Ahmad SM
Penulis Kolom

Alumnus Pascasarjana Fak. Teologi UKDW Yogyakarta.

Rumi, Maryam, dan Natal

rumi, maryam natal

Kemanusiaan itu
Seperti terang pagi

Merekahkan harapan
Menepis kabut kelam

— “Seperti Rahim Ibu”, Cholil Mahmud & Najwa Shihab

Ketika momen Natal tiba, umat Kristiani umumnya merayakannya dengan sukacita dan harapan akan kehadiran Kristus yang membawa damai dan keselamatan. Selain kelahiran Yesus ke dunia sebagai bentuk inkarnasi Allah menjadi manusia (daging), Natal juga menjadi momen umat Kristiani mengharapkan kedatangan Sang Mesias untuk kedua kalinya kelak. Namun, di balik kegembiraan tersebut, terdapat kisah mendalam tentang perjuangan, pengorbanan dan transformasi kehidupan. Salah satu figur yang jarang mendapat sorotan dalam perayaan Natal ialah Maryam atau Maria, ibu Isa as (Yesus).

Dalam perjalanan hidupnya, Maryam bukan hanya menjadi simbol kasih ibu, tetapi juga ketabahan, spiritualitas dan perjuangan perempuan dalam menghadapi tantangan besar. Perspektif ini diperkaya oleh refleksi Rumi, seorang penyair dan mistikus besar, yang melihat Maryam sebagai gambaran jiwa manusia yang bertransformasi melalui penderitaan menuju kebangkitan spiritual.

Rahim Maryam: Ruang Ilahi untuk Kelahiran Kemanusiaan

Seandainya negeriku
Serupa rahim ibu

Merawat kehidupan
Menguatkan yang rapuh

— “Seperti Rahim Ibu”, Cholil Mahmud & Najwa Shihab

Tema Natal Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tahun ini, mengacu pada Injil Lukas 2:15—Mari kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita”—menekankan perjalanan iman. Namun, perjalanan ini tidak hanya terjadi secara eksternal. Kisah Maryam atau Maria menunjukkan bahwa rahimnya adalah ruang sakral tempat kehadiran Allah mengambil bentuk manusia (dalam bahasa teologi Kristen: inkarnasi). Rahim Maryam bukan hanya simbol biologis, namun juga ruang spiritual di mana keajaiban terjadi. Dalam tradisi mistisisme, rahim sering dipahami sebagai simbol penciptaan, kasih, dan penerimaan yang melampaui batas fisik/material.

Baca juga:  Rekonsiliasi Hampa dalam Pilpres 2024

Jalaluddin Rumi, dalam Matsnawi jilid ketiga bait 3204, menulis: “Keterdesakan dan luka yang dirasakan Maryam mendorong bayi Isa berbicara”. Bagi Rumi, rahim Maryam mencerminkan kondisi batin manusia yang sering kali terluka dan tertekan. Namun, dari rahim itulah muncul kehidupan baru, sebuah keajaiban yang membawa pencerahan. Rahim, dalam arti lebih luas, adalah metafora untuk ruang dalam diri manusia yang mampu menampung harapan meskipun diliputi oleh penderitaan.

Maryam mengajarkan bahwa rahimnya adalah tempat di mana kemanusiaan bertemu dengan Ilahi. Dalam rahim itu, Allah menunjukkan kasih yang tanpa batas menjadi manusia. Simbol rahim juga mengingatkan manusia akan potensi kemanusiaan untuk menciptakan, memelihara, dan memberi kehidupan. Di tengah dunia yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, rahim Maryam menjadi pengingat bahwa dalam kelembutan, kasih, dan penerimaan terdapat kekuatan yang mampu mengubah dunia.

“Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem”, seolah mengirim pesan untuk mengalihkan pandangan ke sana, ke kota Betlehem, tanah kelahiran Isa as (Yesus). Pada Juli 2024 lalu, The New Arab menurunkan berita tentang pengepungan di Betlehem dan mengisahkan bagaimana tempat kelahiran Yesus kini dikelilingi oleh pemukiman Israel[1].

Kehadiran militer tentu saja menjadi ancaman nyata bagi penduduk Palestina. Di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang kini menjadi “penjara terbesar di dunia”—meminjam istilah Ilan Pappe, militer tak segan menembaki penduduk sipil. Jika belajar dari figur Maryam, pertanyaan yang muncul ialah: militer-militer kejam itu lahir dari rahim ibu. Dari air susu ibu mereka diajari cinta dan welas asih. Namun mengapa mereka begitu kejam? Apakah mungkin mereka lahir dari batu?

Baca juga:  Kompleksitas Risalah Muhammad

Natal: Seruan Kemanusiaan

Betlehem, tempat kelahiran Isa as (Yesus), adalah simbol universal bagi harapan dan keadilan. Edward W. Said, seorang intelektual Palestina, menggambarkan Betlehem sebagai simbol yang telah dirampas dari rakyat Palestina. Dalam pidatonya di Universitas Columbia pada tahun 2000 silam, dia menyatakan bahwa “Damai di Betlehem”, kata Said, “hanya akan menjadi nyata ketika keadilan ditegakkan untuk rakyat Palestina”. Pesan ini tidak hanya berlaku bagi Palestina, namun juga bagi Papua, Myanmar, Ukraina dan tempat-tempat lain yang tengah berjuang untuk menghadapi ketidakadilan dan dehumanisasi. Sebab, “setiap pribadi berharga lebih dari seluruh dunia”, demikian kata Santa Maria Euphrasia, orang suci pendiri Kongregasi Our Lady of Charity of the Good Shepherd.

Natal, dengan semangatnya yang mengingatkan manusia pada keadilan dan kedamaian, menjadi panggilan bagi kemanusiaan untuk merenungkan tanggung jawab kolektif terhadap penderitaan dunia. Perayaan Natal yang sejati adalah perayaan keadilan, di mana kita membuka hati untuk menjadi rahim bagi perubahan dan harapan baru di tengah dunia yang tengah terluka.

Dengan perspektif ini, Natal tidak hanya menjadi perayaan sukacita, tetapi juga undangan untuk merenungkan potensi kemanusiaan kita. Seperti Maryam, menciptakan ruang untuk kehidupan baru, berjuang bagi keadilan serta kemanusiaan. Setiap kita memiliki potensi untuk menjadi Maryam yang melahirkan harapan-harapan baru. Dalam semangat ini, Natal menginspirasi kita untuk menghadirkan republik surga di bumi, sebuah dunia yang lebih adil, penuh welas asih dan damai bagi semua ciptaan-Nya. Wallahu’alam.

[1] https://www.newarab.com/features/bethlehem-jesus-birthplace-under-siege-israeli-settlers

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top