Sedang Membaca
Semangat Literasi KHR. Asnawi dalam Kitab Fasholatan
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Semangat Literasi KHR. Asnawi dalam Kitab Fasholatan

Seperti janji saya pada tulisan yang lalu “Kitab Fasholatan dan Kenangan Belajar Salat Masa Kecil”, pada tulisan kali ini saya akan menulis tentang KHR. Asnawi penyusun kitab Fasholatan, serta mengulas syi’ir Khutbatul Kitab yang ada dalam kitab Fasholatan.

Perlu diketahui bahwa KHR. Asnawi bukanlah satu-satunya ulama nusantara yang menulis kitab Fasholatan. Pada periode sebelumnya ada Kiai Sholeh Darat yang merupakan penulis pertama dari kita Fasholatan. Keterangan ini saya kutip dari tulisan Mas Nur Ahmad (16/01/2019) “Kitab Salat Pertama di Jawa Dicetak Hingga India”.

Kiai Sholeh mengawali tradisi penerbitan kitab Fasalatan. Kini banyak Fasalatan lain yang ditulis oleh ulama-ulama Jawa setelahnya. Kiai Asnawi Kudus, Kiai Abdul Hamid Kendal, Kiai Bisri Mustafa Rembang, dan Kiai Misbah Zainal Mustafa Bangilan, semuanya telah menulis Fasalatan yang jelas meneruskan tradisi Fasalatan Kiai Sholeh Darat Semarang (Nur Ahmad, 16/01/2019).

Kembali membahas KHR. Asnawi Kudus. Dalam buku Kyai Tanpa Pesantren, karya Abdurrahman Mas’ud (2013), dituliskan bahwa KHR. Asnawi dilahirkan di kampung Damaran kota Kudus pada tahun 1281 H (1861 M ).

Tulisan terkait:

Beliau adalah putra dari H. Abdullah Husnin dengan R. Sarbinah. Beliau termasuk keturunan Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) keturunan yang ke 14 dan keturunan ke 5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali keramat dari desa Kajen Margoyoso kabupaten Pati sebelah utara yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.

Baca juga:  Cara Gus Dur Tidur (2)

Nama Asnawi bukanlah nama lahir dari KHR. Asnawi. Nama lahir beliau adalah Raden Ahmad Syamsi. Nama Raden Ahmad Syamsi diganti menjadi Raden Asnawi sepulang beliau dari menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya.

Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya.

Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya. Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (Mas’ud, 2013).

Beliau juga sempat mukim di Mekah selama 20 tahun. Sejak mudanya beliau memang senang berjuang dimulai dari kegiatannya mengajarkan ilmu agama islam, kemudian beliau memegang amanat sebagai seorang komisaris Sarikat Islam di Mekkah Arab Saudi.

Sesudah kembali ke kudus dari Mekah pada tahun 1916 M beliau bergabung dengan kawan-kawannya dalam gerakan Sarikat Islam. Selain itu KHR. Asnawi tercatat dalam berbagai organisasi pra kemerdekaan semisal Jam’iyyatun Nasihin dan Nahdlatul Ulama. Prakarsa mendirikan Nahdlatul Ulama selalu aktif dijalani hingga resmi berdiri tahun 1926.

Baca juga:  Perjalananku ke Muktamar Tarekat

Semasa hidupnya, KHR. Asnawi dikenal sebagai ulama yang produktif dan sangat mencintai dunia literasi. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya kitab Fasholatan, Mu’taqad Seket, Fiqhun Nisa‘ dan Syi’ir-syi’ran Nasehat.

Kecintaannya dalam hal literasi dapat dilihat pada syi’ir Khutbatul Kitab yang beliau tulis dengan aksara pegon di halaman awal kitab Fasholatan. Dalam kitab Fasholatan ini beliau menulis 10 bait (baris) syi’ir.

Kira-kira jika dituliskan dalam alfabet seperti ini tulisannya:

Alhamdulillah sekehe Puji # Ingkang kagungan kang moho suci
Shalat wa salam ing kanjeng Nabi # Kabeh kawulo wargo shohabi
Waba’du para ingkang nglakoni # Shalat Ian Iafadz biso maknani
Ikilah kitab anerangaken # Lafaz Ian makna den angen-angen
Maring Iiyane iya anutur # dungo wiridan ingkang wus masyhur
Namane kitab Fasholatane # Poro ulama guru-gurune
Ikilah kitab aja do mamang # Iku wuss bener aja sumelang
Kang ora duwe tukuho wani # Senajan larang regane wani
Duwit kang gawe tuku dak ilang # Kaweruh hasil bodone kurang
Bondo kang gawe lakon maksiat # Den siksa besok ono akhirat

Artinya:

Baris 1# segala puji bagi Allah yang Mahasuci
Baris 2# salawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, keluarga, dan sahabatnya
Baris 3# dan tak lupa orang-orang yang melaksanakan salat dan mengerti makna bacaannya
Baris 4# inilah kitab yang menjelaskan lafaz, dan makna agar direnungkan
Baris 5# selain itu juga terdapat doa, dan wirid yang sudah masyhur
Baris 6# kitab ini bernama fasholatan, yang bersumber dari para ulama
Baris 7# jangan ragu dan khawatir akan kebenaran kitab ini
Baris 8# yang punya uang belilah kitab ini meskipun mahal
Baris 9# uang yang dipakai beli tak akan hilang; malah akan mengurangi kebodohan
Baris 10# harta/uang yang dipakai maksiat, akan mendapat kelak di akhirat.

Dalam syi’ir di atas KHR. Asnawi mengingatkan orang yang mengerjakan salat agar jangan hanya melafazkan saja tapi harus dengan maknanya.

Baca juga:  Kitab Fasholatan dan Kenangan Belajar Salat Masa Kecil

Dengan adanya kitab ini semoga bisa untuk dipelajari karena mudah dipahami. Beliau juga menganjurkan supaya doa-doa wiridan yang biasanya dibaca setelah salat yang sudah tidak asing di telinga itu diangan-angan maknanya.

Dalam pungkasan syi’irnya, pada baris 8-10 beliau menekankan akan semangat untuk berliterasi. Beliau menganjurkan bagi yang tidak punya kitab ini dipersilakan untuk membeli walaupun harganya mahal, kalaupun mahal tidak akan rugi karena ilmu yang manfaat didapatkan akan lebih daripada uang yang dikeluarkan. Sekaligus daripada mengeluarkan uang yang digunakan untuk maksiat nanti mendapat siksa di akhirat.

Semangat literasi inilah yang harus kita warisi dari beliau KHR. Asnawi Kudus. Untuk Almaghfurlah KHR. Asnawi Kudus lahul fatihah!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top