itu juga telah memberlakukan karantina sejak 20 Maret 2020.
Meski begitu, lonjakan kasus di Maroko tergolong tinggi. Mengutip laporan Republika, Pada September tahun lalu saja Maroko mencatat lebih dari 110 ribu kasus positif, dengan jumlah kematian 2.041. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi di wilayah Maghreb.
Hari ini (29/4), menurut laporan worldometer, jumlah tersebut telah bertambah menjadi 510.465 kasus positif, dengan jumlah kematian 9.015 dan 496.583 sembuh. Maroko kini telah memberi vaksin kepada lebih dari empat juta warganya untuk melawan wabah tersebut.
Maroko sebenarnya mempunyai sejarah panjang terkait wabah. Tercatat, setidaknya sejak tahun 571 H atau 1192 M, wabah mengerikan telah melanda Maroko dan Andalusia. Pada masa pemerintahan Daulah Muwahhidun tersebut, wabah memakan banyak sekali korban. Dalam sehari, warga yang meninggal karena wabah bisa mencapai 100 sampai 190 orang. Bahkan, empat orang pimpinan tertinggi Daulah Muwahhidun yang merupakan saudara Khalifah Yusuf bin Ya’qub tidak selamat karena wabah tersebut.
Pada tahun 1798, Maroko kembali diterpa wabah. Wabah ini dibawa oleh pedagang yang datang dari Iskandariyah menuju Maroko. Beberapa kota seperti Fez, Meknes, hingga Rabat terpapar wabah ini. Setidaknya 130 orang wafat per harinya.
Tidak hanya di situ, Maroko kembali dihantam wabah pada awal 1900-an. Tidak tanggung-tanggung, wabah pada periode ini bisa dibilang cukup lama, sekitar sepuluh tahun. Namun perlawanan Maroko yang sengit telah membuat dinamika wabah di sana naik-turun. Kadang bisa diatasi, kadang datang lagi. Korban jiwa yang berguguran karena epidemi selama periode itu mencapai puluhan ribu orang.
Menurut R. Pollitzer, dalam bukunya Plague (1954), pada tahun 1909-1910 telah ditemukan 25 kasus wabah di Kota Casablanca. Setahun setelahnya, wabah memasuki Kota Doukkala dan sekitarnya. Di daerah tersebut, dengan ganasnya wabah memakan korban sekitar 8.000-10.000 jiwa. Sejak saat itu, wabah itu terus meluas ke kota-kota Maroko lain, seperti Rabat, Marakesh, Kenitra, dan Agadir sampai pada tahun 1950.
Maliya Alia Malek, dalam disertasinya berjudul La Peste au Maghreb (2016), menyebutkan bahwa sepanjang tahun 1940-1950, Maroko menjadi negara yang menerima dampak wabah paling besar di antara negara-negara Maghreb lain. Bahkan pada tahun-tahun ketika dunia sedang dihantui Perang Dunia II, Maroko sudah bergelut dengan wabah.
Pada mulanya, wabah itu berawal dari aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Afrika Utara, termasuk Maroko. Penyakit itu “diimpor” dari Pelabuhan Mediterania dan ditularkan oleh ektoparasit tikus. Kutu tikus membawa bakteri Yersinia pestis yang akhirnya menular sampai kepada manusia. Bakteri ini menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan pes. Wabah ini membuat penderitanya mengalami demam menggigil, kejang, diare, nyeri dada, hingga kematian.